ELLENA 16 : Rahasia

10 2 0
                                    

Rumah sakit itu bagai sebuah dunia tersendiri, tempat di mana waktu seakan berjalan dengan ritme yang berbeda. Dinding-dinding putihnya memantulkan cahaya lampu neon yang dingin, menciptakan suasana steril yang tak memberi celah bagi kenyamanan.

Setiap sudut koridornya dipenuhi dengan keheningan yang memaksa siapa pun yang melintasinya untuk berbicara pelan-pelan, seolah-olah suara keras akan mengganggu keseimbangan tipis yang ada di tempat itu.

Suara langkah-langkah kaki perawat yang teratur menjadi satu-satunya tanda kehidupan, bersaing dengan bunyi bip mesin-mesin medis yang terus-menerus memantau para pasien.

Aroma antiseptik yang tajam memenuhi udara, membuat paru-paru terasa perih seakan dipenuhi dengan kewaspadaan yang konstan.

Di ruang tunggu, wajah-wajah penuh kekhawatiran dan harap menyatu dalam keheningan. Mata-mata lelah menatap kosong ke depan, berharap akan kabar baik, meskipun tak ada yang berani mengatakannya dengan lantang.

Setiap pintu kamar rawat menyembunyikan cerita tersendiri—perjuangan, kesakitan, dan doa-doa yang dipanjatkan dalam diam. Suara bisikan lembut sering terdengar dari balik tirai yang menutupi ranjang pasien, menciptakan suasana penuh misteri dan ketidakpastian.

Begitu pula yang terjadi di ruang rawat Ailee. Di balik pintu yang tertutup rapat itu, suasana yang tenang namun mencekam berbaur dengan harapan yang perlahan tumbuh.

Lima hari sudah berlalu sejak peristiwa yang hampir merenggut nyawanya dan kedua temannya. Selama itu, kamar ini menjadi saksi bisu dari perjuangan hidup dan ketidakpastian yang menghantui setiap detik.

Meski begitu, hari-hari yang penuh doa dan ketakutan akhirnya berbuah manis. Dua hari lalu, gadis itu akhirnya melewati masa kritisnya dan membuka matanya, memberi secercah harapan bagi mereka yang setia menunggunya.

Kini, Ailee bersandar lemah di atas brankarnya, dikelilingi oleh teman-teman yang begitu peduli padanya. Wajahnya masih pucat, namun ada kilau kehidupan yang kembali menghiasi matanya.

Anetha, yang duduk di samping tempat tidurnya, dengan sabar dan penuh kasih menyuapi Ailee potongan buah-buahan segar. Setiap potongan yang masuk ke mulut Ailee adalah lambang kecil dari kemenangan atas maut yang nyaris mencengkeramnya.

Meski senyum Anetha lembut, ada bayang-bayang kekhawatiran yang terselip di sana, perasaan yang belum sepenuhnya pergi setelah hari-hari panjang yang mereka lalui.

Cahaya matahari sore menyelinap masuk melalui tirai jendela, membentuk pola cahaya yang lembut di lantai kamar. Kehangatan sinarnya sedikit mengusir dinginnya ruangan yang masih dipenuhi aroma antiseptik.

Tapi lebih dari itu, kehadiran Anetha, Crystal, dan Rabetha membawa kehangatan emosional yang jauh lebih besar. Tiga gadis itu telah bersama-sama melalui masa-masa sulit, dan kini, mereka kembali bersama di ruangan ini, merajut kembali ikatan yang nyaris terputus.

Crystal dan Rabetha duduk di hadapan Ailee, mata mereka tak lepas dari sosok temannya yang masih terlihat rapuh. Tiga hari lalu, mereka baru saja keluar dari rumah sakit, namun luka di hati mereka masih membekas.

Crystal, yang biasanya penuh dengan kegelisahan dan ketakutan, kini terlihat lebih tenang. Matanya mengawasi Ailee dengan perhatian yang dalam, seolah memastikan bahwa setiap detik yang berlalu adalah pertanda kesembuhan yang nyata.

Rabetha, dengan kepribadiannya yang tegas, berusaha mengusir suasana tegang dengan candaan khasnya. "Ai, lo gak tau kan gimana Crystal ngambek waktu tau lo gak bangun-bangun? Gue sampe harus ngebujuk dia pake permen biar gak nangis."

Sebuah tawa kecil meluncur dari bibir Rabetha, namun ada kehangatan yang tulus di dalamnya. Crystal tersenyum malu, menunduk sedikit saat mendengar candaan itu. Meskipun begitu, matanya tetap tak lepas dari Ailee, dan di sana, terpancar rasa syukur yang tak terucapkan.

ELLENA: Beauty Dancer Incaran IceboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang