Bab 6 Xena yang malang

28 7 0
                                    

Part ini mengandung kekerasan. Di sarankan untuk usia 17+.

Malam itu terasa menyesakkan bagi Xena. Masih terlintas dengan jelas wajah Ibu Xavier yang ditemuinya tadi siang di sekolah. Xena duduk seorang diri, di dalam rumah kontrakan yang sempit dengan penerangan yang minim. Matanya fokus pada suatu benda di tangannya, itu adalah foto seorang wanita yang baru saja dia ambil dari dompet Bapaknya.

Foto itu sudah nampak lusuh. Namun wajahnya yang cantik, masih terlihat dengan sangat jelas. Xena ingin memastikan, bahwa wanita tadi adalah orang yang sama dengan yang ada di dalam foto tersebut. Dan dia sangat yakin, foto ini adalah Ibu Xavier saat masih muda.

Beberapa saat kemudian, Bapak Xena datang dengan tubuh yang tidak stabil. Cakra Mahesa Raga, pria berusia hampir 50 tahun tersebut, membawa sebotol minuman keras ditangannya. Penampilannya tampak kacau. Dengan rambut yang kusut tak beraturan  dan hampir sepenuhnya memutih. Bola matanya merah dan terlihat sayu. Seperti biasa, dia meracau dan mengamuk setiap kali pulang dalam keadaan mabuk.

Cakra membuka pintu rumahnya dengan keras. Matanya langsung tertuju pada Xena yang sedang berdiri mematung sembari menatapnya tajam.

"Dasar wanita jalang...! Ngapain kamu di sini. Pergi...!" usir Cakra pada Xena.

Matanya melotot dan penuh emosi. Keberadaan Xena, mengingatkan Cakra pada masa lalunya yang menyakitkan. Sehingga, dia selalu melampiaskan kemarahannya pada Xena.

Xena masih tidak memperdulikan perilaku Bapaknya itu. Dia terdiam dengan sorot mata bak busur panah. Xena berusaha menahan luapan kemarahan yang sedang menyelimutinya. Kali ini, dia hanya ingin mendapat kepastian tentang wanita yang ada di dalam foto tersebut.

"Apa dia Ibuku...?" pekik Xena seraya menunjukkan foto wanita itu pada Bapaknya.

Cakra terdiam, untuk sesaat emosinya mereda setelah melihat foto wanita tersebut. Kelopak matanya menurun. Aura kepedihan mengintip di balik matanya yang berkaca- kaca. Tak lama kemudian tatapannya berubah. Kemarahan yang besar kembali menguasai dirinya. Dia melempar botol minuman keras tersebut pada Xena.

Cetarr...!!

"Dasar anak tak tau diri...! Semua ini gara- gara kamu! Pergi kamu anak sialan...!" hardik Cakra.

Xena merasakan aliran  darah yang menetes dari sebelah lengannya. Pecahan botol kaca itu terlempar hingga menggores tangan kanannya. Xena tak bergerak. Baginya, sayatan belling itu sama sekali tak menyakitkan, dibanding perlakuan Bapaknya saat ini. Tak berhenti di situ. Cakra juga melayangkan bogem mentah pada Xena yang malang. Meski begitu, Xena tak melawan sedikitpun. Dia hanya sedikit menangkis pukulan dari Bapaknya itu.

"Cukup Pak... Cukup...! Tolong jangan kayak gini terus. Hatiku sakit Pak... Aku  sesak sampai gak bisa nafas. Sekali... Saja, aku mohon. Jadilah selayaknya Bapak. Peluk aku sebentar saja Pak. Biarkan aku bersandar di pundak Bapak. Tolong... Tolong sayangi aku sebentar saja. Aku mohon...!"

Tubuh Xena lunglai. Dia berlutut di depan Bapaknya sambil terus terisak.
Cakra menghentikan pukulannya. Dia tertegun dan mulai merasa empati. Emosinya melemah. Ucapan Xena membuatnya merasa bersalah karena selalu bersikap kasar padanya.

"Aku bukan orang tuamu! Pergi saja dari sini!" tukasnya lirih.

Mata Xena terbelalak mendengar pernyataan Cakra. Dia semakin tersedu dan tidak percaya. Bahkan saat ini, satu-satunya orang yang ingin dia andalkan tak lagi mengakuinya sebagai anak.

"Enggak mungkin...! Bapak bohong kan?"

"Aku bilang kamu bukan anakku! Ayo kamu pergi saja dari sini...!" hardik Cakra.

Dia menarik tangan Xena dan menyeretnya keluar. Cakra menutup pintu rumahnya dan membiarkan Xena memohon sambil menggedor- gedor pintu.

"Pak... Jangan tinggalin Xena. Aku mohon, tolong buka pintunya pak...!"

Cakra tak menghiraukan Xena, meski terus memohon dan terisak di depan rumahnya. Dia merasa bersalah karena selama ini selalu berbuat kasar pada anaknya itu. Baginya, hidup Xena akan lebih baik jika tak bersamanya lagi.

Xena lantas pergi membawa seribu luka dalam dirinya.  Sepanjang jalan, air matanya terus bercucuran tiada henti. Bersama dengan itu, langit juga ikut mengamuk. Dia menjatuhkan air hujan dengan deras ke tubuh Xena yang sudah lemah.

Semakin lama, langit semakin gelap. Rintik hujan itu mengguyur tubuh Xena tiada henti. Xena terduduk sambil termangu di sebuah taman tak jauh dari rumahnya.

Beberapa saat kemudian, tanpa sengaja Jonathan melintas di taman tersebut. Dia menghentikan laju mobilnya. Kemudian segera berlari menghampiri Xena, yang duduk di bawah guyuran air hujan.

Jonathan memayungi Xena, membiarkan dirinya sendiri basah diterpa hujan. Lantas Xena mendangakkan wajahnya, setelah merasa ada seseorang yang menghalangi air hujan itu kembali menyentuh tubuhnya. 

"Kenapa Tuhan gak adil sama aku. Kenapa mereka harus lahirin aku kalau gak mau. Aku bahkan gak pernah ngerasain digendong sama ibu...." isak Xena.

Jonathan merangkul Xena yang masih tersedu- sedu. Dia menepuk pundaknya perlahan. Tak ada satu katapun yang diucapkan Jonathan pada Xena. Dia begitu faham dengan kondisi sahabatnya saat ini. Hangatnya pelukan dari Jonathan membuat Xena merasa nyaman hingga dirinya berangsur tenang. Lantas sesegera mungkin, Jonathan membawa Xena pergi dari tempat itu.

***

"Untuk sementara, kamu tinggal disini aja..." seru Jonathan.

Jonathan membawa Xena ke sebuah perumahan kosong tanpa penghuni. Diamond Hill Citraland, berada dalam kawasan perumahan elite di daerah Surabaya. Desain eksterior yang futuristik menambah kemewahan rumah tersebut. Dekorasi yang artistik serta keamanan yang canggih, membuat Xena tercengang. Bagaiman mungkin, Xena yang terbiasa tinggal di kontrakan sempit sekarang harus menempati rumah mewah dari cinta pertamanya.

"Ini rumah siapa...?" tanya Xena lirih.

"Punya orang tuaku. Tinggallah...! Sampai keadaan kamu tenang."

"Emhh..." sahut Xena mengangguk.

Jonathan menyelimutkan handuk di pundak Xena. Dia mendudukkan Xena pada sebuah sofa empuk yang berada di ruang keluarga. Di bawah sinar lampu LED yang sangat terang, nampak dengan jelas wajah Xena yang berantakan penuh luka. Pelipisnya lebam serta bibirnya berdarah akibat hantaman keras dari Pak Cakra tadi.

Jonathan berjongkok di bawah kaki Xena, lantas membersihkan sisa darah yang masih menempel di bibir gadis malang itu. Raut wajah Xena datar, seakan sudah kebal dengan perlakuan fisik. Sedikitpun, dia tak nampak meringis maupun merasa kesakitan.

Xena terus- menerus menatap wajah Jonathan. Cell asmara dalam dirinya kini telah mendominasi. Apapun kesulitan yang di alami Xena, Jonathan selalu hadir bak superhero. Bagaimana mungkin, dia tidak jatuh hati pada pria sebaik itu.

Gerakan tangan Jonathan terhenti, kala pandangannya tertabrak dengan tatapan mata Xena yang hangat. Dia menyadari, gadis itu telah menyukainya dari dulu. Namun ketidakmampuan Jonathan melawan Papanya, membuat dia hadir sebagai laki-laki pengecut di hadapan Xena.

Jonathan menangkup sebelah pipi Xena. Mata mereka saling bertemu, pupil matanya melebar dan intens. Mereka saling jatuh cinta. Namun tak ada yang berani jujur dengan perasaan mereka masing- masing. Jonathan melemparkan senyum seraya mengusap lembut pipi Xena dengan penuh kasih. Xena membalas senyuman itu sembari mengenggam tangan Jonathan yang masih menempel di pipinya.

***

TBC

Duuhh... Aku ikut mewek pas nulis di part ini.
Kalian jahat kalau pelit ngasi Vote. Hiks... Hiks...

XENA The Aggressive Friend ( End )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang