24. Complicated III

79 6 5
                                        

Sebuah suara dari ketukan dari arah pintu membuat aku dan juga Uncle Han terdiam sejenak. Unclu Han memberikan kode untuk menyuruhku bergerak pelan-pelan tanpa bersuara memasuki kamar, Uncle Han menuju ke pintu depan, sedangkan aku memasuki kamar.

Dari dalam kamar, aku mencoba menempelkan telingaku pada pintu. Aku ingin tahu siapa yang datang, tapi niatku itu langsung diruntuhkan karena pintu sudah dibuka oleh Uncle Han yang kini menatapku bingung. Aku hanya nyengir kuda.

"Steve!" dua orang laki-laki yang aku khawatirkan kini berdiri dihadapanku.

Jake langsung memelukku yang hampir membuatku hilang keseimbangan. "I thought you die," ucapnya sambil berbisik.

Aku membalas pelukannya. Jadi seperti ini rasanya dikhawatirkan oleh seseorang yang kamu pedulikan. Di sisi lain, aku melihat Jay dengan gengsinya hanya berdiam diri tak jauh dari tempatku dan Jake. Dari tatapannya, aku tahu sebenarnya ia juga mengkhawatirkanku, tapi gengsinya itu setingggi langit.

"Guys.. nanti malem kita rapat, kalian istirahat dulu aja bareng Steve, karena kamar disini cuman ada tiga, dan Si Sean pengennya kamar sendiri," ucap Uncle Han.

Kami bertiga menganggukkan kepala. Jake menaruh tasnya disembarang tempat, begitu pula dengan Jay. Bedanya, Jake langsung rebahan di atas kasur, sedangkan Jay memilih untuk duduk di sudut kamar.

"Lo beneran harus tahu betapa khawatirnya dia kemaren-kemaren," goda Jake.

"Lo lagi marah sama gue kah?" tanyaku pada Jay, lelaki itu hanya diam sambil merobek-robek kertas menjadi kecil-kecil.

Jake yang tadinya sedang tiduran, beralih menjadi duduk. "Iya, dia bete karena lo mendadak ngilang. Gue udah jelasin tapi manusia itu tidak mau mengerti," Aku tertawa kecil mendengar keluhan Jake.

"Sorry deh, tapi apa yang dijelasin sama Jake, gue harap lo bisa mengerti. Semuanya ini dadakan. Gue salah karena bertindak egois,"

"Udah dong Jay marahnya... lo jadi kayak cewek yang ngga dikasih kabar ama ppacarnya berhari-hari,"

"Emang lo tahu rasanya Jake? Lo aja sama si Hazel ngga jelas. Lo juga belom tentu bisa balik lagi kesana hidup-hidup," celetuk Jay, yang langsung mendapat lemparan bantal dari Jake.

"Sialan lo! Apapun itu, gue bakal kembali hidup-hidup dan hidup yang gue inginkan akan terlaksana, walaupun terdengar seperti angan-angan belaka, tapi selama gue masih bernafas, i will fight for my better life because I know that the life I want must be lived with sacrifice,"

Perkataan Jake membuat aku tersadar. Akhir-akhir ini memang terlalu banyak plot twist dalam hidupku, bahkan aku sering kali ingin menyerah dan membiarkan untuk menjadi budak ayah selamanya, tapi itu bukanlah kehidupan yang aku inginkan. Aku ingin hidup sederhana dan bahagia bersama orang-orang yang aku cintai dan yang mencintaiku.

"Bijak lo abis berada dalam ambang kematian," celetukan Jay benar-benar merusak suasana. Tapi, apa maksudnya berada di dalam ambang kematian? Apakah mereka sudah ketahuan oleh ayah?

"Lo berdua ketahuan ayah?" tanyaku.

Keduanya mengangguk. "Pas kita terima sinyal dari lo, tiba-tiba laptop gue keretas dan tempat persembunyian gue sama Jake ketahuan, tapi ya udah sih gitu aja. Gue berasa lagi jadi pemain valorant aja tadi," jelas Jay.

"Ada pistol?!" tanyaku tak kuasa menyembunyikan rasa kagetku dengan ucapan Jay. Bukankah semua ini sudah diluar batas? Bukankah ayah sudah keterlaluan sampai menggunakan pistol untuk melawan kami?

"Bukan cuman pistol, berbagai macam tembakan ada," timpal Jake.

"Tapi ada satu yang ngga ada," sahut Jay.

B-SIDE || [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang