DZAKARA : LWFS 03 - PAMIT

55 22 14
                                    

اللهم صل على النبي محمد



°
°


°
°

^^📒HAPPY READING📒^^

-
-
-
-

🔓Open's Story🔓

     Jum'at sore, hari yang paling disukai santriwan maupun santriwati. Pasalnya khusus untuk hari Jum'at saja para santri tidak mengaji kitab. Tentu saja para santri akan sangat kegirangan untuk hal itu. Mereka pasti akan memanfaatkan kesempatan yang hanya datang satu minggu sekali itu.

     Berbeda lagi dengan Zarra. Saat ini, ia malah sedang sibuk untuk membereskan semua barang-barang miliknya. Pasalnya kemarin siang, Zarra mendapatkan telepon dari sang kakak tertua. Ia menyuruh Zarra untuk berhenti mondok, karena masalah keuangan. Jujur Zarra sempat menolak beberapa kali. Akan tetapi, mau tidak mau Zarra harus tetap menuruti kemauan sang kakak.

     Zarra tetap fokus membereskan barang-barangnya, tidak peduli tatapan aneh dari orang-orang di dalam asramanya. Mata Zarra tidak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Jika ditanya mengapa, Zarra akan menjawab dengan lantang, karena ia tidak ingin meninggalkan pondok kesayangannya ini.

     Tiba-tiba, salah satu teman se-asrama Zarra berhenti tepat di depannya. Ia bertanya. "Zarra, kamu lagi ngapain? Kok, semua barang-barang kamu diberesin?" tanyanya mewakili semua orang di asrama yang melewati Zarra beberapa saat lalu. Zarra yang mendengar dirinya dipanggil seketika menoleh sejenak.

     Zarra tersenyum simpul. "Aku mau berhenti mondok," jelas Zarra singkat.

     DEGH!

     Gadis pemilik netra mata abu-abu itu seketika mematung. Tolong beritahu padanya jika ini hanyalah sebuah mimpi semata. "Lho, kenapa? Kok, tiba-tiba banget, Zar? Tangguh, loh. Cuma tinggal beberapa semester aja," lirih sang kawan tidak percaya. 

     Zarra hanya menggeleng kecil mendengar lirihan sang gadis di hadapannya. Ah, Zarra benar-benar tidak bisa melihat orang di hadapannya terlihat lemah seperti ini, Zarra rasanya ingin menghiburnya. Namun, bagaimana caranya jika Zarra sendiri sedang tidak baik-baik saja? Jujur, pada awalnya Zarra juga berpikiran seperti itu. Akan tetapi, mau bagaimanapun Zarra tidak bisa menolak keputusan mutlak kakaknya itu.

     "Keputusan aku udah bulat, Qil. Aku juga gak bisa berbuat apa-apa selain nerima takdir yang udah, Allah, beri sama aku. Kamu yang betah, ya, di sini. Jangan ngeluh-ngeluh lagi kayak dulu," ujar Zarra sembari tersenyum teduh. Tatapan Aqila seketika berubah menjadi sendu. Melepaskan teman terbaiknya itu benar-benar hal yang sulit, tahu. Tidak semua orang bisa kuat dengan hal sepeti itu.

     "Ugh, iya, iya. Aku juga ga bisa larang-larang kamu seenaknya juga. Yaudah kamu nanti yang betah juga ya di sekolah barunya. Jangan lupain kita semua yang ada di Gedung Asrama Yaman, ataupun asrama lain, oke?" tambah Aqila panjang lebar. Ia benar-benar takut jika temannya ini akan melupakan dirinya.

     Zarra mengangguk setuju. "Pasti dong, gak mungkin aku lupain kalian semua yang udah jelas-jelas selalu ada selama enam tahun ini buat aku. Sampaikan salam ku sama temen-temen lain, ya. Takutnya aku ga keburu buat ngasih tau mereka," pinta Zarra lembut. Dengan spontan Aqila langsung mengangguk cepat.

     "Pasti! Tenang aja, serahin sama Dokter Aqila!" jawab Aqila antusias. Zarra terkekeh, ah teman-temannya benar-benar menyenangkan semua. Tidak terbayang saat nanti hari-hari Zarra tanpa mereka.

     "Cita-cita kamu masih sama, ya, Qil? Tetep dokter, nih?" canda Zarra sembari kembali membereskan barang-barangnya itu.

     "Ah, udahlah, Zar. Aku pamit mau ke Maqsof," ucap Aqila lalu meninggalkan Zarra seorang diri di asrama.

     Zarra kembali membereskan beberapa pakaiannya. Beberapa menit setelah itu, Zarra telah selesai membereskan semua barang miliknya. Zarra langsung membawa koper dengan dua tas gendong menuju ke tempat parkir.

     Sesampainya di tempat parkir Gedung Asrama Yaman. Zarra sudah bisa menemukan sosok mobil milik kakak keduanya. Zarra langsung menghampiri mobil itu. Zarra tersenyum simpul melihat sang kakak yang sedang terduduk di kursi supir.

     "Kak, Ara pamit sebentar, ya. Ara mau pamitan sama Umma Fatimah," pamit Zarra.

     Sang kakak mengangguk singkat. "Yaudah, gih. Kakak tungguin, kok, sekalian juga mau masukin barang-barang adek dulu," balas Aila.

     "Yaudah, Kak Ai. Ara ke ndalem dulu," ujar Zarra lalu langsung bergegas untuk pergi ke Rumah Ummu Fatimah.

''°• 🐾🐾 •°''


   Sesampainya di depan Rumah Fatimah. Zarra benar-benar telah menyiapkan mentalnya untuk berbicara dengan Fatimah. Tanpa basa-basi Zarra langsung memasuki halaman depan rumah tersebut. Saat sudah tepat berada di depan pintu rumah. Zarra sedikit termenung. Apa dirinya benar-benar akan mengakhiri masa dirinya menjadi santriwati? Ah, sudahlah, Zarra sedang tidak mau banyak berpikir.

     Dengan keputusan penuh, Zarra langsung melangkahkan kakinya mantap. Ia langsung mengetuk pintu Rumah Fatimah. Setelah beberapa saat, akhirnya ada beberapa pembantu di sana dan membiarkan Zarra langsung masuk untuk menemui Fatimah. Zarra juga hanya mengiyakan.

     Sampai waktu di mana akhirnya Zarra bertemu dengan Fatimah yang sedang terduduk di atas kursi. Tanpa basa-basi sedikitpun Zarra tiba-tiba sungkem terhadap Fatimah. Fatimah membelalakkan matanya heran. Ada apa dengan santriwati satunya ini?

     "Lho? Nak Zarra, ada apa? Lagi ada masalah?" tanya Fatimah benar-benar khawatir.

     "... Gini, Umma. Zarra minta maaf kalo malah bikin umma kecewa. Tapi, Zarra gak bisa berbuat apa-apa buat ini. Zarra mau berhenti mondok aja, Umma," lirih Zarra dengan air matanya yang perlahan mengalir kembali.

     Fatimah mengernyitkan alisnya heran. "Kenapa, Nak? Apa ada sesuatu yang bikin Nak Zarra gak nyaman?" tanya Fatimah memastikan. Tatapannya benar-benar tersirat kekhawatiran. Sial, Zarra benar-benar tidak kuat jika melihat seseorang yang mengkhawatirkannya seperti itu. Akan tetapi, mau tidak mau Zarra harus tetap pindah dari sana.

     "Bukan gitu, Umma. Tapi Zarra belum bisa cerita soal hal itu," lirihnya kembali.

     "Ah, baiklah, Umma paham, kok. Gapapa, kok, kalo semisalnya Nak Zarra mau berhenti mondok, gapapa, kok," ujar Fatimah lembut sembari menarik bibirnya yang membuat lengkungan lembut ke atas. Zarra yang melihat itu seketika ikut tersenyum.

     "Makasih, Umma, Zarra bener-bener gatau harus gimana kalo gak ada umma," ucap Zarra jujur.

     Perkataan Zarra itu benar-benar murni kejujuran. Lagipula tidak ada gunanya juga jika Zarra berbohong. Mendapat pahalanya tidak, melaikan malah mendapatkan dosa.

     "Yaudah, kalo gitu. Zarra pamit, ya, Umma, Assalamu'alaikum," salam Zarra ramah lalu perlahan mulai meninggalkan lingkungan Rumah Fatimah.

     "Wa'alaikumussalam, yang betah di sana, ya, Nak Zarra," ujarnya saat Zarra sudah tidak berada di tempatnya.



°°
°°


°°
°°

↩️TO BE CONTINUE↪️

-
-
-
-
-
-

🔒STORY CLOSED🔒


#pensi
#eventpensi
#pensivol13
#teorikatapublishing


DZAKARA : Love without family support [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang