Seperti biasa, hanya tamanku lah yang bisa menjadi tempat nyaman untuk berkeluh kesah. Setelah berbagai masalah besar datang menerpa. Entah mengapa suasana seperti ini bisa menghiburku.
Hanya dengan kicauan burung yang saling bertukar cerita, dan dedaunan yang saling berjabat tangan. Walaupun rasa sakit yang terdapat jauh di dalam lubuk hatiku seraya tidak akan pernah hilang. Tetapi berada disini dapat meredakan rasa sakitku.
Dokter Hanan kembali meneleponku. Dia bilang penyakitku semakin parah setelah melihat kembali diagnosisku saat kemoterapi terakhir kali. Mulai minggu ini aku harus melakukan kemoterapi dua kali selama satu minggu.
Dia juga menyarankanku untuk rawat inap sementara waktu agar dapat memantau kondisiku. Akan tetapi aku merasa sudah tidak ingin lagi untuk melakukan semua ini. Aku hanya ingin duduk tenang menikmati semilir angin di tamanku sampai akhir waktuku nanti.
Tiba tiba saja mas Ratan datang dan berlutut di depanku. Karena posisi bangku tamanku yang membelakangi pintu belakang rumah, aku jadi tidak dapat mengetahui jika ada seseorang yang mendekat.
"Nia.... Gimana keadaan kamu?" Tanya mas Ratan sembari melihat ke arah kakiku yang sudah diperban rapi.
Aku tidak memiliki niat untuk menanggapi ucapannya. Aku hanya menatap lurus ke arah jari tangannya yang masih kehilangan cincin pernikahan kami. Lagipula jika mas Ratan menemukannya juga tidak ada yang akan berubah. Aku sudah tidak tahan dengan semua kelakuannya.
"Kaki kamu gimana? Masih sakit? Siapa yang kasih obat? Siapa yang pasang perban?" Tanya mas Ratan yang berusaha mengajakku bicara.
Aku tidak tahu apakah mas Ratan benar benar khawatir, atau hanya sedikit merasa bersalah. Aku sangat muak melihat keberadaan mas Ratan di depanku sekarang. Kedatangannya merusak pemandangan tamanku. Bukan hanya itu, kedatangannya membuat hatiku kembali resah padahal sebelumnya sudah mulai tenang.
Aku pun beranjak dari tempat dudukku, berjalan perlahan walaupun agak sempoyongan. Aku meninggalkan mas Ratan sendirian tanpa sepatah kata apapun. Biarkan saja dia berlutut disana seharian, atau pergi keluar untuk bertemu wanita lain lagi. Aku tidak akan peduli.
-0o0-
Dua hari sudah berlalu sejak pertengkaran kami terjadi, dan aku sama sekali tidak pernah merespon mas Ratan. Dia berangkat kerja cukup pagi hari ini, jadi aku bisa lebih merasa tenang karena tidak harus bertemu dengannya.
Dia tidak pernah mengatakan kata maaf padaku. Walaupun kesalahan yang dia lakukan dapat berpotensi menghancurkan ikatan pernikahan yang sudah kami jalin 7 tahun lamanya.
Aku memutuskan untuk mengembalikan jaket Lino ke rumah sakit siang ini. Jika bukan karena jaket ini, mungkin aku akan terus bertahan dengan rasa sakit yang selama ini terpendam. Hanya bisa merasakan tanpa bisa diungkapkan.
Jauh di lubuk hatiku ada sedikit perasaan lega karena aku telah meluapkan semuanya. Namun, disisi lain ikatan pernikahanku menjadi retak. Semua hal memang memiliki sisi yang berlawanan, sisi positif dan negatif. Setelah selama ini aku menjaga dan mengendalikan emosiku atas semua kelakuan mas Ratan. Sekarang itu sudah tidak berguna.
Apakah itu bisa disebut sia sia?
Aku berjalan menuju ruangan Lino setelah mendapatkan konfirmasi dari resepsionis. Aku melipat rapi jaket mahalnya dan membawanya secara hati hati menggunakan paperbag. Semoga saja aku tidak bertemu dengan dokter Hanan, aku takut jika dia akan menyeretku untuk melakukan rawat inap.
Akhirnya, aku pun sampai di depan ruangan Lino. Aku tidak tahu jabatan apa yang Lino dapatkan disini hingga dia mendapatkan ruangan pribadi. Aku pun mengetok pintunya terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pergi Bersama Hujan
RomanceTak semua yang kita tahu harus diutarakan. Kadang malah memilih untuk memendam padahal tahu rasanya sesakit apa, karena akan lebih sakit jika diungkapkan. Diam juga merupakan sebuah cara, bahkan ada yang bilang bahwa diam adalah emas. Kalau begitu a...