9

989 216 1
                                    

Suatu sore aku mendapatkan kunjungan mendadak dari Joni. Dia terlihat bersemangat, persis karakter kartun usai menenggak minuman penambah tenaga. “Kamu ditawari peran oleh Sutradara Handoko!” serunya teramat girang.

Siapa pun yang berkecimpung di dunia seni peran pasti mengenal Handoko Kusuma. Dia salah satu sutradara ternama di Indonesia. Beberapa film garapannya mendapat penghargaan tidak hanya di tanah air, tapi juga di luar negeri.

Orang sehebat itu mendadak tertarik kepada artis kelas bawah? Maksudku, artis yang bahkan tidak memiliki cukup kemampuan di medan laga? Pasti Handoko melihat sesuatu dariku, Kenanga Sarasvati. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh Asmara. Bakat.

Sebetulnya bisa saja aku menolak permintaan Joni dan menyerahkan peran apa pun yang akan kumiliki kepada orang lain. Namun, tidak baik mengecewakan orang tua. Lagi pula, Handoko hanya ingin aku memerankan karakter sampingan yang jatah tayangnya pun tidak seberapa.

Hei jangan salah sangka dulu. Meskipun karakter yang akan kuperankan nanti sekadar numpang lewat (ibaratnya), tetapi dia merupakan kunci dari jalan cerita.

Itulah yang kulakukan. Menerima tawaran Handoko.

Maret, cuaca cukup sejuk, dan lokasi pengambilan gambarnya tidak jauh dari tempat tinggalku.

Andai saja bisa langsung bekerja tanpa perlu rapat, tentu aku akan sangat menghargai kegiatan baruku. Berperan tidaklah sukar. Aku sempat mengikuti klub drama saat di SMP dan SMA. Biasanya aku bertanggung jawab sebagai penulis naskah maupun memerankan peran tertentu. Tidak buruk kok kemampuanku dibanding Asmara.

Joni, Rika, dan aku pun datang ke salah kantor milik rumah produksi yang akan bertanggung jawab menggarap film besutan Handoko. Resepsionis langsung memberikan arahan kepada kami agar naik ke lantai lima dan masuk ke ruangan nomor sepuluh.

Si resepsionis sempat terperangah saat bertatap muka denganku. Dia pasti tidak mengira bahwa pergantian image bisa sangat berpengaruh. Asmara cantik, tapi dia tidak paham seni merias dan berpakaian. Ia hanya ingin kelihatan cute tanpa mempertimbangkan kelebihan serta kekurangan kesan itu pada dirinya.

Aku memilih mengenakan celana jins warna biru laut. Celana dengan hiasan sulaman bunga-bunga pada bagian paha. Untuk atasan sengaja kupilih kemeja berwarna krem. Tas pendampingku pun hanya tas sampir mungil warna hitam. Oh jangan lupa sepatu berhak tinggi warna biru menyala.

Rambut kuikat ekor kuda, membiarkan helaian lembut jatuh mengikuti pergerakanku. Aku tidak mengenakan riasan tebal, sekadar sentuhan lembut, dan memilih menonjolkan bibir. Pulasan warna merah plum. Aku sempurna. Sungguh sempurna karena sebelum berangkat aku sempat menujikan tampilanku kepada Cipta (aha, dia tersipu dan kuanggap sukses).

“Asmara, kamu jangan terpancing apa pun nanti,” Joni yang berjalan di sampingku memperingatkan. Tangannya telah mencengkeram gagang pintu, siap membuka. “Aku yakin Arga bisa saja mencari-cari kesalahanmu, tapi kutekankan jangan mau ikut-ikut!”

Oh satu hal lagi, di dalam sana, di balik pintu nanti aku bukan hanya akan menjumpai Handoko, melainkan beberapa orang yang cukup membuatku gatal.

“Nggak masalah,” sahutku sembari menebar senyum mematikan. “Kamu bisa pegang janjiku.”

Joni jelas tidak memiliki keyakinan kuat terhadapku. Namun, dia tidak bisa melakukan apa pun untuk mencari tahu kebenaran dalam kata-kataku. Pada akhirnya dia memilih membuka pintu dan membiarkanku serta Rika masuk.

Untung Handoko belum datang. Aku tidak mau menjadi orang terakhir yang tiba. Bisa jelek kesan pertamaku nanti.

Perbincangan apa pun yang sempat terjadi sebelum aku menginjakkan kaki pun langsung berhenti. Semua orang memperhatikanku. Beberapa berdeham sambil celingukan, yang lain menganga, dan hanya ada satu orang saja yang langsung menghampiriku.

“Kursi untuk tiga orang,” kata pria kurus berkacamata, “siap.”

“Terima kasih,” ucapku setulus hati.

Pria itu tersipu, menggaruk kepala, dan mempersilakanku melenggang.

Semua orang duduk melingkari sebuah meja persegi. Pada bagian tengah meja tersebut kosong, berisi ruang yang bisa dimanfaatkan untuk apa pun. Contoh, mempersembahkan sekelompok kucing lucu agar bisa menjadi obat stres.

Rika dan Joni langsung memilih duduk di samping kanan dan kiri. Mereka berdua mengapit diriku seolah takut aku akan berubah wujud menjadi yokai dan mengincar kepala semua orang.

Arga hanya sepintas saja mengamatiku. Tidak ada kehangatan di sorot matanya. Hanya benci, curiga, dan sebut saja sederet sifat jelek. Berani taruhan itulah yang ia pikirkan mengenai kehadiranku.

Di samping Arga duduklah sosok yang paling tidak kusukai kehadirannya. Ineke Arum. Dia seperti setangkai bunga lili putih. Anggun, lembut, dan membuat siapa pun simpati hanya dengan sekali pandang. Rambut hitam menggelombang, paras manis yang mengingatkanmu pada putri dari dongeng, dan ia mengenakan terusan sepanjang lutut yang semakin menguatkan citranya.

Adikku, anak kandung orangtua yang kupuja, hadir. Ineke memberiku senyum, tidak sadar bahwa aku masih hidup dalam raga orang lain. Jantungku berdebar kencang. Dadaku sesak dan susah payah kupertahankan ketenangan agar tidak meledak.

Dulu aku mengira orangtua yang membesarkanku memang mengasihiku. Sampai kebenaran mengetuk pintuku dan mengabarkan bahwa aku bukanlah anak kandung mereka, orangtuaku. Begitu Ineke lahir, porsiku pun tergusur. Aku diperlakukan buruk dan diwajibkan menyokong Ineke.

Hidup tidak ada bedanya bagai di neraka.

“Ineke dapat peran penting,” bisik Joni seolah tahu pertanyaanku. “Dia dan Arga mendapat peran utama.”

“Utama?” Salah satu alisku terangkat. Sontak rasa pahit meledak di mulut hanya karena membayangkan Irene mendapat peran penting. “Wow nggak nyangka levelnya mudah begini.”

“Nggak utama yang utama,” bantah Joni. “Pemeran utama perempuan jatuh ke tangan Mira Arnesia.”

Mira, oknum yang diperbincangkan Joni, duduk terpisah empat kursi dari Arga. Dia tipe seperti sekuntum mawar merah. Rambut lurus yang diwarnai sedikit cokelat, wajah yang membuatku ingin menjadikannya sebagai diva, dan dia mengenakan celana hitam dan atasan berwarna oranye.

“Bagus,” sahutku terlampau senang, “aku suka Mira Arnesia.”

“Dia idolaku,” Rika mengaku. Mata Rika berbinar, persis anak kecil yang berhasil menemukan mainan menarik. “Pengin foto bareng.”

“Kalau ada kesempatan akan kubantu,” janjiku kepada Rika. Kubelai kepalanya dengan lembut.

Rika selalu membuatku teringat kepada anak kucing. Gemas sekali. Mungkin aku perlu menambah gajinya dan membantunya kuliah jurusan seni, seperti yang ia cita-citakan. Aku ingin dia bisa mendapatkan pendidikan sesuai minat dan bakat.

Jangan sampai sepertiku. Hidup di bawah bayangan orang lain.

“Emmm dia melototin kamu,” cicit Rika sembari memberi kode ke arah Arga. “Dendam banget deh.”

“Makanya saat kukasih tahu buat mundur tuh harusnya diokein gitu,” sindir Joni. Meski bicara begitu, dia ikut membalas tatapan sengit dari Arga. “Dikira aku takut. Aku cuma takut nggak bisa cari uang. Yang lain, sih, bye aja.”

Ternyata Joni bisa juga bersikap kesatria.

“Eh, Ra, tolong promosiin aku ke Cipta, ya?”

Ralat, Joni ada maunya.

***
Selesai ditulis pada 18 Agustus 2024.

***
Halo, teman-teman.

Di sini tadi malam sempat gerimis gitu. Tapi, sebentar doang. Hiks.

Terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman karena telah meluangkan waktu menengok Asmara. Kalian jangan lupa jaga kesehatan, ya? Minum air putih secukupnya karena cuaca akhir-akhir ini keras.

Salam cinta dan sayang untuk kalian semua teman-teman.

Loooove.

P.S: Terima kasih atas koreksi typo maupun informasi.

Asmara Jingga (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang