Harap Jangan Plagiasi & Jangan Jadi Pembaca yang Pasif!❤️
Konten ini mungkin menggambarkan sedikit romans, harap bijak memilih bacaan sesuai umur❗❗
15+"Iya, Nak. Kamu kenal anak saya?" ulang pria yang ternyata adalah Ayahnya Mia.
Aku mengangkat wajahku yang basah dengan air mata, menatapnya sambil menggigit bibirku. "Saya kenal dia... kenapa dia koma, Pak?"
Ayahnya Mia menghela napas panjang, kemudian duduk di sampingku dan mulai bercerita. "Mia koma sejak masih kecil. Saat itu, terjadi sebuah kecelakaan tapi syukurlah Mia masih hidup meski harus bertahan dengan kondisi seperti ini. Kami sudah mencoba segala cara untuk menyembuhkannya, tapi kondisinya memang sangat sulit."
Ayahnya Mia menatapku dalam, tatapannya sulit diartikan. "Beberapa jam yang lalu, dokter mendeteksi bahwa tekanan nadi Mia sangat tidak stabil. Aliran darahnya tersumbat, ada risiko besar jika aliran darah tidak segera normal bisa menyebabkan syaraf otaknya rusak secara permanen. Mia memiliki golongan darah O negatif...."
Ayahnya Mia diam sebentar, menarik napas panjang kemudian menghembuskannya pelan. Senyumnya perlahan muncul dan bahu yang semula tegang mulai merosot ke bawah. "Darah Mia cukup langka, kamu adalah orang pertama yang datang membantu. Terimakasih sudah menyelamatkannya, Nak."
Sejujurnya aku ingin memastikan sesuatu. "Pak, apa foto yang anda lihat di lorong rumah sakit itu... foto Mia?"
Ayahnya Mia mengangguk. "Iya, itu foto Mia ketika masih kecil.
Mendengar hal itu, aku merasa perasaanku semakin tak terkendali. Aku tidak pernah menyangka bahwa Mia bisa menjadi nyata, apa yang kulakukan ternyata untuk menyelamatkan wanita yang ku sayangi.
"Mia... Aku begitu bodoh, tidak pernah menyadari semuanya...," kataku pelan di antara isakan tangisku, suaraku sedikit bergetar.
Ayahnya Mia memelukku erat, dia seakan sedang mencoba memberikan dukungan meski dirinya sendiri sangat terluka melihat kondisi putrinya. Dalam pelukan itu, aku merasakan kehangatan yang telah lama hilang dari hidupku. Aku merasa seperti seorang anak kecil yang akhirnya menemukan kembali jalan pulang, setelah lama tersesat di hutan yang gelap.
"Terimakasih Pak," kataku sambil melepaskan pelukan Ayahnya Mia. Aku berdiri dan menatap wajah Mia yang tertidur, dia pantas mendapatkan kebahagiaan.
****
Aku mulai rutin mengunjungi rumah sakit setiap hari. Meski Mia terbaring tanpa daya, aku merasa kehadiranku di sisinya adalah sesuatu yang harus kulakukan. Aku merasa seperti ada dorongan yang menuntunku untuk selalu berada di sampingnya.Setiap kali memasuki kamar Mia, biasanya aku membawa cerita-cerita tentang hari-hariku di sekolah. Kadang bercerita tentang Ragen, keluargaku, dan hal random lainnya.
"Lucu banget kan? Hari ini, aku merasa senang di sekolah," kataku dengan bersemangat sambil menatap Mia, kemudian terdiam sebentar.
"Kenapa nggak respon sih?" bisikku sambil menoel pipi Mia yang sedang koma.
Aku meraih tangan dingin Mia, kemudian menggenggamnya erat. Memandang wajahnya yang tampak tenang dalam tidurnya, tak lama melanjutkan ceritaku.
"Mia, kamu tahu? Hari ini aku dapat nilai bagus di pelajaran matematika loh. Mungkin kalau kamu di sini, kamu bakal bangga karena ngeliat betapa kerasnya aku berusaha."
Aku tersenyum kecil, meski sebenarnya terasa hampa dalam hatiku. "Aku juga lukis wajahmu lagi loh.... aku nggak pernah bosen gambarin kamu. Em.. mungkin karena aku takut lupa wajahmu kali ya?"
Aku mengangkat tangan Mia yang tergenggam dalam tanganku, kemudian menempelkan punggung tangannya ke pipiku. Sejujurnya aku merasa setiap detik terasa seperti jarum yang perlahan menusuk hatiku, menambah rasa sakit karena kerinduan yang tak tertahankan.
"Mia," bisikku dengan suaranya serak.
Aku menatapnya yang terbaring tenang. "Aku kangen banget sama kamu. Rasanya aneh, ya? Kamu ada di sini, tapi juga nggak ada. Aku cuma ingin kamu bangun, ingin kita ngobrol seperti dulu."
Aku memandang wajahnya yang tenang, kemudian mengusap lembut rambutnya. "Aku akan selalu di sini buat kamu, Mia. Nggak peduli kamu sadar atau nggak."
Sebenarnya aku menyimpan perasaan yang lebih dalam dari sekadar kerinduan, lebih dari sekadar berada di sampingnya. Setiap kali aku melihat bibirnya yang tertutup rapat, ada dorongan yang tak tertahankan dari dalam diriku.
Aku mendekatkan wajahku ke wajah Mia, jantungku berdegup kencang. Aku menyadari bahwa napasku sendiri mulai tak beraturan. Dengan hati-hati, aku menunduk sedikit demi sedikit hingga bibirku hampir menyentuh bibirnya. Namun, aku berhenti.
Aku tersadar, mengurungkan niatku untuk mencium bibirnya. Aku menarik diri perlahan, kemudian menghela napas panjang. "Maaf, Mia," bisikku dengan suara lirih.
"Aku hanya... aku hanya kangen kamu," sambungku setelah diam sebentar.
Setelah itu, aku kembali menceritakan hal random pada Mia sambil memegang tangannya.
Chup.....
Aku mencium dahinya, berharap dia bisa kembali bersama denganku.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
AXE
Teen Fiction"Aku mencintaimu, tidak peduli siapapun kamu dan bagaimana bentukmu.... aku akan selalu mencintaimu."❤️☠️ ~AXE