Materi Pendeta

5 2 0
                                    

Materi Pendeta

Aku dengan cepat meraih benda itu dari lengan Tessy yang bersiap menancapkan mata logam di sisi retakan. Reaksiku tentu saja membuatnya sedikit tersentak dan hatinya melompat. Dia menatapku, dengan tatapan polos yang cantik,
"Kenapa,— ada apa Tuan Wescon?"
Napasku berhembus, aku menunduk, ada rasa sedikit rasa sakit; ketika kuangkat jariku, barulah terlihat berdarah, keluar rasa nyeri. Aku mendongak, dan melihat taring logamnya berdarah ....
"Jangan buru-buru menghancurkan artefak, Tessy,—" tegasku, "beberapa bisa dibawa pulang."
Aku berjalan mendekat, benda itu masih terangkat dan tetap kutunjukkan padanya ... di depannya aku berhenti, mencondongkan kepalaku sedikit dekat dengan wajahnya dan berbisik, "Atau, dijual!"
Lengannya bergerak, terangkat untuk menanggalkan rambut di telinga,—
"Baiklah, aku akan dengarkan sebentar," katanya.
Tapi aku tidak serta-merta meninggalkannya kebingungan tanpa penjelasan. Aku meraba-raba saku celana cokelatku, aku menancapkan obor yang sedari tadi aku genggam di pasir, menjaganya sebentar agar horizontal, lalu mengeluarkan panduan kecil; tapi tidak kutemukan benda artefak yang sedang aku genggam ini,— Tessy sepertinya tidak keberatan untuk segera menghancurkannya. Menyadari itu, jadi aku justru menjelaskan berbelit-belit aturan dasar yang tidak dia dapat di barak pelatihan. Cukup aku maklumi karena Ia sendiri anggota sukarela.
"Sudah kau dengar, kan? Ingat, kerucut itu seharusnya berada di tempatnya atau di ambil." Kataku, "Tidak boleh dihancurkan tanpa seizin dari konduktor—"
"Anda Konduktornya."
"Ya," desahku, "Jadi, hati-hati, waspada." Kuambil kembali oborku. Buku panduan kembali ku jatuhkan di kantong. Aku berniat menjelajahi ruangan berukiran timbul yang mengelilingi kami, tempat di mana artefak itu disimpan.
Tessy meletakkan silet logamnya. Setelah melihat ini, barulah aku serahkan kerucut ringan itu kepadanya,— kerucut itu diukir dari perunggu, berornamen Mesir Kuno yang cantik.
"Hati-hati," ucapku, "Jangan dijatuhkan! Jangan sampai jatuh!"
Ia menerimanya dengan tangan terbuka, sambil wajahnya mengerut, tetapi kerutan itu lebih menunjukkan usaha mengontrol emosi: "Iya, Iya, kamu jangan khawatir, lah— aku tahu ini benda berharga!"
Benda itu seketika ditatapnya dengan mata kecilnya.
"Bukan itu," sahutku menjelaskan, "Kalau saja kamu menjatuhkannya, dan kita belum tahu benda apa ini? Kamu berpikir seperti aku?"
Kepalanya menggeleng, tersenyum, tertawa, berhenti, mengangkat kedua lengannya agar dapat dilihatnya jelas benda yang memancarkan cahaya hitam intens itu ...
"Tapi siapa yang menempatkannya di dalam sini?" Tuntutnya dengan hangat.
Aku tancapkan oborku, seketika memercik merah-kuning-oranye, kuusahakan sedalam mungkin di dalam pasir agar tidak perlu menjaganya tetap horizontal, apinya menyala memancarkan merah-kuning-oranye, bergoyang dengan angin kecil ... Keringat mengucur sedikit demi sedikit di dahi kami dan tenggorokan kami tapi kami tampak tidak mempedulikannya.
"Ini lima meter di bawah tanah," jelasku, lalu berlutut di sampingnya, "dan juga inilah makam dari Pendeta Fir'aun yang seharusnya tidak perlu dipungkiri kejeniusannya; tetapi, wajarkah dia memilliki hal seperti ini? Dan setelah kita menemukan hartanya, benda ini menyala!" Aku berhenti sebentar, mengusap wajahku yang berair, melirik Tessy yang bola matanya bersinar kehijauan,—
"Bayangkan apa yang ada di dalamnya?" Tuntutnya sekali lagi, "Ilmu-ilmu spiritual yang berharga, magis, dan gelap— bayangkan kita membangkitkan manusia ..."
"Apa!" Bentakku ...
Dia menoleh ke arahku, matanya sayu di bawah embun yang belum diusapnya: "Mungkin saja, kan?" Jelasnya penasaran.
Aku menghela napas, dan masih menatapnya, terlebih saat dia tidak segera melepaskan barang antik mengesankan itu!
"Mungkin Pharaoh—" tambahnya, tapi dia segera menoleh ke arahku dengan pandangan curiga yang kosong, aku tidak memahaminya, namun aku tidak bersikap apapun, "Tidak— tidak jadi."
"Apa itu?" Tanyaku saat berusaha mencabut tongkat obor.
Karena dia tidak segera menjawab, memilih sikap diam dan merenung, aku harus kembali mengulangi pertanyaanku.
"Lanjutkan, Tessy!" Tegasku dengan nada dalam ...
"Tidak ada!" Tegasnya, sambil membalikkan badan, membelakangiku. Kepalanya menunduk, kembali memperhatikan kerucutnya.
"Baiklah, jangan keluar dari labirin." Pintaku.
"Iya, iya, Tuan Wescon," sahutnya, "Aku akan diam di sini selagi kamu bekerja ..."
Lalu aku meninggalkannya sebentar untuk berkeliling di ruangan seluas 7 kali 7 meter. Aku mendekati dinding, karena seperti yang kutuliskan sebelumnya: terdapat ukiran-ukiran timbul yang diukir di sana ... dan kudekatkan diriku sedekat mungkin dengan dinding berdebu itu agar aku dapat melihatnya dengan jelas. Aku tancapkan kembali obor di atas pasir. Kemudian aku mulai menganalisis; dari bagian paling bawah yang berada sepuluh centimeter di atas pasir. Aku berlutut, Untung saja cahaya dapat aku terima, di sana: simbol-simbol hieroglif yang tidak terlalu buram, dan juga tidak terlalu jelas ternyata lebih sering ditemukan daripada dinding bagian atas.
Aku mengamati simbol-simbol itu, kira-kira, selama dua belas menit, hingga aku menemukan sesuatu yang mengharuskanku untuk berhenti sejenak dan mencatat. Aku dapat menerjemahkan simbol dan karakter yang umum; namun, ada beberapa simbol-simbol asing yang tidak aku ketahui. Ini membuatku harus repot-repot mengeluarkan catatan kecil dari kantongku, menggambarnya dengan rapi, dan kembali menemukan dan menjumpai hieroglif asing yang sangat— sangat keluar dari karakteristik hieroglif. Aku berniat untuk melukis dan menggambar semuanya di kertasku sehingga aku dapat mendapatkan banyak makna baru yang tidak dapat aku jumpai dari para ahli seperti Brother Smith. Tetapi sayangnya, aku harus memberhentikan niatku itu karena jari-jariku yang bergetar kelelahan, jadi aku berhenti sebentar, duduk di atas pasir untuk beristirahat. Tidak kusadari jika napasku berhembus terengah-engah, dan tidak kusadari juga bahwa saat aku meneguk airku aku langsung menghabiskannya tanpa berpikir dua kali. Sementara pekerjaanku belum selesai, aku belum menggambarkan seluruh karakter dan simbol yang ada di dinding bagian bawah.
Aku melirik Tessy, ternyata dia sedang asyik di ambang lorong dan masih memperhatikan kerucutnya. Aku panggil namanya, namun dia tidak menoleh. Jadi aku harus bangkit, tapi entah kenapa tubuhku menjadi sangat lesu dan letih. Kupikir ini akibat dari sikapku yang tergesa-gesa untuk menggambar simbol-simbol dan karakter-karakter unik yang ada di dinding itu— tapi, apakah mungkin menjamah sampai seluruh tubuhku, jika yang bekerja hanya jari-jari dan gerakan tragis tanganku?
Aku bangkit dari dudukku, tetapi tidak kuat sehingga aku harus merangkak. Kupanggil Tessy kembali sambil lenganku terulur untuk menggenggam pasir-pasir. Dengan perjuangan kecil itu, aku sampai di samping Sarkofagus Pendeta Fir'aun, tidak menoleh namun tetap kembali memanggil Tessy. Demi Tuhan mengapa Tessy tidak juga mendengar seruanku!
Rasa lelahku sudah sampai di titik tertinggi, Otakku! Sekarang mulai kurasakan rasa nyeri dari syaraf-syarafku yang membengkak di dalam kepalaku dan mulai bekerja dengan mataku ... mau tidak mau,— Ya Tuhan,— aku harus memejamkan mataku. Dan kuikuti kemauan dari organ-organku agar aku tidak lagi merasakan sakit yang mulai menggerogotinya tubuhku, tapi sebelum memejamkan mata,— untuk terakhir kali,— Kupanggil Tessy, dan tetap dia tidak merespon. Akhirnya kupejamkan mataku, dan aku melihat kegelapan hampa.
Aku terbangun dengan dinding yang kulihat pertama kali ... dinding yang kotor,— kemudian aku berusaha membuka mataku lebar-lebar dan merasakan tubuhku sendiri. "Sudah lebih baik," pikirku sambil menopang kepalaku.
Pelan-pelan aku bangkit, membersihkan celana bagian depan dan belakang dari pasir, menghentakkan kakiku, dan sudah— aku menoleh ke ambang lorong. Tessy sudah tidak bersandar di sana. Mungkin dia sudah pergi terlebih dulu,— tapi perhatianku tidak berhenti begitu saja, karena kulihat jika penutup Sarkofagusnya sedikit terbuka dan menunjukkan kegelapan tidak bercahaya di dalam sana. Lekas-lekas kuhampiri dan kucabut tongkat obor dari tempatnya, kembali mendekati Sarkofagus, mengintip di bagian terbuka ... tampak gumpalan kakinya yang dipeluk kain kusut yang menghitam. Aku tidak akan mendekatkan oborku ke jenazah itu untuk mendapatkan visual dari mereka yang akan tampak jelas, melainkan aku justru membuka penutupnya— merasa jika ini adalah Harta Karun sebenarnya, dan lebih penting dari kerucut yang Tessy pegang sedari tadi ... dan ini adalah hal yang terjadi, pintu makam yang terbuka tanpa kunci, bahkan arkeologis tidak perlu membobol Sarkofagusnya untuk melihat isinya yang menakjubkan!
Ya, dengan semangat aku mendorong penutupnya: dari bagian yang menutup kaki terlebih dahulu, bagian tengah yang menutup tubuhnya yang dibalut, lalu bagian kepala— meskipun seharusnya aku tidak memasang ekspresi senang saat membuka bagian yang terakhir, dan terlalu bersemangat untuk melihat wujud jenazahnya!
Memang benar itu adalah mummy, hanya saja: apakah dalam satu Sarkofagus diletakkan lebih dari sepuluh jenazah?
Dan apakah perlu jenazah yang berada di atas adalah sosok wanita yang kering dengan rambut baru?
Selain itu, benarkah benda kerucut bersinar itu hanya dimiliki orang-orang mati?

Epilog:
[ Pesan terakhir Tessy tertulis di buku catatanku. Tertulis: "Aku menikammu tadi. Aku bangkitkan kembali melalui kerucut. Ini memang kerucut penyembuh. Maafkan aku, Yang tercinta, Tessy." Dengan dibawahnya terdapat simbol (Gambar sesuatu yang berantakan) ]

Mahkota PermataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang