اللهم صل على النبي محمد
•
°
°
•
•
°
°^^📒HAPPY READING📒^^
-
-
-
-🔓Open's Story🔓
Siang menjelang sore di Ruang Kesenian. Kini Zarra dan Alari tengah melaksanakan ekstrakurikuler seni. Mereka kini tengah berbincang ringan sembari menunggu pelatih mereka memberikan instruksi kembali.
"Oh, ya, La. Aku mau nanya boleh?" tanya Zarra.
"Iya, boleh. Silahkan, mau nanya apa?"
Zarra menghela napas sejenak. "Geser sini dikit deh kamunya," pinta si gadis berhijab biru itu.
Alari mengangguk, ia dengan spontan langsung menuruti permintaan si gadis. "Kenapa?" tanyanya.
Tiba-tiba Zarra mengambil ponselnya yang terletak di saku bajunya. Ia berkutat sejenak dengan ponselnya itu. Sampai di mana, Zarra tiba-tiba menunjukkan foto pria.
"Eh, bentar, deh," heran Alari sejenak. Matanya membulat sempurna.
"OH! AKU TAU. ITU A' DZAKA, KAN?" teriak Alari secara reflek.
Seketika pandangan orang-orang di dalam Ruang Kesenian langsung menatap mereka berdua. Tatapan semua orang di sana benar-benar keheranan dan ada juga yang menatap mereka aneh. Alari dengan spontan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ah, ia benar-benar malu saat ini. Apa yang harus dirinya lakukan?
Alari terkekeh canggung. Ia seketika menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu dengan kedua telapak tangannya. "Astaga, mukaku mau di taruh di mana ini?" gumam Alari kaku.
Zarra ikut terkekeh, sebelum akhirnya ia kembali membuka suara. "Semuanya maaf, ya, ganggu konsentrasi kalian. Temenku mungkin terlalu excited makannya reflek teriak, maafin, ya." Suara Zarra mengalun begitu lembut. Orang-orang yang mendengar itu seketika tersenyum simpul.
"Iya, gapapa, kok. Kami juga ngerti," balas salah satu orang di sana mewakili mereka yang berada di ruangan itu.
"Astaga, Ra. Makasi banyak ihh. Aku gatau harus gimana kalo gak ada kamu," lirih Alari sambil memeluk Zarra secara erat.
Zarra kembali terkekeh. "Allahuakbar, udah, La. Engap tau," protes Zarra.
"Huh, iya, iya, deh. Maaf," ucapnya.
"Oh, ya. Balik ke yang tadi. Itu foto A' Dzaka, kan?" tanya Alari memastikan.
"Bukan," balasnya singkat.
"Lah? Kalo bukan siapa dong? Itu jelas-jelas mirip banget sama A' Dzaka!" ucap Alari agak meninggikan nadanya.
"Itu, gus aku, La. Gus Dzakir," jelas Zarra.
"Hah!? Gus Dzakir!? Gus Dzakir siapa!?" tanya gadis berambut gelombang hitam itu.
"Gus aku waktu di pesantren, Alari Stevian Christiana," ucap Zarra agak geram.
"Iya, aku paham, Zarra Alenna," balas Alari sembari tersenyum tipis.
"Gus Dzakir kayaknya kembaran A' Dzaka, deh," ujar Alari berpendapat. Zarra secara tiba-tiba berpikir hal seperti itu juga. Di tambah muka mereka yang memang mirip dan nama mereka yang hampir sama.
"Nama panjang A' Dzaka siapa?" tanya Zarra untuk memastikan. Pasalnya ia memang tahu bahwa gus dirinya saat di pesantren memang memiliki kembaran. Akan tetapi, ia belum tahu rupa asli dari kembarannya itu.
"Dzaka Fathur El-Faza," balas Alari.
Nah, kan. Nama marganya sama kayak Gus Dzakir. Sama-sama Fathur El-Faza. Udah fiks kembar ini mah, batin Zarra.
"Ooh, mereka beneran kembar ternyata," ucap Zarra dengan spontan.
"Lho? Mereka beneran kembar? Ga nyangka, sih," ucap Alari agak heboh.
"Kok, bisa kembar? Kamu nyimpulin dari mana?" sambung Alari bertanya.
"Iya, mereka kembar, aku tau mereka kembar dari nama marga mereka. Marga mereka sama-sama Fathur El-Faza soalnya. Soalnya keluarga besar pemilik pesantren tempat aku mondok dulu itu, kalo misalkan punya anak kembar pasti bakal sama nama marganya." Zarra menjelaskan sejelas-jelasnya.
Alari hanya mampu mengangguk sambil menatap serius Zarra. "OH! GITU, MAKASIH INFORMASINYA, YA!" Alari dengan spontan kembali berteriak. Membuat semua orang di Ruang Kesenian kembali menatap aneh ke arah mereka.
"Astaga, malu banget," gumam Alari memalingkan wajahnya.
"Hei, sudah-sudah. Sekarang saya tinggal kasih tugas rumah saja untuk kalian. Di kumpulan ketika pertemuan selanjutnya, baik?" ucap pelatih ekstrakurikuler seni, atau biasa di panggil 'Teh Ocha'. Sebenarnya namanya itu Anatasha. Akan tetapi, entah kenapa bisa menjadi di panggil 'Ocha'. Bahkan sampai saat ini Zarra masih bingung dengan hal itu.
"Baik, Teh," ucap semuanya serentak.
Anatasha mulai menulis kata demi kata di board. Para siswa-siswi yang berada di sana fokus memerhatikan board, ataupun sesekali menulis tulisan yang berada di board.
Selesai Anatasha menulis. Kini semua orang yang ada di sana tengah menyalin tulisan tangan Anatasha, Zarra pun ikut menyalin tulisan itu. Beberapa saat setelah itu, beberapa murid yang telah selesai menulis langsung membereskan peralatan mereka masing-masing.
"Baik, apakah semuanya sudah menulis?" tanya Anatasha untuk memastikan.
"Sudah, Teh."
"Baik, sekarang waktunya kalian berdo'a sesuai kepercayaan masing-masing," ujar Anatasha
Semua murid dengan spontan langsung menundukkan kepala mereka, begitu pul dengan. Zarra dan Alari mulai berdoa sesuai kepercayaannya masing-masing.
"Oke, selesai. Semuanya silahkan bubar. Ingat langsung pulang! Jangan keluyuran kemana-mana," tegas Anatasha.
"Siap, Teh!" jawab mereka semangat.
''°• 🐾🐾 •°''
Kini Zarra tengah berjalan di area parkiran. Zarra tengah berjalan gontai tanpa memperhatikan apapun yang ada di depannya. Saat Zarra sedang tenang-tenang berjalan santai. Tiba-tiba netra matanya menatap sosok lelaki jangkung.
"Hah? A' Dzaka? Gus Dzakir? Kok, pada di sini?" heran Zarra. Pasalnya Dzakir itu tidak ada hubungan apapun dengan itu..
•
•
°°
°°
•
•
°°
°°
•
•↩️TO BE CONTINUE↪️
-
-
-
-
-
-🔒STORY CLOSED🔒
#pensi
#eventpensi
#pensivol13
#teorikatapublishing
KAMU SEDANG MEMBACA
DZAKARA : Love without family support [TERBIT]
Teen Fiction[TERBIT] [Budayakan Follow Sebelum Membaca❗] Harta yang melimpah, teman yang banyak, lalu kepintaran yang Zarra miliki nyatanya tak membuat kebahagiaan yang sempurna di hidupnya. Zarra Alenna, ia merupakan salah satu santriwati teladan di Pondok Pe...