Lidah Iblis
Pertama-tama, ini adalah bagaimana keadaannya terjadi; aku memang tidak mampu menuliskannya secara faktual dan sesuai dengan apa yang terjadi di tempat kejadian ... namun, antara aku terkesan atau berakhir di ambang kematian, aku harus segera menengahi kontras di batinku.
Di taman belakang rumahku, aku menunjukkan kepadanya sebauh embun yang masih terperangkap di daun saat siang hari, meski awalnya aku ragu-ragu bahwa setidaknya ada satu; namun kami menemukan setidaknya dua puluh embun yang masih terperangkap, momen itu tertangkap saat matahari telah menyingsing ke atas walau tanpa awan sehelai pun.
Selanjutnya, dia berkata kepadaku: "Jika masih berembun di tamanmu: apakah itu berarti menjadi pertanda buruk atau baik?"
"Tentu ini pertanda baik," jawabku, mengusap kepalanya yang berdebu, "dan kenapa 'buruk' datang lebih awal daripada 'baik' di pertanyaanmu?"
"Kamu tidak melihat keanehannya, sayangku?"
"Sama sekali tidak ... kamu sudah di sampingku saja, ah, Cintaku, tulip hijau membuatku mengatur semuanya dengan bijaksana!"
"Aku tidak melihat hal itu di matamu!"
"Tentu saja tidak, aku tidak berkompromi."
"Dan soal embunnya—"
"Aku tidak tahu mengapa itu bisa terjadi," aku memotong.
Lalu aku bangkit, Gadis itu masih berlutut. Kembali aku mengusap rambutnya; pitanya sangat cantik, putih dan kecil di belakang kepalanya,— karena perhatiannya masih terpaku pada embun, jadi jari-jariku bermain sebentar dengan ikatannya yang unik.
Tidak berselang lama, dia melirik, menoleh, dan mendongak ke arahku.
"Apa yang kamu lakukan?" Dia menuntut penasaran.
"Tidak ada, hanya bosan," aku menyampaikan. Lalu berhenti sebentar karena dia masih melihat wajahku.
Aku menunduk, "sepertinya perhatianmu tidak terletak kepadaku." Aku melanjutkan.
Gadis itu tidak menjawab, justru dia kembali menatap kumpulan embun yang menggantung dan memberikan bercak segar. Matanya yang tajam dengan memperhatikan analisis yang intens, sementara aku kebingungan mengapa dia tampak terpesona sekaligus tergesa-gesa saat mengamati secuil embun di atas daun yang berserat juga berseri?
Akhirnya aku berhenti bermain dengan ikatannya dan meletakkan tanganku di kantong.
"Keringatmu bercucuran," kataku, menyadari wajahnya yang memantulkan sedikit cahaya, "kamu perlu payung?"
"Tidak,—" jawabnya, lalu melirik dan tersenyum kecil ke arahku. "Aku perlu pisau." Lanjutnya, "Tolong pisau yang paling tajam, yang kamu punya, atau yang ada di kantongmu!"
"Untuk apa? Kamu tidak akan bunuh diri, bukan?"
Alisnya terangkat, lalu berkata dengan nada melankolis: "Hei, itukah yang kamu tanyakan pada seorang perempuan? Kamu tidak sopan!"
"Uh, baiklah, baiklah, maafkan aku." Kataku, sedikit getir, "maklum, dari dulu aku kira hanya usia yang tidak boleh di tanyakan kepada perempuan."
"Banyak hal, Alex. Banyak hal!" Tegasnya.
Kami diam sebentar. Dia diam sebentar sambil menatapku tajam, sementara aku lupa keinginannya dan tampak konyol di depan gadis yang kucintai.
"Jadi,—" Ia memulai, "Pisaunya?"
"Oh, yah," desahku, kembali bijaksana dari tampang konyol ku. Perlahan-lahan, lengan kiriku meraba-raba kantong, mendapatkan pisau lipat, dan—
"Oh, tunggu dulu," alisku mengerut, sebab kurasa ada yang salah, "bagaimana Kamu tahu aku menyembunyikan pisau di kantongku? Aku pernah mengeluarkannya?"
"Pernah, Kamu ini pelupa, ya?" Dia tersenyum kemudian tertawa kecil, "Masa kamu tidak ingat?"
"Tidak, karena aku jarang mengeluarkannya jadi bagaimana Kamu tahu?" aku mengumumkan, "Dan, jika pun aku pernah mengeluarkannya— di saat apakah itu?"
Gadis ini kembali tertawa, astaga suara tawanya menjengkelkan!
"Pesta di Caesar House," Gadis ini menyampaikan, "66 Caesar House. Kamu lupa? Saat itu aku melihat kamu mengeluarkannya. Memang aku melihatnya dari jauh. Dan kamu mengeluarkannya, hanya karena kamu tidak mampu memotong steak. Lampu di aula itu memang gelap, tapi mataku masih bisa melihatmu, loh." Dia kembali tertawa kecil, sambil menutup mulutnya yang tersenyum dengan jari-jari cantiknya yang rapat.
"Oh, yah, aku mengingatnya;—" aku menerima, "yah, tapi aku belum mengenalmu. Ternyata Kamu juga datang ke pesta itu?"
Wajahku memerah.
"Astaga, aku kira malam itu sungguh rahasia dan aib! Eh, Aku jadi malu sendiri ..." Tambahku.
Aku mengeluarkan dan memberikan pisau itu kepadanya, Ia menerimanya dengan lembut, seketika itu juga pisau itu diletakkan di atas rumput sebentar karena dia ingin melepas kedua sarung tangannya,—
"Tolong pegang punyaku sebentar," pintanya, saat mengangkat sarung tangannya kepadaku.
Aku mengambilnya, melipatnya, dan meletakkannya di kantong kemeja ku.
Lalu, ia kembali mengusap tanah, mengambil pisau ku, mengangkatnya setinggi kepala, kemudian mendekatkan mata pisau itu ke jari telunjuk tangan kanan,— ia menggoreskan sedikit, seketika darahnya membumbung dari celah mikroskopik.
"Aku penasaran," katanya, dengan nada menantang sekaligus memberanikan diri, "aku penasaran, sebab tidak mungkin embun tidak menguap di siang hari dan wujudnya hampir sempurna ..."
"Apa yang kamu katakan?" Aku menuntut.
"Sudahlah, sayangku, sebentar lagi, kamu akan mengerti!" Tegasnya, "kemari, lihatlah,"
Aku menuruti kemauannya, jadi aku kembali berlutut dan menyaksikan apa yang pantas aku perhatikan ... sebab, saat gadis itu mengulurkan lengannya, telunjuknya yang tersayat perlahan-lahan mengalirkan darah hingga bergelembung. Tidak lama gelembung itu jatuh dan berpadu dengan embun di atas daun ... Ukurannya membesar namun tidak pecah. Darah gadis itu seketika itu juga membentuk pusaran kecil di dalam; tidak lama, tetesan itu sekarang berhamburan menjadi partikel yang lebih kecil, berkeliling seperti asap panjang, dan di dalam embun tetesan itu perlahan-lahan mengalir hanyut dan tidak mengukir ataupun menghancurkan, sementara itu warnanya perlahan pudar dan tidak lama aku sudah tidak lagi melihat darah, karena darah itu sudah menjadi jernih ...
"Tunggu, apa yang terjadi? Bagaimana ini mungkin? Embun itu kembali jernih!"
"Ya Ampun," desahnya, lalu dia mengangkat telunjuknya yang sudah bergelembung dan bersiap menetes kembali ... prosesnya terjadi sangat cepat ... dan sudah lima kali Gadis itu meneteskan darahnya. Di sampingnya, aku masih tidak percaya; dan sekarang justru aku yang menaruh perhatianku kepada embun itu. Embun yang semakin besar dan besar, terlihat seperti telur ayam yang sudah membengkak!
"Apa yang terjadi?" Ulangku, menuntut dan sedikit histeris karena merasa jijik, "apa itu?"
Gadis itu diam sebentar, wajahnya datar dan menunjukkan jika dia menahan marah: entah apa yang ada di pikirannya untuk tetap mengalirkan darah lewat telunjuknya ke atas embun itu, namun sekarang— karena bentuknya yang semakin membengkak,— aku putuskan untuk berdiri, dan mundur ke belakang gadis itu ...
"Jawab aku, Densi, katakan apa itu!" Tegasku, mulai meninggikan suara.
Dia masih tidak menjawabku dan masih menikmati permainannya; dan berselang beberapa detik, dia menoleh, dan memintaku kembali mendekat.
"Kemarilah, Alex, kemari! Dengar, kamu pasti suka!" Pintanya.
Hatiku berusah menolak ajakan tersebut, tapi sepertinya aku memang harus memenuhi ajakannya ... karena otakku yang mengendalikanku, dan karena syaraf-syarafnya penasaran dia memerintahkanku untuk mendekat.
Setelah aku kembali berlutut di sampingnya, kulihat jika embun itu telah berubah menjadi seukuran bola lampu,— itu bukan lagi hanya sekedar embun, melainkan berbentuk parasit,— anehnya, daun yang menjadi tempat makhluk itu bersinggah tidak membuka jalur agar makhluk itu terjatuh ke arah rerumputan. Makhluk itu tertopang dengan baik dan tenang di atas daun yang berserat.
Lalu, sekarang, kulihat lebih jelas lagi, yang membuat perhatianku terpana sekaligus merinding: terdapat gelembung-gelembung baru di dalamnya yang tersusun bagai organ-organ dalam ... aku rasa ini berasal dari darah gadis di sampingku ini yang terus menerus tersenyum dengan wajah yang menunjukkan dia tahu dan sedang merencanakan sesuatu!
Sejenak, aku menoleh, dan aku masih akan kembali mengulang pertanyaanku. Tapi baru beberapa detik saja,— dan aku belum membuka mulut atau mengangkat lidahku,— aku sudah melewatkan sebuah momen yang sampai saat ini aku ingat setengahnya saja ... Makhluk embun itu meletus, isinya berhamburan, cairannya mendidih di wajah dan leherku! Di susul dengan rasa gatalnya, dan aku segera melompat dari tempatku untuk bertindak seperti orang gila ...
Selama lima menit lamanya, kuhabiskan untuk menggaruk dan mengusap wajah dan cekungan leher. Kemudian, saat aku berhasil menghilangkan gangguan-gangguan itu, aku berbalik dan menatap gadis yang kucintai.
"Kamu berhutang banyak pertanyaan padaku!" Jeritku, dengan sedikit rasa gatal yang masih belum hilang, "Katakan, katakan yang kamu tahu!"
Dia tersenyum; tidak ada rasa bersalah di wajahnya, dan tidak kulihat pula gadis cantik yang aku cintai di wajahnya yang mulai acuh.
"Itu, Cintaku, tulip merahku, itu tadi adalah Lidah Iblis, yang jarang ditemukan!" Ia menjelaskan, "Sewaktu-waktu Iblis harus menebus dirinya sendiri karena dia gagal meyakinkan seseorang untuk berpindah ke Neraka— ah, tapi dia mewakilkan semua hal dalam wujud apapun. Nah, dari Lidahnya yang terpotong atau Aku, kira-kira, mana yang akan menyeretmu ke Neraka itu?" [ ]