Neraka Utusan
Cuacanya tidak terlalu panas dengan terik matahari yang redup saat menjelang siang hari. Aku ingat waktu itu dengan setelan musim panas favoritku, aku pergi menuju lapangan terbuka Rosnouveo,— membelah semak-semak sambil menginjak alang-alangnya yang berwarna perunggu muda. Dari jauh sekalipun, daun-daun pohonnya seperti permata hijau, kuning, oranye, dihembuskan angin, rontok, dan bertebaran sepanjang mataku dapat meraih apa yang pantas di raihnya.
Melewati jembatan, aku melihat sungainya yang mengalir deras. Jembatan yang aku lalui ini sudah bobrok, tapi tidak pernah sekalipun hancur, dibuat dari jejeran jati, dan menghubungkan dua lanskap datar yang ditumbuhi rerumputan hijau asri.
Jika saat itu, saat aku belum melihatnya,- demi Tuhan seharusnya aku bahkan tidak harus hadir ke sana, seharusnya aku hanya sekedar melintas sembari masa bodoh, tidak menghiraukan panggilannya- mungkin kutukan ini tidak terjadi padaku. Baru sesaat setelah kakiku mendarat lanskap lainnya, aku menyadari jika kuil yang aku sukai di sisi yang sedikit jauh, terdapat penampakan yang terlihat kecil dan imut, ada seseorang di sana!
Akhirnya aku bergegas dari tempatku, memasuki jalan setapak, membelah semak-semak, dan sampai di depan kuil.
Aku belum memasukinya dan belum memanggil namanya; karena dia masih berdoa dengan khusyuk di depan Lord Gaullle, dan aku tidak pantas untuk mengganggu orang yang sedang beribadah.
Sepertinya wanita ini sadar dengan kehadiranku, dan lekas-lekas menyelesaikan doanya dan berdiri lalu berbalik pelan-pelan. Dengan penampilan hampir telanjang; kain yang compang-camping, terlihat lekukan tubuh dan area bawah, kulitnya putih, pipinya merona merah tetapi wajahnya datar-datar saja. Bersama penampilan itu, di atasnya terletak jerami kusutnya yang memakai hiasan kepala yang sukar untuk ditemui dengan bentuknya yang seperti Mahkota Duri, namun bukan Mahkota Duri yang sedang aku maksud di sini, melainkan yang sulit dijelaskan!
Jujur, aku sulit untuk mengajaknya bicara, terlebih dengan penampilannya yang di luar dugaanku,-
"Nona-" Panggilku, memberanikan diri, "Jika anda-"
"Anda bisa pergi,-" sahutnya, kalimatku terpotong di tengah-tengah.
"Apa? Seharusnya saya yang berkata demikian! Lihat, penampilan Anda, Anda terlihat sangat tidak sopan!" Tegasku.
Wanita itu menunduk, memperhatikan penampilannya, lalu kembali mendongak dan menatapku lagi; "Sebaiknya anda cepat pergi!" ulangnya, "Seharusnya Anda adalah yang harus cepat pergi!"
Aku menghela napas, berusaha mengontrol emosi.
"Aku akan pergi setelah kamu pergi!" Kataku diplomatis, dengan suara tinggi— suaraku meninggi sebab refleks akibat melihat lekukan tubuhnya yang, ya ampun, tidak sopan.
Ia menatapku sejenak; wajah polosnya benar-benar mampu agar aku tidak mengelak dari matanya, matanya intens dengan pembawaan hitam yang cantik di bawah mahkota duri ...
"Ayo, apa yang kamu tunggu? Cepatlah pergi!" Kataku, sekali lagi-
Dia tidak menetap, justru menggeleng, berbalik kembali menatap Patung Lord Gaullle sambil memposisikan lengannya yang berdoa. Tidak lama dia membungkuk,— memperlihatkan hal yang tidak seharusnya aku lihat, dan cepat-cepat aku memalingkan muka,— saat aku kembali menatap wajahnya, dia sudah kembali menghadapku. Lengannya terulur, karena pandanganku cukup dekat dengan telapak tangannya, aku jadi bisa melihat bekas-bekas luka lebam yang masih dalam proses pemulihan di jari-jari dan punggung telapak tangannya ... Aku berpikir dan kebingungan: "Makhluk Bodoh macam apa yang ingin melukai wanita cantik ini? Dengan bentuk luka-luka itu, seharusnya terdapat lebih banyak di tubuhnya! Astaga, Masa-masa penderitaan dan keputusasaan, sepertinya, telah menghampirinya lebih sering daripada orang-orang Atheis,"
"Ambil ini!" Pintanya, aku keluar dari bayang-bayangku soal kejadian apa yang telah menimpa gadis itu untuk kembali menatap wajahnya ...
Kali ini, mengesampingkan penampilannya yang compang-camping dan terbuka di beberapa sisi hingga lekukan tubuhnya terlihat, aku tersenyum, dan bertanya dengan nada yang lebih lembut dan ringan: "Apa ini?" sebelum menunduk dan melihatnya, Itu sebuah buku, pinggirnya tidak terlalu menarik sedangkan sampulnya sangat tua sampai-sampai mengerut. Aku mengulurkan lenganku, mengambilnya, lalu kembali menatap wajahnya.
"Kamu harus membacanya sekarang;" senyum tipisnya terlihat meski tertutup-tutupi oleh beberapa tirai helai rambut. "tapi jangan sampai membuka babak kedua," lanjutnya, melirik sampul buku yang tidak istimewa itu, "Karena hal itu dilarang,- beberapa manusia yang melanggar biasanya akan bernasib sial."
"Lalu kenapa kamu memberikan ini kepadaku? Jadi, Kamu memintaku untuk sial?" Kataku, dengan nada bercanda,-
Dia tidak tertawa,— aku menghela napas,— menuruti permintaannya,— mulai membacanya dari Syair pembuka, di situ terbaca:
"Tidak ada alasan untuk manusia diciptakan selain serentetan kejadian; dan tidak ada Alasan bagi siapapun untuk disembah, kecuali Iblis melakukan hal yang hina!"
"Maka, diciptakannya dua dunia, untuk bersatu, tetapi salah satu dunianya menghalangi dunia yang lain untuk memasuki satu sama lain, hal ini karena halangan satu, perantara dan Raja."
"Jika perantara hilang; keduanya hilang dan terlupakan, dan tidak ada alasan lagi bagi Sang Raja untuk mempertahankan yang lupa dan terlupakan."
Di kala membacanya, terbesit berkali-kali di benakku beberapa suara dengan volume tipis, kedengarannya memang bukanlahbsuara manusia yang aku pernah dengar di manapun ... dan, setelah mataku memastikan agar aku berhenti di akhir babak pertama, otakku menyusun suara itu dengan urutan seperti ini:
"Sebaiknya kamu berhenti!"
"Kamu sudah terlalu jauh!"
"Dia mengirimkanmu peringatan!"
"Kamu harus berhenti sekarang!"