[02] Memiliki Pilihan Sulit

88 55 15
                                    

💔☠️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

💔
☠️

Harap Jangan Plagiasi & Jangan Jadi Pembaca yang Pasif!❤️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Harap Jangan Plagiasi & Jangan Jadi Pembaca yang Pasif!❤️

Jika kamu suka dengan cerita ini, tolong dukung dengan komen dan vote. Dukungan kecil dari kalian sangat berarti buatku dan bisa memberikan semangat lebih untukku terus menulis. Aku hanya ingin dihargai 🙏, sebagai gantinya aku akan menghargai kalian dengan tidak menggantungkan cerita ini.
Terima kasih! 😊

Aku tidak bisa menghentikan pikiran negatif ku tentang Ragen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tidak bisa menghentikan pikiran negatif ku tentang Ragen. Bagaimana mungkin aku bisa tenang, sementara
aku melihat hitungan mundur diatas kepalanya. Angka itu menunjukkan hitungan waktu yang tersisa sebelum sesuatu yang buruk terjadi.

"Gimana kalau hal buruk itu menyebabkan kematiannya," gumamku sambil menggigit bibir bawahku, mataku bolak-balik menatap gerbang sekolah dan Ragen yang sedang mengeluarkan motornya dari parkiran sekolah.

"Aku tidak pernah salah dalam hal ini," kataku pelan.

Aku tidak pernah menyukai Kaizen dan gengnya, mereka adalah sumber penderitaanku selama di Sekolah. Namun, apakah alasan itu cukup untuk membiarkan Ragen mati tanpa peringatan? Apa bedanya aku dengannya?

"Aku harus melakukan sesuatu," kataku pelan sambil mengepalkan tanganku.

Meskipun Ragen adalah bagian dari geng yang menyakitiku, aku tidak bisa membiarkan sesuatu yang buruk terjadi padanya. Akhirnya aku memutuskan untuk mengikutinya dari kejauhan, berharap bisa mencegah hal-hal buruk yang akan terjadi.

Di tengah perjalanan pulang, saat dia melewati persimpangan jalan yang ramai. Aku terdiam sejenak, sangat jelas aku melihat hitungan mundur di atas kepala Ragen hampir habis. Aku menarik lengan bajuku pelan, apa yang harus aku lakukan? Akhirnya setelah banyak pertimbangan, aku berlari ke arahnya untuk sekedar mencoba memperingatkannya lagi.

"HATI-HATI RAGEN!!" teriakku, tapi sayangnya suaraku tenggelam di antara suara kendaraan yang melewati jalanan.

Tak lama aku melihat ada mobil yang melesat cepat ke arahnya, dalam sekejap semua pikiran negatifku menjadi kenyataan.

"TIDAK!!!!" teriakku.

Aku terlambat menyelamatkannya, tubuhku mendadak lemas menyaksikan tubuh Ragen yang terlempar ke udara sebelum jatuh dengan suara yang bedebum. Aku merasa aliran darahku terasa dingin, aku menutup wajahku panik seperti merasa terjebak dalam mimpi buruk yang tidak bisa aku kendalikan.

Aku berlari ke arahnya dan berteriak meminta pertolongan pada orang-orang yang lewat. Setelah itu, warga menelpon ambulans dan membawa Ragen beserta pemuda dewasa yang menabraknya.

Aku memutuskan untuk mengikuti ambulans yang membawanya ke rumah sakit, saat itu aku merasa bahwa akulah yang bertanggung jawab atas Ragen.

"Tuhan... selamatkan Ragen," kataku pelan.

Beberapa jam kemudian, aku duduk di sebelah ranjang Ragen. Aku melihatnya terbaring dengan tidak berdaya. Mia duduk di sebelahku, aku yang menelponnya agar datang menemaniku di rumah sakit. Mia tersenyum tipis, tapi kali ini senyumnya tidak bisa menenangkanku.

"Axe, kamu sudah melakukan yang terbaik," katanya.

Tapi aku hanya bisa menggeleng, aku benar-benar merasa bersalah. "Aku yang salah, harusnya aku menyelamatkannya bukan bengong."

Beberapa menit kemudian, Ragen membuka matanya perlahan. Sekilas aku melihat senyum di wajahnya, jujur sikapnya itu membuatku terkejut

"Kenapa kamu di sini?" suaranya serak, tapi terdengar tenang.

"Aku... aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja," jawabku jujur.

Ragen tertawa kecil, meskipun sesekali meringis menahan rasa sakit. "Bisa-bisanya aku dijaga oleh orang yang aku bully," katanya sambil menatapku dengan tatapan yang tidak pernah aku duga sebelumnya.

Dia diam sebentar dan melanjutkan ucapannya, "Tapi sekarang, aku mengerti bahwa kamu cuma kesepian seperti aku."

Aku menelan ludah, mencari kata-kata untuk merespon ucapannya. Aku menunduk, takut untuk meneruskan obrolan dengannya.

Ragen menatap ke sekeliling kamar rawat, "Ngomong-ngomong, kamu bicara sama siapa tadi? Aku nggak lihat siapa-siapa di sini selain kita berdua."

Aku terdiam, pikiranku berkecamuk di kepalaku. "Loh?" kataku dengan mata terbelalak.

Ragen menggaruk belakang kepalanya, melihat ke lantai seakan mencari petunjuk yang sebenarnya tidak ada. "Apa aku menanyakan hal yang salah? Kenapa kamu terlihat terkejut?"

Aku menggeleng cepat dan menatap Mia yang masih duduk di sampingku, dia sedang fokus memainkan game di ponselnya.

"Apa-apaan ini?" kataku hampir tak terdengar.

"Ada apa Axe?" tanya Ragen sambil mengernyitkan dahinya.

"Tidak ada, tidurlah lagi! Kamu butuh banyak istirahat, nanti kita lanjutin obrolannya kalau kamu udah mendingan," kataku dengan cepat, berusaha untuk menghentikan obrolan. Aku beralih menatap Mia yang masih fokus dengan ponselnya, aku harap dia tidak mendengarkan pembicaraan kami.

Mia kamu siapa? Kenapa kamu yang selalu ada di sisiku? Kenapa hanya aku yang bisa melihatmu?

"Axe! Jangan ngelamun!" kata Ragen sambil menggoyangkan tanganku.

Aku tidak tahu harus merespon seperti apa, akhirnya aku hanya bisa tersenyum kaku padanya.
.
.
.

Aku tidak tahu harus merespon seperti apa, akhirnya aku hanya bisa tersenyum kaku padanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
AXETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang