16. Hanya Alvian

58 6 1
                                    

"Oh, ya. Ini ponsel kamu dayanya sudah penuh." Alvian menyerahkan benda pipih berwarna putih pada pemiliknya.

Tasya menyalakan ponsel dan mendapati banyak notifikasi. Mulai dari soal pekerjaan, pertunangan hingga hal lainnya yang sedang ingin Tasya hindari.

"Rendy bilang, besok adiknya baru bisa ambil tas dari kamu."

Tasya menjawabnya dengan anggukan singkat karena terlalu fokus membaca satu demi satu pesan yang masuk. Mendapatkan panggilan masuk, Tasya segera mengangkatnya.

"Halo, selamat siang. Gak perlu. Tetap sesuai pada jadwalnya saja. Saya usahakan datang ke pengadilan tiga hari lagi. Baik, terima kasih. Selamat siang."

"Kamu aja masih belum bisa jalan. Yakin mau datang ke pengadilan tiga hari lagi?" tanya Alvian setelah Tasya mengakhiri panggilannya.

"Aku harus tetap profesional. Lagipula, kata kamu, aku selalu punya kamu. Kamu bisakan temanin aku pergi ke pengadilan tiga hari lagi?" Tasya mengedip-ngedipkan matanya dengan imut.

Melihat hal itu, Alvian tak bisa menahan diri lagi untuk tersenyum lebar. Tahu bahwa tak ada yang bisa mengubah keputusan Tasya, Alvian hanya bisa mengabulkan permintaan Tasya.

"Harusnya tiga hari lagi kamu belum boleh keluar dari rumah sakit. Tapi aku pasti temani kamu. Walau aku gak paham hukum, aku bisa bantu kamu ngetik laporannya. Kamu mau makan malam apa? Biar aku masakin sebelum masuk shift malam. Kamu pasti gak bakal suka menu-menu rumah sakit."

Tasya tersenyum haru. Sudah terkapar seperti ini pun, sejak dahulu tetap saja hanya Alvian yang bisa Tasya andalkan. Sejak awal, hanya Alvian yang selalu memprioritaskan perasaannya. Bahkan keluarga Tasya sendiri pun tak bisa memahami perasaan Tasya. Mereka selalu mengambil keputusan tanpa perlu memikirkan pendapat dirinya.

"Apa aja. Semua masakan kamu enak."

Tasya mengusap lembut jemari mungil Arkana. Pikirannya masih seperti benang kusut. Tasya tak tahu harus menyelesaikan masalahnya mulai dari mana. Tasya juga merasa tak enak karena telah menyembunyikan ini semua dari Alvian yang harus Tasya libatkan dalam masalah ini.

"Gak bisa tidur?" tanya Alvian seraya membereskan kotak makanan.

Seharusnya Tasya sudah mulai terlelap karena pengaruh obat. Sepertinya beban pikiran Tasya sedang menguasai hingga mengusir rasa kantuk yang harusnya datang.

Ada banyak hal yang ingin Alvian tanyakan pada Tasya. Kabar perceraian orang tua Tasya pun, Alvian tak tahu sedikit pun karena Tasya tak pernah cerita.

"Aku senang kalau sama kamu, aku gak perlu banyak bicara. Rasanya, tanpa aku bilang pun kamu sudah mengerti perasaan aku gimana. Kamu lebih mengerti diri aku daripada aku sendiri." Tasya tersenyum lembut pada Alvian.

"Justru aku kebalikannya. Kalau sama kamu, rasanya aku pingin terus bicara. Padahal aku gak banyak bicara kalau sama orang lain."

"Aku gak bisa tidur. Bohong kalau aku gak terbayang-bayang sama kejadian kemarin. Rasanya seolah tangan aku masih ada pisau dan darah itu."

Alvian berpindah tempat duduk ke pinggir ranjang, menjadikan tangannya sebagai bantalan Tasya. Kini Tasya merasakan kehangatan, kenyamanan serta rasa aman dengan diapit oleh Alvian dan Arkana.

"Ayo tidur, nanti Arkana keburu bangun." Alvian mengusap lengan Tasya dengan lembut.

"Gak usah mengkhawatirkan apa-apa sekarang. Semuanya akan baik-baik saja," bisik Alvian seolah itu adalah sebuah mantra.

Tak butuh waktu lama agar Tasya tertidur karena pelukan Alvian. Rasanya waktu berjalan begitu cepat. Alvian sendiri tak menyangka bahwa kini Tasya berada di dalam pelukannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pesona MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang