Merayap
"Sudah jelas bukan?" Aku menuntut setelah menjelaskan metodenya panjang-lebar, kemudian dengan hati-hati menutup katup lentera agar cahayanya tidak berpetualang.
"Tetapi aku tidak yakin," kata Li, "aku mendengar jika perempuan-perempuan di London itu lebih putih dari salju, sama dengan sifat dan keinginannya."
Aku bangkit dari tempat duduk, dan berdiri di hadapannya sambil menenteng lentera.
"Sekarang, inilah komplikasi barunya," kataku,
"Tidak, inilah klimaksnya! inilah caramu memperbaiki reputasimu sebagai seorang Pria! Kamu, tidak!, Kita, sangat beruntung; lebih beruntung dari Cornell, dia digantung. Dan Cornell lebih beruntung daripada Dosden, sebab dia disalib di kuil Our Lady of Welshman dalam keadaan hidup— dan tetap hidup hingga hari ini!"
Li, memerhatikan peti di depannya, melirikku, dan aku berusaha memasang wajah yang sungguh meyakinkan agar dia berani untuk menyucikan dirinya kembali.
"Apa, ... apa aku berani? Tapi, ini terlalu cepat .. terlalu cepat ..."
Ini bukan perkara mudah dan setiap orang mengalami fasenya sendiri ... aku sungguh mengetahui perasaan takutnya, karena disertai bayang-bayang kegelapan di dalam tanah.
"Kamu hanya akan dikuburkan satu hari," tegasku, meyakinkan, "bukan, bukan satu hari. Satu malam. Pukul 6 kamu sudah ditemukan kembali."
Aku berpaling dan beranjak ke peti matinya, peti itu berdiri kokoh, tinggi seukurannya, terbuat dari pinus, dengan salib kecil dari perak di bagian kepala. Aku membuka peti itu, sekarang tampak bagian dalamnya yang polos dan tidak bergaris, sepadan dan pantas, di sinilah orang-orang akan berakhir, ya? Aku mungkin menyusul 3 tahun selanjutnya!
Aku berbalik, mengangkat lenteraku, membuka katupnya sedikit lagi dengan harapan agar cahaya yang kuberikan dapat membuat Li tidak terlalu gugup untuk ritual penyuciannya. Jarum waktu hampir menunjuk pukul 7, menjelang malam hari, aku berjalan mendekat, "sudah waktunya, Li," aku mengumumkan, "Bersiaplah!"
Kudengar napasnya berhembus, bersatu dengan udara dan terasa hangat. Ia menopang tubuhnya dan mencoba untuk berdiri, aku tidak diperbolehkan menyentuhnya kecuali saat dia sudah masuk ke dalam peti.
"Maafkan aku, Tuan Leontiy," katanya, "jika aku diberikan waktu?" Rona pipinya berubah pucat,
"Cepatlah!" Pintaku. "Sebentar, aku harus mengambil kain kafanmu." Tambahku.
Aku pergi sebentar untuk ke atas dan mengambil kainnya di brankas; Dan saat aku kembali, Li sudah berada di petinya, memposisikan lengan dan bersandar,— posisinya sudah benar-benar seperti Jenazah,— aku kembali masuk ke bilik makam dan mendekatinya. Kuakui posisinya mengerikan, padahal aku sudah melihat lebih dari seratus orang dalam satu tahun ini, tapi Li melakukannya benar-benar dengan sempurna hingga membuatku menggigil saat mendekatinya: benar-benar sesosok jenazah di dalam peti!
"Baiklah, Li, ceritakan padaku saat kau kembali ke permukaan dan berjalan dengan dua kaki!" Kataku, berbisik saat mengikat kepalanya ... mulutnya sudah tertahan dan terikat dengan kepala. Aku tidak perlu membenahi posisinya, karena dia sudah melakukannya dengan sempurna.
Jadi aku menyeret dan menutup petinya, pergi ke atas untuk memanggil tiga orang berjubah gelap dari Biara, dan mereka akan mengurus sisinya ...
Selama kurang lebih 36 menit, akhirnya mereka kembali kepadaku yang sedang menunggu di luar Rumah Makam. Seperti biasa mereka akan memberikan laporannya kepadaku, dengan nada dan ritme yang sama: "peti selesai dimakamkan." Lalu mereka pergi meninggalkanku.
Aku pergi ke halaman makam sambil berhati-hati saat menginjak rumput-rumput yang tidak dipotong, di sana aku mencari-cari dan akhirnya menemukan makam Li,— bagi seseorang yang dikuburkan hidup-hidup, nisannya akan terbuat dari campuran marmer juga steatit,— jadi aku bisa mengenalinya walaupun tanpa tanda nama ...
Tidak ada suara; dia juga tidak memberontak dan suka berteriak seperti saksi-saksi bawah tanah lainnya. Aku menunggunya sebentar, aku pikir, sampai pukul delapan kurang ... barulah,— sampai kukira sudah benar-benar tenang dan aku sendiri tidak terlalu cemas untuk berpikir jika dia terlalu ketakutan,— akhirnya aku berpikir untuk meninggalkannya. Sepintas, terpikirkan olehku apa yang terjadi kepada Cornell, karena dia merayap sebelum waktunya dan berakhir di gantungan. Aku tidak ingin ada orang lain yang berakhir sama dengan Cornell meski dia sebejat Li; terlebih lagi, Li mengakui jika dia difitnah dan tidak terlibat pembunuhan perempuan-perempuan bangsawan itu ... polemiknya masih berlangsung. Meski begitu, Kuharap dia tidak merayap keluar dulu.
Aku tinggal di Rumah Makam hanya jika ada yang dikubur hidup-hidup, maka keberadaanku di sini tidak lebih dari formalitas.
Fenomena itu terjadi sekitar pukul 4 subuh, dan aku masih terjaga dengan setengah cangkir kopi, satu putung rokok berasap dan majalah Veloz.
Aku membaca dengan damai seperti yang biasa kulakukan hingga kudengar erangan manusia di halaman makam. Volumenya hampir redup namun masih jelas, dan kupikir itu berasal dari dalam tanah, tapi tidak, tidak, itu bukan dari dalam tanah!
Aku sudah terbiasa mendengar erangan manusia di dalam tanah dan aku cukup familier untuk membedakan suara di permukaan dan di bawah tanah. Dan seperti yang diduga, Ini berbeda.
Jadi aku putuskan untuk meletakkan majalahku, bangkit-berdiri, dan mengendap-endap keluar dengan hati-hati dan waspada, karena pencuri mayat sudah sering muncul akhir-akhir ini. Tidak lupa aku mengantongi pistol di saku kananku sambil terus memeganginya dan berdoa, sementara lentera di lengan kiriku dengan seluruh katupnya berbinar cahaya-cahayanya.
Aku keluar dan menuju halaman makam, melewati semak dan menginjak rumput-rumput, meneliti dan mengawasi, melewati satu makam ke makam lain, lalu menuju area makam Li. Kudengar ada suara dobrakan dari sana, disusul suara mengerang yang juga terdengar jelas meski lirih. Aku berjalan mendekat dan mendekat, dengan hati-hati dan semakin bergidik dengan detak jantungku yang semakin terdengar kencang karena heningnya pemakaman, kecuali suara erangan menyakitkan.
Jarakku tinggal tiga meter lagi,— dan aku bersaksi— tiba-tiba tanah makam itu seolah-olah baru saja bergulir di depan nisan seperti ombak kecil, aku yang tersentak memutuskan untuk berhenti sebentar, mengulurkan lenteraku ke depan, dan sekarang nampak,— jari-jarinya tampak keluar ke permukaan, aku bertanya pada diriku sendiri, "Li?" dengan harapan jika dia jari-jari itu akan bergerak sebagai responnya. Itu tidak bergerak. Aku putuskan untuk mendekatinya setengah meter lagi; dan, erangan itu kembali mendidih,— mendengar ini, aku tidak berpikir dua kali,— segera aku berlari terhuyung-huyung ke gudang dan mengambil sekop ... aku akan menyelamatkannya! Li tidak akan bertahan! Dia tidak akan bertahan!
Dan di sinilah apa yang seharusnya aku lihat ... gudang itu memiliki kaca yang menghadap sesuai ke arah pemakaman ... nisan-nisan itu tampak sangat jelas dan gelap di malam hari, tetapi tidak dengan nisan Li,— bagi mereka yang dikuburkan hidup-hidup, nisannya akan sedikit terang dengan pantulan sinar bulan,— dan aku melihatnya jelas ketika sibuk menggeledah gudang itu dan menggenggam satu sekopnya ... Warnanya memang temaram di jendela, namun saat aku mengintipnya, aku meragukan jika dia adalah pencuri.
Aku tidak mampu melihat wujudnya lebih jelas, jadi aku tidak dapat menjelaskannya, dan hanya menduga jika dia bayangan gelap yang berdiri tinggi, yang sedang sibuk menuangkan fosfor ke tanah makam Li, yang sedang sibuk mendengarkan atau entah menatap ke mana saat suara erangan kembali kudengar dari arah makam. Tapi kejadian yang sama kembali terulang, tanah makam Li kembali bergulir, membentuk ombak kecil, pecah, dan fosfor kembali dituangkan ke arah makamnya.
Aku mundur dari jendela, tidak percaya dengan apa yang aku lihat, kemudian memukul-mukul diriku agar terbangun dari mimpi buruk! Karena bayangan gelap itu masih di sana aku tidak bisa keluar dari gudang, kemungkinan besar juga dia tadi memperhatikanku saat aku mengarahkan lentera ke arahnya ... dia mengetahui keberadaanku?
Aku memberanikan diri untuk kembali mengintip; membuka kain jendela kembali sambil berdoa dan merapalkan mantra-mantra suci dengan harapan dia tidak menyadari keberadaanku; namun naas, karena aku justru disergap oleh kegelapan dengan gas yang menguap di udara, tayangan bayangan indah, cantik, dan bersemi dari tempat yang tidak aku ketahui dan tidak pernah aku alami, organ bermain, merdu, ritmis, dll. dll.
Dan saat aku keluar dari kegelapan melalui lubang sempit dan bintang, waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Sekop masih di lenganku, dan kusadari yang tergeletak dan yang tidak terpakai sudah hilang. Pintunya dibiarkan terbuka, aku terduduk, kebingungan, dan berdiri dengan hati-hati. Kuda-kudaku sudah terpasang. Aku menoleh ke jendela. Di sana telah berkumpul tiga orang berjubah gereja dan sedang menatap ke arah makam Li. Segera aku bergegas menghampiri mereka. Saat aku tiba salah satunya menoleh, berbalik, lalu berkata: "Yang satu ini sudah hangus." dengan nada datar.
Mataku terbelalak seketika, darah mengalir ke otakku dan membuat syarafku seperti tersumbat.
"Anda tidak berjaga?" Yang di tengah-tengah menuntut.
Aku mendekat sambil menjawab, "Saya terjaga sepanjang malam," lalu mencondongkan kepalaku dan melihat ke bawah.
"Omong kosong!" Tegasnya, kemudian kembali pada urusannya.
Ya, tampaknya yang terjadi tadi malam lebih dari sekedar klise fantastis. Sebab dengan jelas aku melihat petinya terbuka; tampak puluhan bekas cakaran manusia di pintu, dan mayat yang sudah tidak dikenali, tapi itu sudah jelas seseorang bernama Li. Hanya saja matanya yang terbuka berputar ke belakang, dan mulutnya yang menganga mengeluarkan percikan debu bercahaya hijau. Aku tidak diperbolehkan mendekat oleh orang berjubah di sampingku.
"Jangan mendekatinya," katanya, "biarkan sisanya menjadi urusan kami!"
"Ini sudah sering terjadi sebelum penebusan ku?" Aku menuntut gemetar.
"Pernah, Lenny Nalder." Jawabnya singkat.
Orang berjubah di tengah-tengah bergabung setelah orang di sampingku menyelesaikan kalimatnya.
"Seharusnya anda tidak tertidur!" Katanya, nadanya seakan menyalahkanku.
Namun aku mengontrol emosiku dan memberanikan diri untuk berkata: "Saya tertidur, karena tadi malam Iblis merayap keluar dan bernyanyi untuk saya!" [ ]