Tuhan yang Dekat

4 2 0
                                    

Tuhan yang Dekat


Di tahun 1900, aku pergi ke apartemen Ali Abbas yang terletak di third street, Manhattan, New York. Dia kolegaku di Kampus. Kesukaannya terhadap perjalanan mistis Orka dari Asyur dan penjelajahan Batutah adalah sebab utamaku menghampirinya.
Apartemennya tidak terlalu besar, sederhana, tapi cukup sempit dengan aneka gantungan kulit-kulit emas di atapnya yang terbuat dari bintang-bintang merah.
Jangan tanya lebih jelas, karena aku tidak pernah melihatnya dan dia tidak ingin menjelaskannya kepadaku; saat aku bertanya, dia mengelak.
Di siang hari, kurang lebih pukul satu siang, setelah kami mempelajari dan berunding untuk menganalisis tanda di perjalanan mistis Orka dari Asyur, aku kembali menggiring pembicaraan kepada bintang-bintang itu,— karena aku kurang puas jika hanya berspekulasi, jadi aku harus memberanikan diri,— dan setelah aku mengajukan pertanyaanku:
"Jika bintang-bintang itu cukup membuatmu senang, maka berarti mereka bermakna sesuatu? Sesuatu sedang dipersiapkan olehnya?"
Ali menyempatkan untuk tersenyum kecil, saat jari-jarinya mengetik di mesin ketik. Lalu dia berhenti sebentar, mendongak dan menatapku , lalu menjawab pertanyaanku dengan jawaban puitis yang tidak aku pahami: "Tidak pernah kau jumpai yang bermakna dibaliknya, kamu sudah melihatnya, jelas sekali, hanya saja kamu tidak pernah mengerti apa itu!"
Pada pukul 2 siang, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak. Aku menanggalkan jasku di kursi tempatku duduk, bersandar, memerhatikan kulit-kulit emas dari bintang-bintang merah yang menggantung ... wujudnya sungguh indah dan memantulkan cahaya yang masuk dari jendela. Saat angin berhembus mereka berputar-putar, dan dalam sekejap aku dibuat hanyut dalam lamunan menegangkan di mana aku terbangun dan mengapung di luar angkasa. Tidak, jangan mengira jika aku baru memakai opium atau morfin, sebab aku sangat menghindari obat dan serbuk itu!
Beberapa saat, aku membayangkan, atau aku benar-benar merasakannya, jika aku menyentuh bintang-bintang di langit yang gelap itu, mereka seketika meletus seperti buih.
Aku gerakkan lengan dan kakiku seperti seekor katak untuk berpindah ke beberapa tiitk, semua gerakan terasa aneh dan menyengat syaraf-syarafku,— kutemukan perhiasan logam yang mengapung, mamalia laut yang berenang sambil dibalut serbuk dan debu merah seperti gelombang pasang, mereka mengkilat di dekat Aldebaran dengan dua rasio yang jauh,— jika saja beberapa badai interregnum terlihat jelas di hadapanku, aku mungkin akan menyentuh dan membuat mereka pecah seperti gelembung ...
Tidak lama di sana,— aku tidak dapat memastikan jika mereka rusak di ujung,— sepercik cahaya, yang jaraknya kurang-lebih 20 tahun cahaya, membuatku tertegun dan terpana; mengesampingkan keindahannya dengan minyak di atas palet warna, hatiku gemetar dan seketika menggigil. Aku mendengarnya di menit kedua: volumenya seperti gemuruhnya guntur yang meledak dahsyat di atas kepalaku padahal itu jauh, buluku bergidik dengan hati-hati, dan mataku terbelalak dengan rasa sakitnya yang tidak terjelaskan!
"Astaga! Astaga! Tolong aku!" Jeritku, "Aku melihatnya! Aku melihatnya! Ampuni aku!" Tapi kegilaan itu sudah merayap, Dia mendekat— sangat dekat sekali!
"Kekosongan, Keduanya melihatku!" Tangisku,— rasa sakitnya melebihi rasa sedihku,—
Tapi, aku beruntung, jika saja Ali tidak segera merapalkan mantra-mantranya yang segera membangunkan aku di atas kursi, oh,— tidak mungkin aku dapat aku keluar dari tempat mengerikan itu.
Saat terbangun, kusadari jika tubuhku sudah sangat basah, mataku sedikit berdarah, dan tubuhku letih sekali ...
Ali, yang menyadari bahwa ia berhasil menyeretku keluar dari jurang itu, segera bangkit dan meletakkan kitabnya di meja. Dia melihatku sudah berada di titik akhir, dalam kelesuan yang lemah dan terlihat payah, hanya mampu menggerakkan bibirku dan mengeluarkan suaraku ... Ali memeriksa bagian-bagian yang ia anggap akan bermasalah; mencakup bibir, mata, hidung, sendi-sendi di lengan dan kaki, juga bagian di dalam mulutku.
Lalu setelah memeriksa bagian-bagian itu, aku kembali memberanikan diri ..
Dengan tenaga kecilku, aku bertanya, "Sudah berapa banyak?" Sambil berusaha menstabilkan napasku.
Ali, dengan nada menyesal, menjawab, "Kurang lebih 6 orang ... kamu yang ke-tujuh!" Yang terbata-bata.
Dia menarik kursi dan duduk di sampingku.
"Itu sebabnya," tambahnya, "aku tidak menjawab setiap pertanyaanmu soal bintang-bintang itu, kecuali yang terakhir ... Maksudku adalah jangan penasaran lagi. Kukira aku sudah cukup jelas menyampaikannya!"
Sedari tadi aku tidak melihat kulit-kulit emas di atap itu, dan aku tidak akan melihatnya karena takut dan ngeri.
"Apa yang kamu lihat?" Ali menuntut, saat memeriksa lenganku.
"Aku tidak tahu," jawabku singkat, semakin bergidik sambil membayangkan bayangan hitam temaram dari kekosongan dan kegilaan tidak berbentuk.
Aku melirik wajahnya, benar-benar rona wajah yang memaklumi, tapi dia menyadari lirikanku dan menjelaskan kepadaku sambil memijit beberapa bagian di bawah sendi.
"Dia, Merayap, tidak ada yang tahu apa itu kecuali mereka yang mengetahuinya dan mengerti sebenarnya apa itu. Tapi, itu, itu tetap tidak bernama— meski beberapa orang memberinya julukan dan nama, itu tetap tidak bernama. Sebuah entitas yang seharusnya kita tidak jumpai, atau bahkan lihat di dalam mimpi kecuali wajah pria aneh!
"Dan dari waktu ke waktu, aku mencoba menyingkirkannya. Tapi dia sudah hidup dan merayap di dalam kepalaku, kulit-kulit emas ini adalah buktinya, dan aku menggantungnya di atap seperti pernak-pernik yang cantik," Ali tersenyum kecil namun mengerut, "itulah kesalahan terbesarku! Dan aku tidak mengerti mengapa dia memasuki Irits, Boligya, Nona Derthi, Tuan Ponfie, Josephine, Guillermo, dan kamu, Louis."
Sekarang, aku merasa sangat aneh, aku tidak mengenal mereka tetapi wajah mereka terbayang seketika saat Ali menyebutkan nama-nama mereka ... dan, setelah bayangan singkat itu, Ali memintaku beristirahat sebentar, aku mengangguk, lalu dia membantuku untuk berbaring di kamarnya.
"Bagaimana jika aku bermimpi pagi tentang kekacauan itu?" Aku menuntut ragu-ragu.
"Tidak akan ... dia tidak datang dua kali ..."
Katanya, lalu dia pergi meninggalkanku dengan pintu terbuka ...
Tetapi baru sekejap aku menutup mataku, gemuruh itu kembali.
Aku kehilangan kendaliku.
Hatiku berdegup kencang.
Dan saat visual bintang, kosmos, dan materi luar biasa itu kembali muncul, menetap, berdansa di kepalaku, aku menyadari; dia sudah kembali mendatangiku.

[ Bangkai Richard Louise ditemukan di kandang babi peternakan Hugo Krauser. ]

Mahkota PermataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang