Telinga Raksasa
Kami sedang berada di hamparan luas yang hijau dan asri. Tanahnya seperti baru saja dibajak, sedangkan anginnya bertiup kencan dari cakrawala Gunung Yu Sang saat kami mendaki ke atas bukit agar mendapatkan pemandangan panti asuhan kami, seketika angin kencang itu menghempaskan pakaian putih kami yang selalu berbau harum, parfumnya segera bertebaran seperti asap, partikelnya hancur, pecahannya langsung berbaur dengan bunga-bunga liar yang ada di lanskap miring. Tetapi saat berjalan itu, Mondi, kawanku, tiba-tiba terjatuh di atas lututnya, aku menoleh dan mendekatinya.
"Ayo, Kawan, tinggal sedikit lagi!" Aku mengumumkan kepadanya, lalu mengulurkan lenganku kepadanya.
Aku tidak tahu apa.yang membuat sikapnya tiba-tiba berbeda; saat dia mendongak, aku tahu wajahnya sudah berubah: ia memasang wajah sedih, tragis, dan matanya menunjukkan trauma.
"Ayo," tegasku, "Ayo, tinggal sedikit lagi!" langsung saja aku meraih lengannya, namun dia seketika menangkis lenganku. Aku terkejut, sedikit tersinggung tapi tidak sampai marah, dan, Mondi, menoleh ke arah gunung, lalu mencoba menghentikanku dengan kalimatnya yang bernada khawatir.
"Kita harus kembali, Sergi," katanya, hampir menangis, "kita harus kembali, segera. Segera!" Jeritnya.
Aku tidak langsung melihat apa yang dia lihat semata-mata aku mempercayai perubahan sikapnya.
"Ayolah," aku mencondongkan tubuhku, dan meriah lengannya secara paksa, menariknya, membuatnya berdiri.
"Kenapa, sih? Kamu tiba-tiba berubah aneh!" Kataku.
"Tidak ..." Jawabnya lesu, matanya mengeluarkan air, dan dia mulai menangis ...
"Raksasa itu memperhatikan kita ... lihat, lihat di gunung itu!"
Aku menoleh, tidak mungkin aku dapat melihatnya. Jika pun dia mampu melihatnya, dia hanya berimajinasi. Gunung itu hitam-putih, salju pada ketinggian tertentu, dan sementara sisanya termakan awan. Dia menjulang, ya, seperti raksasa ... tetapi terdapat kontradiksi pada syaraf-syarafku untuk membedakannya; apakah yang di maksud adalah yang bersembunyi atau yang tampak: gunung itu?
Aku tidak mengerti; tapi aku menatapnya kembali. Oh, dia tampak menyedihkan!
"Dengar,—" aku tidak dapat melanjutkan kalimatku karena Mondi mulai kembali menangis ... Akhirnya, aku memutuskan agar kami berhenti pergi ke atas bukit dan pulang; "Baiklah, baiklah," aku menjelaskan, "kita akan membawamu pulang!" Tegasku.
"Ya, ya, ayo kita pulang!" Katanya, menerima ajakanku dengan nada gemetar dan ketakutan penuh di wajahnya.
Seperti biasa, Aku menggendongnya pulang. Dan, setelah kami sampai di panti, dia tidak berbicara kepadaku. Dia tidak berinteraksi dengan anak lainnya. Dia lebih suka mengurung diri di kamarnya. Tidak memasuki kelas. Aku menjadi khawatir, karena tiga hari setelahnya, Ibu Laia, selaku pengurus kamar 12 di mana aku dan Mondi tidur, mulai memintaku untuk membujuk Mondi agar ingin keluar; atau, setidaknya, memakan makanannya.
Permintaan Ibu Laia itu segera aku penuhi, tapi aku harus menunggu sampai waktu menunjukkan pukul 9 malam, karena Mondi biasa muncul di waktu itu. Kurang lebih hanya untuk merangkak ke ranjangnya tanpa sepengetahuan siapapun, dan pergi dari ranjangnya tanpa sepengetahuan siapapun juga. Anak-anak ditidurkan pada pukul 9 kurang sepuluh, jadi saat anak-anak lainnya sedang tertidur lelap dan bermimpi, Aku menunggu dan menunggu. Aku melakukan ini sejak pukul 8, bahkan aku melewati jam istirahat malam lebih cepat agar rencanaku berjalan sesuai.
Akhirnya, tibalah pukul 9 tepat, aku menunggu terlalu lama, dan terdengar sedikit gesekan, gerakan merayap, dan endapan kaki juga separuh lengan ... mendengar ini, aku segera bersiap di ranjangku, dan dengan hati-hati mendaratkan kakiku perlahan di atas karpet. Lampunya dimatikan sehingga pergerakanku tidak tampak olehnya. Dan saat kudengar suaranya lenyap, aku tahu dia mungkin sudah naik ke atas ranjangnya. Jadi aku mengendap-endap dan tidak bersuara, aku berusaha menstabilkan napasku akibat jantungku yang berdegup tidak biasa ... Ketika aku sampai, seluruh tubuhnya tertutup selimut. Sudah kuduga Mondi belum tidur, sebab kudengar bisikan doa-doanya yang bervolume tragis, menyentuh dan menyedihkan ... Ya Tuhan, sebenarnya apa yang salah dengannya?
Aku menarik selimutnya dengan gerakan paling lembut yang bisa aku lakukan. Aku tidak tahu apa yang salah dengannya, tetapi aku bersyukur dia tidak berteriak dan justru tampak lega saat dia melihatku. Namun tetap saja, aku tahu ia baru saja menangis, bekas arusnya masih tampak gelap di bawah matanya, kerutan di wajahnya lebih tragis dari beberapa hari sebelumnya.
(Astaga,— mengapa dia mengalami hal itu? Aku tidak rela menuliskannya!)
Aku naik ke ranjangnya. Rambutnya yang panjang terlihat kusut. Dia bangun dan duduk. Seperti dia tahu kenapa aku rela mengendap-endap, dan melanggar jam malam dengan menyelinap ke atas ranjang anak lainnya.
Aku akan menyampaikan pesanku, tapi aku belum tahu bagaimana memulainya.
"Apa kamu akan percaya?" Ia menuntut tiba-tiba. Aku belum membuka mulutku, bahkan belum menyampaikan kalimat basa-basi.
Dia tersenyum kecil, lalu mengulang pertanyaannya: "Apa kamu akan percaya padaku, Sergi?"
Kemudian, jarinya merayap menuju lenganku. Di titik ini, aku menjadi yakin dia tidak bermain-main dengan alasan mengapa dia menangis saat kami mendaki bukit dan alasan mengapa dia menjadi pendiam dari sosok pemuda yang atraktif.
"Yah, aku akan percaya,—"
"Dia memperhatikan kita!" Jeritnya, lirih,—
"Siapa memerhatikan kita?" Aku menyimak ...
"Aku tidak tahu,"
"Jadi kamu berpikir ada yang memperhatikan kita, tapi kamu tidak tahu siapa itu?" Aku menuntut.
"Demi Tuhan, hanya dia yang memperhatikan kita!" Tegasnya. "Dia tidak bernama sebab kita tidak tahu siapa namanya. Demi Tuhan, Sergi, sampai sekarang pun dia masih memperhatikan kita ..."
"Di manapun!"
"Di manapun?"
"Sekarang; bahkan pembicaraan kita sedang dipantau—"
Aku bergidik, "sekarang, kamu, apa kamu melihatnya sekarang?"
"Yah,—"
"Saat ini, dia mendengarkan!— mendengarkanku berbicara" [ ]