Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
▪︎▪︎▪︎
▪︎ A s l a n - A s y l a ▪︎
Aslan William Behzad melipat dua tangan di depan dada, tatapnya tertuju pada jalanan sore hari ini dari balik kaca jendela mobil. Wajahnya masam memberengut seakan mulai muak mendengar ocehan-ocehan yang sejak tadi tak kunjung henti dia dengar dari kursi jok depan samping kemudi. Siapa lagi kalau bukan dari Zara Thanisa-Mama-nya
Hal yang paling Aslan sesali hari ini adalah pergi menghadiri acara pesta pernikahan rekan sekerja di perusahaan bersama kedua orang tuanya. Mungkin mendengar seputar pertanyaan 'kapan menikah?' dari orang-orang, dia akan menanggapi dengan santai. Namun tidak jika Mama yang bertanya. Dia yakin Mama akan terus menerus membahas tentang pernikahan untuknya sampai satu minggu ke depan atau lebih lama lagi. Dan ocehan itu terdengar kembali saat Mama menoleh ke belakang menatapnya dengan tatapan kesal.
"Kamu nggak ada niatan mau nikah gitu, Lan?" Kening Mama menyerngit. "Temen satu angkatan kuliah kamu sekarang udah pada nikah lho. Udah punya anak lagi. Kamu nggak mau gitu kayak mereka?"
"Nanti. Kalau udah waktunya, pasti nikah, Ma," sahut Aslan santai, menatap Mama dalam raut muka datar. "Lagian aku masih muda," lanjutnya berkata seolah tak ada beban sama sekali.
"Muda apanya!" balas Mama sewot. "Usia kamu udah kepala tiga, Aslan. Mau kapan lagi? Nunggu kepala empat? Huh? Iya?" Mama mendengkus kasar. "Ketuaan kalau nikah di usia segitu. Belum lagi program mau punya anak. Usia kamu sekarang itu lagi bagus-bagusnya. Usia yang produktif, usia yang sudah sangat matang untuk membina rumah tangga."
Aslan diam, lebih tepatnya tak ingin menanggapi ucapan Mama. Dia terpejam sebentar, mencoba menahan rasa kesal dalam hati. Mood-nya mulai hancur, sedangkan jarak menuju rumah masih jauh. Berarti dia harus lebih banyak bersabar mendengar gerutuan Mama lebih banyak lagi daripada ini.
"Mama tuh bingung deh, Lan, sama kamu. Dijodohin nggak mau, disuruh ketemuan sama cewek-cewek cantik pilihan Mama, nggak mau. Kenalan sama cewek baik, anak temennya Papa, juga nggak mau." Mama berdecak. Mata teduh itu kini menyipit tajam. "Lan, kamu bukan cowok suka main pedang-pedangan, kan?"
Mendengar itu, mata Aslan refleks membola. Terkejut dengan apa yang Mama ucapkan. "Aku masih normal, Ma," suaranya rendah namun penuh tekanan, sangat tersinggung.
Bagaimana bisa Mama berbicara seperti itu pada anaknya sendiri. Satu tangan Aslan terangkat memijat dua pelipis yang mulai terasa pening.
"Ya, siapa tau aja 'kan?" ujar Mama tanpa merasa bersalah. "Nggak usah marah dong, kalau emang kamu normal. Gitu aja mau marah." Mama memutar tubuh ke depan, duduk seperti posisi awal. "Nanti Mama tanyain deh, sama ibu-ibu arisan, siapa tau mereka punya anak cewek yang jomblo, yang bisa dikenalin sama kamu." Masih berusaha, Mama sama sekali tidak mau menyerah mengenalkan serta mencari-cari wanita yang ingin dijadikan menantu di keluarga mereka. "Kalau anaknya tan-"