Kenyataan
Dia berdiri sendirian di tepian telaga saat hiruk-pikuk kemeriahan dan kesenangan di samping kuil; tidak ada yang menghiraukannya, juga tidak ada yang menerima panggilanku. Saat aku meraih pundaknya, dia berbalik lembut. Pakaiannya gelap, compang-camping, juga dia memakai topeng marmer berat dan retak dari satu sisi ke sisi lain. Topeng pucat. Sesuai dengan kulit pucatnya yang membuatku sedikit bergidik.
Awalnya aku ragu-ragu dia akan berbicara; tetapi setelah melihat gelagatnya, disusul dengan kepalanya yang terangkat, aku menjadi yakin dia akan menjawab.
"Apa yang kamu lakukan?"
"Menghitung." Ia menjawab, datar, namun terdengar manis.
"Jangan bermain di sisi telaga!" Kataku.
Dia diam sebentar, lalu melanjutkan: "kamu bermain di dunia yang manusia?"
Tapi kata-katanya membuat bingung.
"Apa yang kamu katakan?" Aku menuntut.
Dia lekas-lekas menjawab, "Topengmu mulai berantakan." dengan nada dalam.
"Katakan,— di mana orang tuamu, nak!" Tegasku, mengontrol emosi.
"Lihatlah di telaga!" Dia menunjuk. Aku tidak menghiraukannya dan akan menggendongnya. Tapi tiba-tiba ada dorongan kuat dari belakang punggungku yang mendorongku jatuh ke telaga, untung saja aku segera melemparkan anak itu ke sisi jadi dia tidak ikut tercebur. Namun, saat aku bangkit dan berdiri, tanpa sengaja aku melihat pantulan wajahku di telaga.
Dan di sana: beberapa benang menggantung, relungnya retak, mulutnya terkoyak, sementara isinya hampa, bernoda, dan meneteskan perunggu murni. [ ]