Hai?! Aku menuliskan ini ditemani oleh Ana disampingku. Dia begitu manis, senyumnya mengembang ketika aku mengetikkan ini sambil bersuara.
Tantang Ana, seorang gadis yang kutemui di toko buku kala itu. Gadis dengan gaun pink yang indah, dengan jepitan andalannya, bentuk kupu-kupu. Gadis itu memberikan warna baru.
Ana seperti malaikat bagiku, ia selalu muncul ketika aku sedang merasa kesakitan. Ia memberikan hal baru dihidupku. Ana penuh dengan kejutan.
Sekarang Ana sedang menutup wajahnya, katanya ia malu jika dipuji olehku. Katanya aku terlalu berlebihan, padahal memang begitu adanya.
Kalian tahu bunga lily? Bunga itu seperti Ana, indah dan cantik. Aku sangat menyukai bunga lily, dan ternyata Ana muncul untuk mewujudkannya.
Ana mengajarkanku tentang kehidupan, banyak sekali. Sudah berpengalaman katanya, hahaha Ana lucu sekali.
"Kalau seperti ini kamu yang akan sakit, Tama," Ana menggenggam tanganku.
"Tapi aku gak bisa, mereka terlalu penting untukku." Tama menghapus air matanya.
"Tama, percayalah kamu akan hancur jika terus seperti ini."
"Tidak apa, Ana. Aku rela hancur demi mereka, Gandy dan Pram."
Kata Ana aku keras kepala. Tidak ingin mendengarkannya. Itu karena kebahagiaanku sudah aku gantungkan kepada mereka.
Ana sering bercerita tentang kehidupannya yang berbanding terbalik sepertiku, kehidupannya yang dipenuhi oleh kasih sayang. Keluarga, teman, orang-orang disekitarnya sangat menyayanginya. Tidak ada kekurangan apapun, kehidupan yang setiap orang inginkan. Tapi ternyata Ana tidak menginginkan itu, karena menurut Ana kebahagiaan itu adalah kesehatan.
"Aku iri sama kamu," Ana membuka obrolan antara keduanya.
"Iri tentang?" Tama mengernyitkan alisnya. "Dengan tubuh yang luka-luka ini? Dengan punggung yang tiap hari bahkan tiap detik merasa tergores?"
"Iri dengan kesehatanmu, iri dengan kekuatanmu." Ana menghadapkan tubuhnya kearah Tama. "Kamu hebat Tama, kamu bisa bertahan, terus bertahan ya?"
"Aku terus bertahan demi orang yang aku sayangi."
Ana selalu mengingatkanku untuk tidak menggantungkan kebahagiaanku lada orang lain. Ia selalu marah jika aku seperti itu, padahal aku sudah di didik dari awal seperti itu.
"Kebahagiaan itu milikmu sendiri, Tama. Jangan gantungkan pada orang lain," Ana mengelus pucuk kepalaku lembut.
"Tapi aku sayang, makanya aku gantungkan kebahagiaanku untuk kedua adikku,"
"Sayang itu jika kamu bahagia, dan mereka bahagia."
"Memang seperti itu."
"Yakin? Yakin kamu bahagia? Mereka bahagia?" Ana menelisik jawabannya dari kedua mataku. "Kalian sama-sama terluka, Tama."
Setiap perkataan Ana selalu terbayang dalam benakku. Tentang pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa terjawab. Ana selalu mengejutkan.
Aku juga sering menceritakan Ana kepada kedua adikku. Mereka malah berasumsi kita berdua berpacaran. Padahal kami jelas berbeda, tidak bisa bersama.
"Ana, kenapa kamu hadir?" Tanya Tama yang membuat Ana berbalik kearahnya.
"Menurutmu?"
"Entahlah, tapi terima kasih karena telah hadir. Mari terus bertemu dalam kehidupan selanjutnya, dengan versi yang sama."
"Kita juga bertemu dan bersama pada kehidupan sebelumnya, tapi dengan versi yang sama. Entah masalah apa, hingga kini menjadi berbeda."
Ana adalah bayangan yang menyejukkan, bayangan yang cantik. Ia bersih, bercahaya, berseri, dan selalu dengan tatapan teduh.
--------------------------------------¤¤¤---------------------------------
Terima kasih karena telah hadir, Ana
~viaee☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluarga Prahara
General FictionKeluarga bukanlah rumah yang nyaman bagi kami. Keluarga tidak memeluk ketakutan kami, tidak menguatkan hati kami, tapi meruntuhkan diri dan hati kami. Tentang si sulung yang terus menanggung semua derita, si tengah yang selalu berusaha kuat, dan si...