Hari ini aku, kak Tama, dan Pram bangun dini hari. Kami sibuk menyiapkan sarapan spesial untuk orang spesial. Begitu kata kata Kak Tama. Tentu buat Ayah dan Bunda. Hari ini ulang tahun pernikahan mereka yang ke-20 tahun.
"Ini ditaruh disini, jadi deh," aku menaruh lilin angka 20 di atas kue tart.
"Ayah Bunda pasti bangga kan?" Mata Pram berkaca-kaca, sepertinya ia membayangkan betapa bahagianya Ayah dan Bunda saat tahu mereka menyiapkan ini semua.
"Pasti." Tentu saja itu ucapan kak Tama. Manusia paling positif thingking.
"Kalau kata gue sih jangan terlalu banyak berharap Pram," itu aku. Manusia yang gak bisa berpikiran negatif tentang orang tuanya sendiri.
Semua makanan sudah siap. Mulai dari nasi goreng, kue tart, teh hangat, dan buah yang sudah dikupas serta dipotong kecil-kecil. Kami menyiapkan ini semua. Tentu saja urusan memasak juru kami adalah Pram. Adikku ini sangat pintar memasak. Tidak, ia pintar dalam segala hal.
"Uhuk... Uhuk..." Tenggorokanku gatal sekali, sepertinya karena aku kurang minum beberapa hari ini.
"Adek? Sakit?" Kak Tama menepuk-nepuk punggung belakangku.
"Ini bang, minum dulu," kali ini Pram menyodorkan segelas air putih untukku.
Lebih baik. Tenggorokanku sudah tidak terlalu gatal lagi. Tapi sedikit ada rasa sesak.
Ayah dan Bunda turun kebawah. Mata mereka terlihat bingung menatap kami.
"Happy Anivarsary Ayah dan Bunda!" Ucap kami bersamaan, tentu saja dengan senyuman yang mengembang.
"Kalian yang bikin ini semua?" Akhirnya Bunda bersuara.
"Iya Bunda. Gimana? Keren gak Bun?" Lagi-lagi Pram begitu antusias.
"Ya sudah ayo makan. Ayah sama Bunda hampir telat kalau berbicara terus sama kalian." Ayah mematahkan senyuman Pram yang mengembang hanya dalam seperkian detik.
Sarapan macam apa ini? Ayah dan Bunda tidak ada sedikitpun mengapresiasi masakan bahkan usaha kami. Setidaknya sedikit komentar untuk makanan yang kami buat.
"Kalau begitu, Ayah dan Bunda berangkat duluan. Kalian jangan sampai telat ke sekolah. Tama antar adik-adik kamu, jangan sampai ada yang terluka." Titah Ayah yang kemudian pergi begitu saja.
"Baik Ayah," hanya itu yang mampu keluar dari mulut kak Tama.
"Kak Tama... Abang Gandy..." Pram kembali merengek. "Ayah gak suka masakannya ya? Bunda juga?"
"Kan udah gue wanti-wanti, jangan terlalu berharap sama Ayah Bunda." Aku menghampiri Pram yang air matanya sudah menetes.
"Hush... gak boleh gitu sama Ayah Bunda, abang." Lagi dan lagi kak Tama terus membela mereka. "Ayah Bunda suka sama masakannya, buktinya habis. Adek... Ayah sama Bunda sibuk, banyak kerjaan mereka, jadi harus buru-buru." Kak Tama memeluk Pram dan Aku. Pelukan hangat.
"Kak Tama..." Aku mendongakkan wajahku menatap kak Tama. "Tolong jangan pernah tinggalin kita berdua ya, terus peluk aku sama Pram dengan pelukan kakak yang hangat ini."
"Iya, kakak bakal terus sama kalian." Senyum kak Tama begitu meneduhkan. "Ayo adik-adiknya kak Tama kita berangkat?"
"Ayo!" Aku dan Pram serentak bersorak. Memang masih ada sakit hati namun, kak Tama kembali meredakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluarga Prahara
Ficção GeralKeluarga bukanlah rumah yang nyaman bagi kami. Keluarga tidak memeluk ketakutan kami, tidak menguatkan hati kami, tapi meruntuhkan diri dan hati kami. Tentang si sulung yang terus menanggung semua derita, si tengah yang selalu berusaha kuat, dan si...