Mbak Yah datang untuk bekerja di pagi buta seperti biasa. Namun, ada yang berbeda saat mbak Yah memasuki rumah. Pintu depan tidak terkunci dan pintu belakang terbuka lebar. Mbak Yah pun berjalan keluar melewati pintu belakang dengan waspada.
Mbak Yah terheran saat melihat pemandangan di taman belakang rumah. Terdapat seseorang yang duduk bersandar di bangku taman. Karena penasaran, mbak Yah pun mendekat secara perlahan. Ternyata itu adalah tuannya.
"Tuan Ratan? Kenapa tidur disini?" Ucap mbak Yah sembari menepuk pelan bahu Ratan, bermaksud untuk membangunkannya.
Ratan pun terbangun. Matanya tampak sembab dan tubuhnya terlihat lesu.
"Mbak Yah tahu Rania dimana?" Tanya Ratan dengan tatapan kosong.
"Nona Rania enggak di rumah?" Mbak Yah balik bertanya keheranan.
"Rania pergi mbak. Dia pergi. Saya enggak tahu harus cari dia kemana lagi." Balas Ratan yang terlihat jelas sedang putus asa.
Mbak Yah terdiam dan kembali teringat percakapan terakhirnya bersama Rania. Dimana Rania bilang sudah mengirimkan gajinya. Namun, yang membuat mbak Yah heran adalah nominal gaji yang dikirimkan Rania lebih besar dari biasanya. Mungkin saja itu adalah tanda perpisahan dari Rania untuk mbak Yah.
"Tuan Ratan, tapi kenapa nona Rania tiba tiba pergi?"
Ratan tidak menjawab pertanyaan mbak Yah, malah langsung beranjak dari tempat duduknya. Ratan berjalan sempoyongan memasuki rumah. Meninggalkan mbak Yah dalam rasa kekhawatiran.
-0o0-
Ini adalah pemandangan yang sangat indah untuk dinikmati menjelang akhir waktuku. Dari vila ini aku dapat melihat pantai dengan jelas. Deru ombaknya bagaikan musik yang menghangatkan telinga.
"Sesuka itu lo sama pantai? Sampai gue panggil berkali kali enggak denger?" Ucap ketus pemilik vila sembari berjalan mendekat ke arahku.
"Lo kan yang paling tahu gue. Makasih banyak udah menyediakan tempat indah ini buat gue." Balasku dengan senyum sumringah.
"Gue benci lo. Lo selalu kelihatan baik baik aja, padahal lo lagi sakit. Bahkan gue yang notabenenya adalah sahabat lo, enggak tahu apa apa. Gue sahabat lo bukan sih?" Ucap Anna kesal, meminta kejelasan.
Aku memegang tangan Anna dengan lembut, kemudian menatapnya dengan perasaan bersalah.
"Bahkan suami gue aja enggak tahu, cuma lo yang tahu. Jadi, tolong jangan bilang siapa siapa ya?" Ucapku meyakinkan Anna.
"Lo bener bener ya! Untung aja gue lihat obat yang ada di tas lo kemarin. Coba aja kalau gue enggak lihat, gue yakin lo enggak akan pernah kasih tahu gue." Sentak Anna dengan tatapan yang mulai berkaca kaca.
"Anggap aja ini takdir gue, dan lo adalah salah satu orang yang tahu tentang takdir ini. Gue mau tinggal disini sampai nanti saat terakhir gue tiba. Tenang aja, tagihan vilanya bakal aman kok." Balasku santai.
"Terus lo pikir gue bakal diem aja gitu?"
"Terus lo mau apa? Lo bukan Tuhan yang bisa tiba tiba membebaskan gue dari penyakit ini. Lo sama gue enggak bisa lakuin apapun An. Gue cuma harus sabar dan terima semua ini." Jelasku dengan menahan semua air mataku di depan Anna.
"Tapi gue enggak bisa diem aja setelah tahu sahabat gue sakit parah dan memilih untuk menyerah. Ini bukan sifat lo yang gue kenal. Rania yang gue kenal itu pantang menyerah." Balas Anna sembari meneteskan air matanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pergi Bersama Hujan
RomanceTak semua yang kita tahu harus diutarakan. Kadang malah memilih untuk memendam padahal tahu rasanya sesakit apa, karena akan lebih sakit jika diungkapkan. Diam juga merupakan sebuah cara, bahkan ada yang bilang bahwa diam adalah emas. Kalau begitu a...