Empat

8.7K 619 6
                                    

Matahari perlahan masuk melewati celah celah gorden ruang rawat inap Daffin.

Bau obat yang menyengat tercium jelas oleh Daffin. Daffin membuka matanya.

Ah Rumah sakit lagi. Bagaimana bisa dihari pertama ada di keluarga Gilangtara, ia malah langsung masuk rumah sakit. Padahal niatnya akan menyembunyikan sakitnya selama mungkin. Tapi, baru hari pertama saja sudah begitu kesusahan menyembunyikan nya dan masuk rumah sakit. Daffin merutuki dirinya sendiri yang begitu lemah. Padahal selama ini ia selalu berusaha berperan menjadi anak yang 'kuat' secara fisik. Karena itu ia tak pernah mudah ditindas. Tapi kenapa jika soal asma nya ia selalu kalah.

Daffin melihat ke segala penjuru ruangan. Ruang ranap yang begitu mewah. Seperti hotel bintang atas. Pasti mahal. Adrian pun terlihat terlelap dengan nyaman di kasur khusus keluarga.

Tapi bukannya perasaan nyaman dan senang yang Daffin rasakan. Ia malah merasa semakin gelisah dan khawatir. Khawatir bagaimana nasibnya setelah ini. Kalau setiap sakit ia harus masuk ruangan seperti ini bukan kah pada akhirnya keluarga Gilangtara akan merasa Daffin benar benar menyusahkan?

Daffin tenggelam dalam pikiran buruknya. Ia terlalu takut dan cemas. Nafasnya mulai kembali tak beraturan padahal sudah mengenakan masker oksigen.

Daffin memaksa tubuhnya yang nyeri bekas pukulan teman teman nya kemarin untuk bangun. Ia berusaha bangun sekuat tenaga. Daffin merasa, ia harus segera pergi dari sini. Daffin takut menghadapi hal buruk di bayangannya. Daffin ingin pergi sebelum disuruh pergi.

"Daffin?" Suara parau Adrian membuyarkan usaha Daffin untuk berdiri.

Adrian membenarkan posisinya. Dan seketika nyawa Adrian langsung terkumpul melihat Daffin yang kini sedang berusaha berdiri dengan berpegangan besi ranjang. Sedangkan masker oksigennya sudah terlepas. Darah menetes ke lantai karena Daffin mencabut paksa infusan dengan panik.

"Daffin! Kamu mau ngapain?!" Panik Adrian dengan suara tegas galaknya.

Suara Adrian yang terdengar marah membuat Daffin lebih ketakutan. Daffin pun melupakan sesak dan sakitnya. Daffin terlihat sangat panik dan takut. Daffin melangkahkan kakinya untuk pergi dengan cepat. Tapi tubuhya menolak.

Daffin tersungkur begitu saja ke lantai. Dan dengan sigap Adrian merengkuh tubuh kurus tinggi Daffin.

"Kamu mau kemana? Kamu masih sakit, Daffin!"

"Uhuk.. Hhh.. Jang.an.. u.sir.hh Daf.fin.. Bakal.Pergi... Hh sen.diri" Kalimatnya tersenggal oleh nafasnya yang kesusahan mendapat oksigen. Air mata pun sudah mengalir begitu saja dari mata Daffin.

Adrian terpaku. Walau ia memiliki 2 adik. Adrian tak pernah merawat adiknya secara langsung karena terpaut jarak yang jauh dan adiknya pun sudah memiliki pengasuh. Jadi Adrian selalu tidak pernah tau bagaimana bersikap jika adiknya sakit atau menangis. Ia pun tak pintar menghibur.

"Daffin!" Pekik Dina yang baru saja masuk ke ruangan. Melihat kondisi Daffin, Dina langsung memeluknya.

"Adrian, ada apa?" Tanya Gilang pada anak sulung nya yang masih membeku itu.

Nafas Daffin mulai stabil tapi air matanya tak berhenti.

"Kenapa sayang? Apa yang sakit?" Nanar Dina.

Daffin mengumpulkan kembali tenaga nya. Lagi lagi ia memaksa tubunya. Daffin segera bangkit dan pergi. Tapi tubuh ringkihnya yang akan terjatuh lagi segera Gilang tangkap.

"Daffin?" Panggil Gilang.

Mata Daffin terlihat sangat panik dan cemas.

"Daffin lihat papah" Ucal Gilang.

Seperti KeluargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang