6. An Ex-Turned-Neighbor

96 3 0
                                    

"Dia pewaris tunggal perusahaan besar. Kamu gak perlu bekerja keras lagi setelah menikah sama dia." Lizzebeth masih berusaha membujuk Tasya.

"Ini bukan soal kerja keras lagi, Bunda. Ini semua tentang impian Tasya! Tasya belum lama kerja sebagai pegawai resmi karena Tasya kemarin sibuk di London kalau Bunda lupa."

"Bunda gak pernah suruh kamu keluar kerja. Bunda cuma mau kamu menikah dengan pilihan Bunda. Itu saja."

Lizzebeth memang sudah berkali-kali mengatur kencan buta untuk Tasya. Hanya saja baru kali ini Lizzebeth mengatur hingga sejauh ini. Kencan buta, Tasya masih bisa menahannya. Pernikahan, Tasya tidak bisa menahan diri lagi untuk hal yang satu itu.

"Bunda juga tahu bukan kalau pernikahan gak dijalankan sebulan dua bulan? Seumur hidup, Bunda!" mata Tasya sudah memerah karena menahan tangisan saat ini. Rasanya Tasya ingin menangis karena terlalu kesal.

"Bunda tahu. Maka dari itu Bunda tahu apa yang terbaik buat anak Bunda." Lizzebeth masih berusaha sabar kepada Tasya.

"Bunda tahu apa tentang Tasya selama ini? Bunda gak tahu! Selama ini Bunda selalu sibuk bekerja. Gak pernah ada waktu dua puluh empat jam bareng Tasya."

"Tasya, Kevin pria yang mapan. Setidaknya coba kenalan dulu sama Kevin. Bunda bisa menjamin kalau Kevin anak yang baik."

"Bunda, stop it! For godshake!" Tasya meremas rambutnya frustasi.

"Pilih masuk ke dalam dan duduk manis atau pergi hidup mandiri dari sekarang," ancam Lizzebeth dengan nada tenang. Berbanding terbalik dengan Tasya yang sudah terbawa amarah.

"Fine! Tasya bisa hidup sendirian di luar sana," jawab Tasya tanpa pikir panjang.

"Kalau gitu kembalian semua aset yang Bunda berikan ke kamu. Termasuk mobil." Lizzebeth mengadahkan telapak tangannya.

Tasya mengeluarkan dompet dan menyerahkan sebuah kartu debit dan kredit berwarna hitam kepada Lizzebeth. Selama ini segala kebutuhan Tasya memang masih menggunakan uang dari kedua orang tuanya.

"Kalau gitu Bunda jangan cari Tasya," pesan Tasya sebelum melangkah pergi dengan mantap.

Lizzebeth menghela napas melihat punggung Tasya yang semakin menjauh. Kini Lizzebeth harus membereskan kekacauan yang sudah Tasya buat di acara makan malam yang sangat berharga.

"Sebentar lagi anak itu juga pulang. Tasya gak akan bisa hidup sendirian di luar sana. Gaji Tasya yang segitu cuma cukup buat sarapan doang."

***

Tak tahu harus kemana, Tasya menghentikkan kakinya di depan sebuah gedung apartement yang lokasinya berjarak sepuluh menit saja. Berhubung hari semakin larut, Tasya memutuskan untuk masuk ke dalam gedung apartemen.

"Halo, selamat malam. Apa masih ada unit yang kosong untuk disewakan?" tanya Tasya kepada resepsionis.

"Halo, selamat malam. Baru saja ada unit yang dikosongkan, tapi tidak ada barang di dalamnya. Sisanya adalah unit kosong lain yang khusus dijual atau ada unit sewa lain yang harus menunggu besok untuk bertemu dengan pemiliknya. Bagaimana?"

"Saya ambil saja unit kosong yang ada. Lagipula saya gak suka pakai barang orang lain. Bayar sewa selama setahun dulu, boleh?"

Tasya membuat keputusan tanpa berpikir panjang lagi. Kaki Tasya sudah tidak kuat untuk berjalan lebih jauh demi menyewa kamar hotel berbintang atau mencari unit apartement kosong lainnya.

"Tentu saja boleh. Mau langsung pembayaran sekarang?"

"Ya. Saya langsung tempati malam ini."

***

Pesona MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang