Langit senja mulai beranjak gelap, memancarkan cahaya jingga keemasan yang memantul di permukaan air danau. Suara gemerisik angin yang menerpa dedaunan menciptakan melodi alami yang menenangkan, seolah menandakan akhir dari hari yang panjang. Di tepi danau, seorang pria berdiri memandang jauh ke cakrawala, pikirannya tenggelam dalam pusaran kenangan yang telah lama terkubur.
Namanya Damar. Sudah bertahun-tahun sejak ia terakhir kali mengunjungi danau ini, tempat di mana begitu banyak kenangan terukir bersama seseorang yang pernah sangat berarti baginya. Namun, sore itu ada sesuatu yang menariknya kembali ke tempat ini, seolah ada sebuah magnet tak terlihat yang memanggilnya untuk kembali.
Damar menarik napas dalam-dalam, merasakan kesegaran udara sore yang membawa aroma rumput basah dan bunga liar. Matanya terpejam sejenak, membiarkan pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke saat-saat ketika segala sesuatunya terasa lebih sederhana. Namun, sebelum ia tenggelam terlalu dalam, sebuah suara lembut mengagetkannya.
"Kamu masih ingat tempat ini?"
Damar membuka matanya dengan cepat, dan di hadapannya berdiri seorang wanita yang selama ini hanya ada dalam ingatannya. Arini, dengan rambut panjangnya yang tergerai, masih terlihat sama seperti terakhir kali mereka bertemu—tenang, cantik, dan penuh misteri.
"Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini," jawab Damar, suaranya hampir tenggelam oleh gemuruh emosi yang tiba-tiba muncul. "Apa yang membawamu ke sini, Arini?"
Arini tersenyum tipis, sebuah senyum yang menyimpan banyak cerita di baliknya. "Tempat ini selalu istimewa bagiku. Dan sepertinya, juga bagimu. Bukankah kita pernah berjanji untuk kembali ke sini suatu hari nanti?"
Damar terdiam, mengingat janji yang pernah mereka buat bertahun-tahun lalu. Janji yang terasa naif saat itu, namun ternyata begitu kuat mengikat mereka bahkan hingga sekarang. "Ya, aku ingat. Tapi aku tidak menyangka hari itu akan tiba."
Mereka berdua duduk di tepi danau, membiarkan keheningan mengisi ruang di antara mereka. Keheningan itu bukanlah keheningan yang canggung, melainkan sebuah keheningan yang dipenuhi oleh pemahaman dan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
"Apa kabarmu selama ini?" tanya Arini, memecah keheningan yang terasa nyaman itu.
Damar menghela napas panjang sebelum menjawab. "Hidupku berjalan seperti biasa. Sibuk dengan pekerjaan, bertemu banyak orang, tapi rasanya ada yang selalu kurang. Dan kamu? Apa yang membuatmu kembali ke sini?"
Arini memandang ke arah danau, matanya menerawang seolah sedang mencari jawaban di balik permukaan air yang tenang. "Aku juga merasakan hal yang sama. Hidupku berjalan, tapi entah mengapa, aku selalu merasa ada bagian yang hilang. Aku kira, mungkin dengan kembali ke tempat ini, aku bisa menemukan apa yang hilang itu."
Damar mengangguk, memahami apa yang Arini rasakan. Mereka pernah berbagi begitu banyak di tempat ini—tawa, tangis, dan mimpi-mimpi yang sekarang terasa begitu jauh. Kembali ke tempat ini seolah membuka pintu-pintu kenangan yang selama ini terkunci rapat.
"Tempat ini memang penuh kenangan," kata Damar pelan. "Tapi yang lebih penting, tempat ini adalah saksi bisu dari semua yang pernah kita alami bersama. Mungkin itulah sebabnya kita kembali, untuk mengingat apa yang pernah ada."
Arini menatap Damar, matanya menyiratkan kesedihan yang dalam. "Dan juga untuk mencari tahu apakah kita bisa menemukan kembali apa yang hilang itu, Damar."
Kata-kata Arini membuat jantung Damar berdebar lebih cepat. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Damar yakin bahwa Arini juga merasakan apa yang ia rasakan—sebuah penyesalan yang mendalam, dan keinginan untuk memperbaiki apa yang dulu pernah rusak.
"Semuanya berubah begitu cepat," kata Damar, suaranya serak. "Kita terpisah oleh jarak dan waktu, tapi perasaan itu tidak pernah benar-benar hilang, kan?"
Arini menggeleng pelan. "Tidak, tidak pernah hilang. Tapi kita terlalu takut untuk mengakui itu, terlalu takut untuk melihat kembali apa yang pernah ada."
Mereka berdua terdiam lagi, membiarkan kata-kata mereka tenggelam dalam keheningan. Ada begitu banyak yang ingin mereka katakan, namun kata-kata itu seolah tertahan di tenggorokan, sulit untuk diucapkan.
"Apakah kamu pikir masih ada kesempatan untuk kita?" tanya Damar akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar.
Arini menatap Damar dalam-dalam, matanya berkaca-kaca. "Aku tidak tahu, Damar. Tapi yang aku tahu, aku tidak ingin menghabiskan sisa hidupku dengan penyesalan. Jika ada kesempatan, aku ingin mencoba lagi."
Jawaban Arini membuat hati Damar bergetar. Harapan yang sudah lama ia pendam tiba-tiba muncul kembali, memberikan secercah cahaya di tengah kegelapan yang selama ini menyelimuti hatinya.
"Mungkin kita bisa mulai dari awal," kata Damar, suaranya lebih yakin. "Mungkin kita bisa mencoba untuk memperbaiki apa yang dulu pernah salah."
Arini tersenyum, sebuah senyum yang penuh harapan. "Ya, mungkin kita bisa. Tapi kali ini, kita harus lebih berhati-hati. Kita harus memastikan bahwa kita benar-benar siap untuk ini."
Damar mengangguk, merasakan semangat baru yang membara di dalam dirinya. "Aku siap, Arini. Aku akan melakukan apa saja untuk memastikan bahwa kita tidak membuat kesalahan yang sama."
Mereka berdua saling menatap, dan dalam sekejap, semua beban yang selama ini mereka bawa seolah menghilang. Mungkin, di tempat yang penuh kenangan ini, mereka bisa menemukan jalan untuk bersama lagi, untuk menciptakan cerita baru yang lebih indah daripada yang pernah mereka bayangkan.
Senja semakin menghilang, digantikan oleh kegelapan malam yang penuh bintang. Tapi di dalam hati mereka, ada cahaya baru yang mulai bersinar—cahaya harapan, cinta, dan kemungkinan baru.
Malam itu, di tepi danau yang tenang, Damar dan Arini memutuskan untuk memberikan cinta mereka kesempatan kedua, kesempatan untuk menulis ulang "Cerita Kita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kita
RomanceSetelah bertahun-tahun berpisah, Damar dan Arini tak sengaja bertemu kembali di tempat yang penuh kenangan-sebuah danau yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka yang dulu. Di tengah keheningan senja, mereka dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah...