Kekasih

3 2 0
                                    

Kekasih

"Yang satu ini ketergantungan morfin," Kata Bliar, "Menjadi adiktif di tahun 1880; Pria yang malang."
"Tapi dapat disembuhkan, bukan, ?" Nadia menuntut, lalu melirikku dengan tatapan khawatir.
"Jangan lihat aku,—" aku menatapnya, "aku bukan seorang dokter." Tegasku
Aku berpaling melihat Bliar yang tertawa kecil di depan kami. Di sampingnya orang malang itu masih menggonggong seperti anjing, terkurung di dalam kandang yang sempit,— rambutnya bergelombang dan sudah panjang. Ketika aku kembali melirik Nadia, aku kira dia sudah sangat tertarik, jadi aku kembali menatap Bliar.
"13 Dolar," ungkapnya, menyadari situasi dan tersenyum ...
"Makhluk itu terlalu mahal!" Jelasku. "12 Dolar!"
"Ini bukan soal siapa dia, Tuan Lepin; melainkan, suka atau tidak disukainya dia."
Aku menghela napas, menenangkan diriku sendiri sambil terus menatap wajah menjengkelkan yang tersenyum letih di depanku.
"12 setengah dolar atau kurang dari itu ..." tambahku diplomatis, "Maka, aku akan membawanya!'
Bliar tertawa, "Bagaimana Nyonya Nadia?"
Nadia menoleh sebentar ke arah Bliar, lalu membungkuk, diulurkan lengannya tidak terlalu panjang, dan seketika Makhluk di kandang itu menggonggong, meronta dan melompat-lompat seperti anak anjing dalam usahanya mencoba mendekat pada gadis di hadapannya.
"Lihat," seru Bliar, "Orang ini menyukainya." sambil tersenyum semakin lebar untuk membujuk Nadia.
Berkali-kali kalimat-kalimat bujukan dikeluarkan, dan aku tahu bahwa Nadia semakin tertarik dan ingin sekali membelinya, sedangkan aku semakin yakin jika Bliar tidak akan menurunkan harganya karena melihat kesempatan di mana Nadia tidak akan menerima alasan apapun untuk meninggalkan Makhluk yang suka kepadanya.
"Baiklah, Tuan, kau dapatkan apa yang kau mau," tegasku. Lalu aku mendekatinya, sambil terus-menerus meraba-raba saku sebentar, aku berhenru dan mengeluarkan dompetku, lalu kuberikan kepadanya $13.
"Ini," kataku, menahan emosi. "Sebaiknya kamu memberikan yang terbaik untuk gadisku!" Tegasku dengan lirih.
Dia menerimanya, melipatnya begitu rapi sebelum memasukkannya ke kantong.
Tidak lama Nadia berseru ke arahku: "Lihat, Lepin, dia lucu sekali!"
Aku menoleh bersama Bliar. Melihat Nadia tersenyum, aku juga ikut tersenyum, tapi di dalam itu, juga timbul rasa kasihan ... jika kau melihatnya, maka harus disadari jika dia juga bukan lagi manusia, kehilangan identitas manusianya— Sebuah sosok menjijikkan yang berbalut kotoran luar dan dirinya sendiri,— seperti budak, tapi dia benar-benar telah menjadi hewan yang tidak seharusnya manusia miliki, dia manusia ...
Aku memang memperhatikan jika Nadia senang dengan apa yang baru saja dia miliki; tetapi diriku setengah sadar, karena sebagian dari diriku hanyut dan tenggelam dalam arus lamunan rasa kasihan pada hewan,— atau manusia, atau bagaimana yang lebih tepat untuk menyebutnya,— di dalam kandang itu!
Tidak lama, Bliar mencolek pundakku; aku menoleh dan berpaling.
"Bisa ikut aku sebentar, Lepin?" Ia mengumumkan, "tapi, tolong, bilang pada Kekasihmu untuk jangan ikut!"
Dan setelah itu aku bilang kepada Nadia: "Tunggu di sini sebentar, ya, kami tidak lama."
Dia membalas dengan tersenyum kecil, mengangguk, lalu kembali kepada anjingnya.
Ketika kami berada di lorong, dia langsung menggenggam lenganku, cepat-cepat menyeretku jauh dari ambang pintu, dan aku tidak melawan da mengikutinya saja. Bliar baru melepaskanku saat kami berada di dekat plat tangga untuk ke atas, jaraknya sangat tidak mungkin untuk didengar oleh seseorang di ruangan yang sedang ditempati Nadia.
Lalu, dengan sedikit terengah-engah, aku menanyakan alasannya yang terlihat terburu-buru.
"Hei, untuk apa itu tadi?" Aku menuntut.
Dia berputar-putar di sampingku, tidak lama dia duduk di plat, lalu mencoba untuk membenahi sikapnya. Aku sadar karena jarang-jarang di tampak begitu gelisah— jadi aku pikir sedang ada yang tidak beres, jadi aku mendekat dan tegas padanya.
"Katakan padaku!" Kataku, berusaha menyeimbangkan volume suaraku. "Katakan,— Karena dari sikapmu,— Pasti telah terjadi sesuatu!" Tambahku.
"Kamu harus dengar ini!" Ia menjelaskan dengan nada khawatir, setelah itu dia mendongak dan melanjutkan: "Begini, eh, kamu pasti familier dengan Kasus pembunuhan Eleonora,—"
"Glaya Eleonora?"
Blair mengangguk, "Ya, Glaya Eleonora— itu, eh, pembunuhnya, kamu sudah tahu, bukan?"
"Yah, suaminya— bajingan, kalau tidak salah namanya Rusakov Eleonora." Jawabku.
Blair mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya, Dia," katanya, sambil menghembuskan napasnya dari mulut. Matanya terbuka lebar. Menatapku secara intens, "Ya," ulangnya, dengan tatapan tidak sopan itu ...
"Apa?"
"Iya, Lepin, Iya—"
Seketika terpintas dari darah yang mengalir di syarafku.
Aku mendekat dan menunduk ke arahnya, dengan nada getir yang aku usahakan untuk lirih, aku berkata: "Itu tidak mungkin, bukan? Makhluk itu ada hubungannya dengan pembunuhan itu? Kamu bercanda?"
Blair tidak menjawab apapun, justru dia memejamkan matanya saat aku membentaknya dengan volume yang kukira sudah sangat lirih. Saat aku selesai, matanya kembali terbuka pelan-pelan. Napasnya berhembus. Berbicara. Dan, walaupun nada bicaranya kembali formal, namun ekspresi wajahnya yang tegang dan bibir gemetar itu— ya, mereka,— tidak akan bohong padaku.
Dia akan menjelaskan semuanya; dan akan aku tulis, karena aku ingat benar yang diucapkannya:
"Tuan Eleonora, Pria di kandang itu ... Ceritanya panjang tapi akannaku buat sesingkat mungkin, aku tahu semua ini dari buku harian kecil yang ada di kantong jasnya saat aku memungutnya. Pria ini, secara jujur dan selalu bersumpah kepada Tuhan dan penciptanya, bahwa dia tidak pernah ingin membunuh istrinya, kecuali satu paksaan, yaitu istrinya sendiri!
"Istrinya,— Nyonya Eleonora,— bermimpi di dalam tidur malamnya; bahwasanya dia, suatu hari nanti, akan dilecehkan oleh seseorang. Nah, alasan mengapa dia ingin sekali mati terjadi setelah ini, karena wanita itu sangat religius dan sangat setia kepada suaminya, maka dia harus menghindari takdir tersebut. Di sini, disebutkan takdir, karena Nyonya Eleonora sangat percaya takhayul: seperti kucing hitam dan mimpi malam hari, dia percaya hal-hal semacam itu ...
"Lalu, di hari Minggu pagi, disampaikan lah sebuah solusi kepada suaminya, 'Bunuh saja aku, dan larilah jauh— jauh sekali!' Tentu saja, Tuan Eleonora adalah orang yang waras dan rasional, jadi dia tidak ingin melakukan itu! Berulang kali Istrinya memohon dan memohon, tetapi usaha Nyonya Eleonora selalu berakhir sia-sia. Sampai suatu ketika, Nyonya Eleonora justru mengancam Tuan Eleonora— Belati suaminya sudah di ambil dari lemari pakaian dan Nyonya Eleonora, dengan rona wajah merah, segera menodongkan pisau itu di depan kepala suaminya sambil berkata: 'Bunuhlah aku atau aku akan membunuh diriku sendiri!'
"Tetapi, Tuan Eleonora, bukanlah orang yang berpikiran sempit— karena latar belakang militernya, dia dengan cepat meraih lengan Istrinya, menjaganya agar tetap horizontal, lalu dengan sedikit lagi tenaga pada upaya penyelamatannya, dia berhasil mengamankan Istrinya dari percobaan bunuh diri dan langsung mengambil belati itu, kemudian dia angkat setinggi-tingginya sambil terengah-engah. Saat Nyonya Eleonora berusaha mengambilnya, Tuan Eleonora menamparnya, dan setelah berdebat, Tuan Eleonora menarik, memasukkannya, lalu mengunci di tempat Nyonya Eleonora di tempat kerjanya.
"Tuan Eleonora lupa jika istrinya adalah penjahit, dan saat dia tersadar, dia kembali membuka kuncinya dan menghampiri Istrinya yang telah menemukan sebuah silet,— bersiap menyayat urat nadinya,— dan, kau tahu apa? Ternyata Tuan Eleonora belum meletakkan belatinya, dan justru terhuyung-huyung ke arah istrinya dengan posisi belati yang siap menusuk kapanpun, bahkan saat usahanya menghentikan dan mengambil silet kecil itu, posisi dari belati itu horizontal. Ini dimanfaatkan dengan sempurna oleh istrinya, di mana, setelah tanpa sengaja menarik silet dan berguling di meja, tanpa sadar, belatinya ternyata menusuk perut istrinya, tepat di sebelah pusarnya ... Dan saat menyadari ini, Tuan Eleonora sudah terlambat ... Oh, Pria yang malang!"
"Dan apa yangbterjadi selanjutnya? Mayatnya dikuburkan, bukan?" Aku menuntut penasaran di sebelahnya ...
"Iya, dikuburkan, tapi di bawah lantai rumahnya." Tambahnya, "Tuan Eleonora saat itu sangat panik,— dia tidak ingin dilabeli sebagai pembunuh, apalagi yang memiliki niat buruk ini adalah istrinya sendiri, tapi apakah orang-orang akan percaya begitu saja?— akhirnya, dia memutuskan untuk membongkar kayu-kayu di bawah rumahnya itu, lalu menggali tanahnya ... Ia menjadikan rumah itu sebagai tempat tinggalnya sekaligus makam bagi istrinya ... dijelaskan semua itu di buku harian kecil itu ... Kutemukan beberapa bekas air mata yang membuat beberapa kertas di buku itu tidak lagi mulus. Dia menangis saat menuliskannya!"
Dia berhenti sebentar, tersenyum sedih, dan mendongak menatapku.
"Aku belum selesai," katanya, "dia menjadi anjing seperti itu,— karena sesuatu!"
"Yah, pastinya karena sesuatu!" Tegasku, "Aku juga tidak bodoh untuk percaya dia tiba-tiba menjadi gila!"
Bliar tertawa kecil, tetapi berusaha menyembunyikannya di belakang kepalan kedua tangannya.
"Dia menjadi pecandu morfin, adalah karena gangguan dari jiwa istrinya; alih-alih suka mengonsumsi obat itu setiap hari. Hal ini dimulai sekitar 2 hari setelah dia mengubur istrinya di bawah rumahnya; awalnya, dia meragukan jika bisikan-bisikan yang di dengarnya berasal dari bayangan-bayangan kenangan dan rasa rindunya terhadap istrinya, tetapi dia salah besar karena terus membiarkan senandung indah itu berbisik dalam kegelapan!
" Hingga pada suatu malam, dia terbangun karena bisikan lembut itu telah berubah menjadi gaduh. Dan saat ia tersadar, ia melihat ada seseorang yang menghembuskan napasnya di jendela, namun tidak lama perlahan-lahan udara yang menempel di kaca mulai menbentuk sebuah wajah. Disusul suara ketukan yang memaksa. Akhirnya, Tuan Eleonora turun dan memeriksanya, tetapi dia terjungkal dan terjatuh saat mengetahui jika wjaha istrinya lah yang seketika membias dari cahaya bulan, berteriak, pergi, dan meninggalkan bercak di jendela itu semalaman— oh, kalau aku adalah dia, sudah pasti aku akan berlari keluar rumah secepat mungkin,— tapi sayangnya, dia cukup bodoh, dan hantu itu berhasil memberinya teror kegilaan selama satu bulan ke depan!"
Dia berhenti sebentar, kembali menghela napasnya dan menenangkan dirinya sendiri. Kemudian, setelah kurasa dia sedikit membaik aku mengungkapkan rasa penasaranku.
"Dan, dia mengonsumsi morfin setelah kejadian itu?" Aku menuntut.
"Iya, kamu benar," sahutnya, "tapi seperti yang aku katakan sebelumnya: 'untuk menenangkan diri,' dan Tuan Eleonora, sama sekali tidak memiliki latar belakang yang mengindikasikan jika dia adalah pecandu, maka pasti tujuannya hanya untuk mengurangi efek dari teror istrinya."
"Aku ingin tahu bagaimana akhirnya." Kataku, saat memasukkan lenganku ke dalam saku.
"Akhirnya?" Desahnya, "Oh, yah, ini bagian akhirnya— klimaks dari permasalahan Tuan Eleonora— yah, cukup gila dan tidak rasional ... dia menulis di buku hariannya: 'Lengan-lengan mulai bermunculan dan merayap keluar dari dinding dan setiap lantai yang aku pijaki. Mereka menyergapku dari banyak arah. Menyeretku, mengangkat, membanting, memukul, serta hantaman lainnya yang tidak aku ketahui, tapi menimbulkan cedera parah di sekujur tubuhku. Mereka datang; arwah-arwah yang mungkin berbisik selama ini di telingaku, dan mungkin hantu-hantu atau Iblis-iblis yang mendatangi mimpi Istriku!
Aku beruntung, karena kemarin mereka melepaskanku begitu saja saat aku pingsan, tetapi dengan cedera yang sangat buruk seperti ini aku cukup yakin jika malam ini mungkin aku akan mati!
'Di kala pingsan itu, aku melihat kembali Istriku, namun dengan pakaian yang khas neraka atau apapun itu, dia sungguh tidak pantas memakainya! Dan saat aku bergegas mendekat untuk memeluk dan menciumnya, sungguh, aku justru diperlihatkan dengan mimpi buruk! Sebab, dia, istriku, justru memutilasi pinggiran kulit wajahnya ... dan, saat kulitnya terjatuh, makhluk menjijikkan tak berkulit wajah itu berteriak, sama seperti kejadian satu bulan yang lalu; dia balik kulitnya itu tumpah beberapa lendir yang berbau air mani ... aku ketakutan sampai-sampai aku tersandung saat melangkah mundur ... Iblis itu, kejam ... Memanfaatkan kesempatanku yang bergidik, maka digunakanlah tubuh istriku untuk menunjukkan sosoknya yang lebih menjijikkan!
'Dari wajahnya yang berlubang, segerombolan benda seperti lidah, atau belalai, atau tentakel gurita, menjulur dan menggeliat ke langit-langit— oh,— gelap yang monoetis!' Itulah, begitulah, akhir dari buku hariannya."
Aku tertegun sambil terus-menerus menatap Bliar yang tersenyum di bawahku dengan tangannya yang tersu mengepal. Seandainya Bliar tahu jika punggungku terlanjur basah karena keringat saat dia menceritakan bagian akhirnya, mungkin aku akan segera ditertawakan ... dan sebisa mungkin, aku mengalihkan pikiranku dari bentuk visual iblis yang meneror Tuan Eleonora.
"Bagaimana menurutmu?"
"Jika itu benar!" jawabku, menelan ludah, "Apa, Apa itu benar-benar dari buku hariannya?" Tambahku, memberanikan diri.
Bliar mengangguk sambil tersenyum. Dan, akhirnya, dia mengalihkan wajahnya dari pandanganku. Tetapi, kulihat jika wajahnya yang tadinya gelisah sekarang telah berubah menjadi pasrah dan lebih tenang. Kurasakan alasan tersendiri baginya untuk berbagi
"Tunggu," pintaku, "semua ini— termasuk bentuk suaramu— di dalamnya, apa terselubung tujuanmu saat kamu menceritakan kisah menyedihkan ini?" aku menuntut.
Tapi wajahnya tampak datar-datar saja, dan aku bernapas lega saat dia hanya tersenyum tanpa melirik ke arahku,— aku bernapas lega ... Tetapi ketenanganku hanya bertahan sebentar. Aku tidak akan menyangka jika dia secara tiba-tiba mengeluarkan pistol kecil dari bagian samping sabuknya. Saat aku menyadari ini, aku kembali bergidik di tempat, "apa yang akan kalu lakukan?" Tanyaku.
Dengan senyum yang belum hilang dia menjawab, "Terima kasih telah membebaskanku dari makhluk itu ... Aku terbebas darinya ..."
Aku tidak mengerti maksudnya, dan saat aku kebingungan sebentar dan aku akan mengungkapkan kebingunganku, kulihat dia telah mengangkat lengan dan sedang menggigit mulut pistolnya,— dengan cepat, pelatuknya ditarik dan timah panas pecah di dalam mulutnya, lalu menembus serta menodai plat tangga di belakangnya! Mayatnya duduk sebentar di sampingku sebelum akhirnya jatuh ke depan dan mengeluarkan darah di lantai .... Mataku dibuatnya terbelalak, dan payah. Hatiku berdegup kencang dengan perasaan terguncang dahsyat, karena peristiwa singkat: di mana bajingan ini akhirnya mengakhiri hidupnya sendiri ... dan dia berakhir dengan tetap sebagai pemilik dan penjual budak-budak, dan tidak berubah sama sekali!

Damailah di sana, Antonov Bliar! [ ]

Mahkota PermataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang