💔
☠️Harap Jangan Plagiasi & Jangan Jadi Pembaca yang Pasif!❤️
Jika kamu suka dengan cerita ini, tolong dukung dengan komen dan vote. Dukungan kecil dari kalian sangat berarti buatku dan bisa memberikan semangat lebih untukku terus menulis. Aku hanya ingin dihargai 🙏, sebagai gantinya aku akan menghargai kalian dengan tidak menggantungkan cerita ini.
Terima kasih! 😊Malam itu, aku duduk di kamar sambil menatap langit-langit yang gelap. Pikiran-pikiranku berputar seperti pusaran air yang tak berujung. Kenapa harus aku? Kenapa aku yang diberikan kutukan ini? Setiap kali aku bersentuhan dengan seseorang, hitungan mundur muncul di depan mataku, seolah-olah ada jam digital yang menempel pada tubuh mereka.
Aku ingat pertama kali aku menyadari kemampuan ini, itu terjadi ketika aku masih kecil sekitar usia delapan tahun. Saat itu, aku bersentuhan dengan nenekku yang sedang sakit parah. Ketika tanganku menyentuh kulitnya yang keriput, aku melihat angka-angka itu tepatnya 05:30. Aku tidak tahu apa yang dimaksud pada awalnya, tapi lima setengah jam kemudian nenekku meninggal. Sejak saat itu, aku mulai melihat hitungan mundur pada setiap orang yang kusentuh. Mulanya, aku mengira itu hanya kebetulan tapi semakin lama aku menyadari bahwa ini adalah kenyataan.
Bunyi dering telepon memecah keheningan. Aku mengangkatnya, melihat nama Mia di layar.
"Hei, Axe. Kamu sedang apa?" tanyanya dengan suara ceria.
"Hei, Mia. Tidak banyak, hanya duduk di kamar," jawabku.
"Aku baru saja memikirkan sesuatu. Bagaimana kalau kita ke Perpustakaan Sekolah besok?" kata Mia penuh semangat.
Aku tersenyum, merasa sedikit lebih baik mendengar suaranya. "Tentu, kedengarannya bagus."
Setelah mengakhiri panggilan, aku kembali terjebak dalam pikiranku sendiri. Bagaimana jika Mia mengetahui kutukanku? Apakah dia akan tetap menjadi temanku? Aku selalu menjaga jarak fisik dengannya, berusaha untuk tidak bersentuhan terlalu sering. Aku takut jika suatu saat aku melihat hitungan mundur di tubuhnya.
Keesokan harinya di sekolah, aku merasa sedikit lebih ringan. Mungkin karena rencana dengan Mia, atau mungkin karena aku mencoba untuk tidak terlalu memikirkan kutukanku. Namun, kenyataan segera menghantamku kembali saat Kaiden dan gengnya datang menghampiriku.
"Heh Pengecut! Kamu kenapa hah? Seperti habis ngeliat hantu tau," ejek Kaiden sambil tertawa.
Aku mencoba mengabaikannya dan berjalan menjauh, tapi salah satu teman Kaiden yaitu Ragen dengan sengaja menarik lenganku. Tanpa sadar, kulit kami bersentuhan dan hitungan mundur mulai muncul.
"12:15," gumamku pelan.
Aku terpaku, melihat angka itu dengan ngeri. Ragen melepaskan cengkeramannya dan tertawa bersama yang lain, tidak menyadari bahwa akan ada kejadian yang berhubungan dengan nyawanya paling sedikit sekitar dua belas jam lagi.
"Ragen... hati-hati," kataku pelan.
Ragen hanya tertawa kecil dan menatap mataku tajam, "Apaan sih, nggak jelas!!" Ragen mendoyor kepalaku pelan dan tersenyum tipis kemudian berlari mengejar Kaiden dan teman gengnya.
Selama pelajaran, pikiranku terus-menerus memikirkan Ragen. Apakah aku harus memperingatkannya? Tapi bagaimana aku bisa menjelaskan kutukanku ini tanpa terlihat gila? Dan meskipun aku memperingatkannya, apa yang bisa dia lakukan? Waktu terus berjalan, tak bisa dihentikan.
Setelah pelajaran selesai, Mia mengajakku untuk belajar bersama di perpustakaan. Kami berdua berjalan ke sana sambil membicarakan hal-hal ringan, mencoba melupakan tekanan dari ujian matematika yang baru saja kami lewati.
Di perpustakaan, kami mencari tempat yang sepi dan mulai membuka buku-buku pelajaran. Aku berusaha fokus, tapi pikiranku terus kembali ke angka-angka misterius yang selalu menghantuiku. Sementara Mia terus bicara tentang rumus-rumus yang harus kami pelajari, aku hanya bisa berpura-pura mendengarkannya.
Saat Mia mencoba menjelaskan sebuah konsep dalam matematika, dia tanpa sengaja menyentuh tanganku. Aku terdiam sejenak dan menahan napas, berharap tidak melihat angka di atas kepalanya. Tapi anehnya, tidak ada angka sama sekali. Aku mengernyitkan dahi, hatiku sangat gelisah. Tuhan, aku memang tidak ingin melihat angka diatas kepalanya. Tapi bukan berarti tidak ada angka sama sekali, membayangkannya saja sangat mengerikan bagiku.
"Ada apa, Axe?" tanya Mia dengan mata menyipit, kepalanya sedikit miring ke satu sisi.
"Tidak, tidak ada apa-apa," jawabku cepat, mencoba menyembunyikan kegugupanku.
Mia masih menatapku sambil menyipitkan matanya, tak lama dia kembali fokus pada buku yang dibacanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AXE
Teen Fiction"Aku mencintaimu, tidak peduli siapapun kamu dan bagaimana bentukmu.... aku akan selalu mencintaimu."❤️☠️ ~AXE