[09] Khawatir

63 34 21
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Harap Jangan Plagiasi & Jangan Jadi Pembaca yang Pasif!❤️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Harap Jangan Plagiasi & Jangan Jadi Pembaca yang Pasif!❤️

Jika kamu suka dengan cerita ini, tolong dukung dengan komen dan vote. Dukungan kecil dari kalian sangat berarti buatku dan bisa memberikan semangat lebih untukku terus menulis. Aku hanya ingin dihargai 🙏, sebagai gantinya aku akan menghargai kalian dengan tidak menggantungkan cerita ini.
Terima kasih! 😊

Aku berbaring di tempat tidur, sejujurnya tubuhku terasa nyeri setiap aku menggerakkannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku berbaring di tempat tidur, sejujurnya tubuhku terasa nyeri setiap aku menggerakkannya. Sakit di pipiku lebih dari sekadar fisik, aku merasa overthinking terhadap kejadian yang baru saja terjadi.

Bunda masuk ke kamar dengan mangkuk di tangannya, dia tersenyum lembut. "Makan dulu, sayang," katanya sambil duduk di tepi ranjangku. Tak menunggu lama, dia menyuapiku pelan-pelan.

Aku hanya diam dan mengunyah makanan dengan pelan, karena aku tahu bunda pasti khawatir dengan keadaanku. Setelah makanan habis, bunda memainkan jarinya yang sedang memegang mangkok kosong.

"Kenapa Bun?" tanyaku sambil menyentuh tangan bunda.

"Axe," bunda mulai bicara sambil menatapku kemudian diam sebentar.

"Bunda baru aja nemuin sesuatu, waktu cari dokumen kontrol rumah sakit kemarin," lanjut bunda sambil melirik ke arah laci kecil di sampingku.

"Apa Bun?" tanyaku sambil mengernyitkan dahiku.

"Bunda nemuin kotak kuno berukuran kecil, bunda baru ingat kalau itu liontin nenekmu. Liontin yang dulu pengen dia kasih ke kamu," jelas bunda.

Aku terkejut mendengarnya, liontin nenek? Sebenarnya aku pernah dengar tentang barang itu, tapi sudah lama sekali. "Kenapa bunda nggak kasih liontinnya dari dulu?" tanyaku dengan sedikit bingung.

"Bunda lupa waktu itu, Axe," jawabnya, aku melihat matanya sedikit berkabut, "Terus tadi siang, Bunda mau ke rumah sakit dulu. Niatnya mau kasih liontinnya ke kamu habis dari rumah sakit, tapi ada sedikit kejadian."

"Kejadian?" Aku menatapnya dengan lebih serius.

"Jadi, liontin itu cuma bunda taruh di saku. Pas sampai disana... bunda jatuh di lorong rumah sakit," lanjutnya kemudian menghela napas.

Aku menatap bunda, penasaran pada apa yang terjadi selanjutnya.

"Liontin itu jatuh dari saku baju bunda, tanpa sengaja ada orang yang nginjek liontin itu. Orang itu kayaknya lagi frustasi, mungkin ada keluarganya yang meninggal soalnya marah-marah sama dokter. Liontin nenekmu, yang sebelumnya sedikit retak, akhirnya pecah lebih parah."

Bunda menunduk, dari ekspresi wajahnya terlihat jelas bahwa dia menyesal. "Bunda ambil pecahan liontin itu, tapi bunda nggak tahu apa yang harus dilakukan."

Bunda merogoh kantongnya dan mengeluarkan pecahan liontin itu, dia menyerahkannya padaku. Aku mengambilnya dengan hati-hati, mengamati retakan yang menghiasi liontin tua itu.

"Maafin bunda ya, Axe. Harusnya bunda inget buat ngasih liontin itu ke kamu, pasti hal ini nggak bakal kejadian." Bunda menyentuh bahuku dengan lembut.

Aku menggenggam pecahan liontin itu erat, memandanginya dalam keheningan. Aku nggak tahu kenapa, tapi jantungku berdetak kencang saat menggenggam benda itu.

"Nggak apa-apa, Bun," jawabku pelan.

Bunda tersenyum tipis, lalu mengecup keningku sebelum berdiri dan meninggalkan kamar. Aku memandangi pecahan liontin itu di tanganku, tiba-tiba aku mengingat kejadian tadi siang terkait angka kematian di kepala orang-orang yang kusentuh mulai hilang total.

"Kebetulan ya? Ishh, jangan pikir yang aneh-aneh Axe," ucapku pada diri sendiri sambil menggeleng pelan.

****

Beberapa hari kemudian, aku menemani bunda untuk kontrol ke dokter. Di ruang tunggu rumah sakit, aku melihat bunda sedang duduk dengan wajah pucat, bahunya sedikit membungkuk dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Sesekali, bunda menarik napas panjang, seolah sedang mengumpulkan energi.

Aku membawa kedua tanganku saling menggenggam di pangkuanku. "Bunda nggak apa-apa, kan?"

Bunda menoleh dan tersenyum lembut. "Bunda baik-baik saja, Xe. Jangan khawatir."

Aku hanya bisa menatap bunda dengan perasaan cemas, aku tahu bunda sedang berjuang melawan penyakit yang tak bisa diabaikannya. Namun, bunda selalu berusaha menenangkanku meskipun keadaannya mungkin jauh lebih serius.

Akhirnya dokter memanggil nama bunda, aku ikut mendampinginya ke dalam ruangan. Selama konsultasi, aku duduk di samping Bunda sambil menggenggam erat jemarinya yang terasa dingin. Ruangan itu terasa sunyi, tatapanku terfokus pada lantai. Dokter di depan kami mulai bicara, suaranya terdengar tenang tapi sedikit berat.

"Bu, kondisi anda stabil, tapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Kami sudah memantau selama beberapa minggu, dan..." Dokter itu terdiam sebentar menatap kami secara bergantian, tak lama dia mengambil nafas panjang.

Aku bisa merasakan napas bunda menjadi sedikit lebih cepat, seolah dia sedang memikirkan sesuatu.

"Kami menemukan beberapa komplikasi kecil yang harus kita tangani," lanjut dokter pelan tapi terdengar sedikit berat. "Namun, jangan khawatir. Dengan perawatan tepat dan kontrol yang teratur, kita bisa mengatasinya." Dokter menatap bunda dengan senyum tipis, tapi ekspresi yang dia perlihatkan seperti tidak biasa.

Bunda menarik napas dalam-dalam, tapi anehnya tidak ada kata yang keluar dari bibirnya. Saat itu, aku hanya bisa menggenggam tangan bunda lebih erat, aku harap itu cukup untuk membuatnya merasa tidak sendirian.

Dalam perjalanan pulang, aku terus memikirkan keadaan bunda. Kini, aku bertekad berubah demi bunda dan diriku sendiri. Aku ingin membuat bunda bangga, juga percaya bahwa aku bisa menjadi anak yang diandalkannya.

Aku memegang tangan bunda saat berjalan menuju motor.

"Bun, nanti kalau ada apa-apa, bunda bilang sama Axe, ya," kataku setelah lama menggigit bibirku.

Bunda tersenyum lagi, kali ini senyumnya terlihat lebih tulus. "Bunda janji, Xe. Tapi kamu juga harus janji, terus belajar dan jangan berhenti berusaha, ya."

Aku mengangguk, berusaha menyembunyikan perasaan cemasku. "Iya, Bun. Axe janji."
.
.
.

SPAM NEXT DISINI💖
Gimana? Masih banyak yang buat penasaran nggak?

SPAM NEXT DISINI💖Gimana? Masih banyak yang buat penasaran nggak?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
AXETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang