Delapan

7.8K 538 8
                                    

Daffin sudah berhari hari menolak pulang ke rumah keluarga Gilang. Ia hanya berdiam diri di kamar ibu Panti.

Makan pun harus dipaksa kakak pengasuh. Setiap hari Gilang dan Dina datang menanyakan kabar Daffin. Tapi Daffin tetap tidak mau pulang.

Ini sudah hari ke lima Daffin terus seperti itu. Kakak pengasuh khawatir akan kesehatan Daffin yang terus berduka.

Daffin membuka matanya perlahan. Matanya sangat pedih karena terlalu lama menangis.

Terdengar suara kakak pengasuh sedang berbicara dengan seseorang di depan pintu kamar ibu panti.

Sepertinya kali ini Adrian yang datang membujuk.

"Daffin, kakak masuk ya" Ucap Adrian dari luar pintu.

Tapi lidah Daffin terasa kelu untuk menjawab. Tubuhnya lemas tak bertenaga. Kepalanya pusing karena sering menangis terlalu larut.

Adrian melihat Daffin meringkuk di kasur membelakanginya.

Adrian duduk di tepi kasur.

"Kak Adrian tau, kata kata dari kita semua sekarang ga akan merubah keadaan. Tapi, kakak terus kepikiran. Seenggaknya kakak udah nyoba kasih tau Daffin." Lirih Adrian

Adrian menghela nafas berat melihat adiknya tak membalikkan badan.

"Daffin.. Kakak tahu kecewa nya Daffin. Kakak tahu patah hati nya Daffin... Walau kakak gabisa membantu mengurangi semua beban Daffin, tapi izinin kakak terus jadi kakak Daffin dan nemenin Daffin"

Ucapan ini mampu meluruhkan hati Daffin yang penuh luka itu.

Daffin bangkin dari posisinya dan duduk menghadap kakaknya.

Terlihat jelas wajah berantakan itu menutupi warna wajahnya.

Daffin sangat pucat. Bekas tangis mengering di pipinya.

Adrian mengangkat tangannya hendak menghapus bekas tangis di pipi Daffin.

Tapi Daffin menghindar. Lalu, ia tersenyum getir.

"Ibu... Ternyata udah ga ada.. Daffin harus apa?" Suara nya bergetar menahan tangisnya tumpah lagi.

Adrian menatap Daffin dalam.

"Dirumah kakak, ga ada yang suka saya. Saya juga gasuka." Ucap Daffin menjaga jarak.

"Daffin kit-"

"Saya udah bilang gamau diadopsi. Kenapa keluarga kalian maksa saya buat jadi keluarga kalian? Dan buat ibu panti percaya kalau saya bakal beneran nemuin keluarga yang nerima saya." Potong Daffin marah.

Adrian terpaku.

"Kenapa kalian gabisa nerima saya padahal bukan saya yang minta kalian buat diadopsi. Kenapa?... Padahal ibu panti seneng banget waktu saya diadopsi kalian. Mana mungkin kan saya bilang ke ibu, kalo keluarga kalian gabisa nerima saya" Daffin kecewa.

"Pasti ibu sedih... " Lirih Daffin pelan.

Adrian mencoba mendekat.

"Haaaahh.... Tapi ibu udah ga ada. Jadi.. Saya udah ga usah pura pura bahagia dirumah kalian lagi kan?" Lanjutnya kini tersenyum paksa dengan tatapan yang pedih.

"Kata siapa kita ga bisa nerima elo?" Tiba tiba suara ketus khas milik Rafan menyela.

Rafan, Rafin, Gilang dan Dina kini sedang berdiri di depan pintu kamar ibu panti.

Rafin mendekat ke arah Daffin.

"Maaf, waktu itu gue fitnah lo soal vape. Padahal itu punya gue. Gue juga udah jelasin ke papah. Maaf Daf, gue cuma cemburu sama lo waktu itu. Sampe akhirnya gue ga pikir panjang lakuin itu." Sesal Rafin.

Seperti KeluargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang