15. Dokter Pribadi

149 5 0
                                    

"Tahan sebentar, ya. Pain tolerance kamu rendah, jadi ini pasti sakit selama aku tutup kembali luka kamu."

Tasya hanya menjawabnya dengan dehaman singkat. Bahkan Tasya sudah menutup mata sebagai tanda persiapan mental.

Merasa Alvian tak kunjung menyentuhnya, Tasya kembali membuka mata. Tahu apa yang Alvian pikirkan, Tasya menyingsatkan piyamanya sendiri hingga lukanya bisa terlihat dengan jelas.

Alvian perlahan mulai menutup kembali luka Tasya. Melihat Tasya terus menutup matanya, Alvian berdeham pelan. Alvian mulai berbicara untuk mengalihkan perhatian Tasya dari rasa sakit yang sedang ditahannya.

"Berhubung luka kamu sampai melukai organ dalam kamu, jadi untuk seterusnya kamu ada di bawah pengawasan aku secara profesional. Kamu dikasih pereda nyeri dosis tinggi, karena itu sejak bangun kamu enggak ngerasain sakit. Lukanya pasti kembali terasa sakit, tapi enggak seburuk rasa sakit yang seharusnya."

"Maksudnya, aku jadi pasien kamu?"

"Iya."

Tasya hanya memberikan respons dengan dehaman kecil.

Alvian tentu saja tahu bahwa Tasya pasti trauma dengan kejadian kemarin. Alvian baru tahu bahwa luka Tasya lebih parah dari dugaannya setelah pasien Tasya dialihkan ke tangan Alvian.

Bahkan luka jatuh saja, Tasya tidak pernah punya selama hidup. Tak pernah terbayangkan oleh Alvian bahwa suatu hari Tasya akan mendapatkan luka karena tusukkan pisau.

"Kebetulan cuti tahunan aku belum dipakai. Aku sudah ajukan cuti setelah kamu pulang dari rumah sakit, supaya aku bisa lebih fokus ngerawat kamu di rumah," kata Alvian tanpa mengalihkan perhatiannya.

Tasya membuka mata secara perlahan dan menatap Alvian yang sedang fokus mengobati lukanya. Sorot mata lembut Alvian tetap sama sejak dahulu. Tidak pernah berubah sedikit pun. Bahkan di hari mereka putus pun, Alvian tetap memberikan sorot mata penuh kasih sayang pada Tasya.

"Gak perlu, Alvian. Aku bisa sendiri. Aku gak mau mengganggu pekerjaan kamu."

Menyerahkan peralatannya pada sang perawat, Alvian membuka sarung tangan dan menggenggam tangan Tasya dengan lembut.

"Gak usah pikirin aku. Kali ini aku enggak akan kemana-mana."

Tasya hanya bisa mengangguk singkat sebagai jawaban. Pikiran Tasya masih terlalu kacau untuk diajak berpikir jernih.

Tak mau mengganggu Alvian, memastikan bahwa tugasnya sudah selesai, sang perawat memutuskan untuk undur diri secara diam-diam. Tepat saat sang perawat membuka pintu, datanglah Sasa bersama Arkana.

Arkana berlari menuju ranjang pasien Tasya dan menggenggam tangan Tasya dengan semangat. Padahal mereka baru berpisah dua jam yang lalu. Sementara itu, Sasa terperangah melihat perubahan besar ekspresi Arkana ketika bertemu Tasya.

"Mami Tasya! Ayo kita main!" seru Arkana.

Tasya memberikan kode pada Alvian agar tidak menghentikkan Arkana. Tasya tahu bahwa ini adalah waktunya minum obat, tapi Tasya pikir, Arkana jauh lebih baik daripada obat.

"Ayo sini duduk sayang."

Arkana duduk menghadap Tasya. Sesuai janji, Tasya mengeluarkan satu batang cokelat dari dalam laci nakas untuk Arkana.

"Hadiah untuk anak baik."

"Makasih Mami Tasya!"

Alvian menyapa Sasa yang masih tak bergeming di daun pintu karena terlalu terkejut melihat interaksi Arkana dengan Tasya. Padahal Sasa sudah kenal Arkana sejak awal, tetapi tak pernah sekali pun mendapatkan perilaku hangat dari Arkana.

Pesona MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang