19: Surat dari Tama

13 4 1
                                    

Pram masuk ke kamar kak Tama, melihat ranjangnya yang kosong. Biasanya ada suara kak Tama yang memanggilnya sambil memeluknya atau bahkan mencibit pipinya gemas. Pram memegangi pipinya, matanya mulai memanas.

"Pram rela kalo kak Tama terus cubit pipi Pram sampe merah. Gapapa kak, asal kakak tetap disini." Air mata Pram jatuh.

Pram mendudukkan dirinya diranjang milik Tama. Ia ambil bantal dqn ia peluk sekuat-kuatnya. Menciumi aroma Tama yang masih tertinggal.

Matanya menyapu semua yang ada di kamar sang kakak. Dengan linangan air mata dan sesekali isak tangis. Mata Pram tertuju pada sebuah buku yang ada di meja belajar. Ia ambil buku itu dan membacanya secara perlahan.

Tama harus kuat, adik-adiknya Tama butuh Tama.

Tama gak boleh nangis di depan Gandy dan Pram.

Tama jangan sakit.

Gandy sakit, jadi Tama harus bisa jagain lebih.

Harus pastiin Pram gak kecapekan karena belajar.

"Kak Tama..." lirih Pram yang mencengkram erat buku tersebut.

Buku tersebut dipenuhi oleh kalimat-kalimat bahwa Tama harus kuat menghadapi semuanya. Walaupun sendirian.

Ayah dan Bunda sayang sama Tama, Gandy, dan Pram. Mungkin caranya saja yang kurang diterima oleh kami.

Tama ingin dipeluk Bunda.

Tama sakit, Bun...
Hati Tama sakit, Yah...

Kalau Tama egois boleh gak Bun?

Tama selalu jaga Gandy dan Pram, yang jagain Tama siapa?

Tama gak boleh ngerepotin Ayah dan Bunda.

Gandy sama Pram tanggung jawab Tama, lalu Tama tanggung jawab siapa Bun, Yah?

Tama senang punya adik.

"Kakak selalu menahan semuanya sendiri, tanpa kasih tau aku atau abang. Kakak gak pernah mau terlihat kesakitan."

"Aku dan abang tau sakit itu kak, tapi kakak gak pernah mau nunjukin atau bahkan cerita."

"Kadang aku dan abang bertengkar, karena saling menyalahkan. Karena sudah buat kakak susah." Pram tersenyum getir.

Matanya kembali tertuju pada sebuah kalimat yang terakhir kali ditulis Tama.

Tama sayang sekali dengan Gandy dan Pram. Ayah dan Bunda juga.

Pram tersenyum menghapus air matanya. "Kehidupan selanjutnya semoga menjadi lebih baik." Pram menutup buku itu.

Ada selembar foto mereka jatuh. Pram mengambilnya. Memandangi foto itu dengan haru, ia pandangi senyum kak Tama yang indah.

Pram mebalikkan foto itu, terdapat sebuah tulisan disana.

Tama juga ingin punya kakak. Tapi kalau dengan kakak Tama gak punya Gandy dan Pram, Tama gak mau. Tama selalu ingin jadi kakak kalian berdua.
~ Adyatama Danantya

¤¤¤

Gandy sudah sembuh, ia sudah bisa berlari dan mengejek Pram. Keduanya sudah saling sembuh dari keadaan, begitu juga dengan Ayah dan Bundanya.

"Kak Tama, Ayah dan Bunda sudah benar-benar berubah. Kami berdua sudah benar-benar disayang. Ayah dan Bunda juga sayang sekali dengan kakak. Ayah dna Bunda selalu bersedekah setiap hari lahir kakak." Gandy menaburkan bungan diatas makam Tama.

"Kak Tama terima kasih ya, sudah mau jadi kakak kita berdua. Kak Tama sesekali mampir dong ke mimpi adek..." Pram mengerucutkan bibirnya.

"Kita kangen kak Tama," Gandy mengusap kepala Pram. "Kak Tama terima kasih atas semuanya. kak Tama berhasil. Sudah tidak ada lagi keluarga Prahara, sekarang hanya ada keluarga cemara." Gandy tersenyum.

"Tetap sedih karena tidak ada kakak di dalamnya," Lanjut Gandy.

"Kakak selalu ada di hati kita bang," Pram memeluk Gandy dengan erat.

Dari kejauhan ada yang memperhatikan mereka dengan senyum yang sangat tulus dan lembut. Wajahnya bercahaya memancarkan sinar bahagia. "Kakak juga senang..."

Keluarga PraharaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang