Aldo berdiri di depan mereka, tatapannya tajam, seakan-akan menembus ke dalam pikiran mereka. Arini, Damar, dan Bayu merasakan ketegangan yang semakin meningkat, tetapi mereka tahu bahwa inilah saatnya untuk mendapatkan jawaban yang selama ini mereka cari.
"Baiklah," kata Aldo, suaranya rendah dan dalam, "kalian ingin tahu kebenarannya, bukan? Maka dengarkanlah dengan baik."
Aldo mulai berjalan perlahan di sekitar mereka, seperti seorang guru yang memberikan pelajaran kepada murid-muridnya. "Proyek ini, apa yang kalian sebut sebagai konspirasi, sebenarnya adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar. Kita hidup di zaman di mana informasi adalah kekuatan terbesar, dan siapa pun yang menguasainya, menguasai dunia."
"Kami sudah tahu tentang pengawasan massal dan manipulasi informasi," kata Damar, mencoba menunjukkan bahwa mereka bukan orang bodoh. "Tapi apa yang membuatmu terlibat dalam semua ini, Aldo? Apa motivasimu?"
Aldo tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak pernah mencapai matanya. "Kalian berpikir ini semua tentang kekuasaan, tentang uang, atau mungkin tentang kontrol. Tapi ini lebih dari sekadar itu. Ini tentang menciptakan dunia yang lebih aman, yang lebih terkontrol. Kalian mungkin melihatnya sebagai bentuk tirani, tetapi bagi mereka yang berada di belakangnya, ini adalah bentuk tertinggi dari perlindungan."
Arini merasa darahnya mendidih. "Kamu menyebut pengendalian orang sebagai perlindungan? Mengambil kebebasan mereka dan menjejalkan mereka dengan informasi yang telah direkayasa? Itu bukan perlindungan, Aldo. Itu perbudakan."
Aldo berhenti dan menatap Arini dengan serius. "Kalian terlalu naif. Dunia ini tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa kendali. Kekacauan, kekerasan, dan ketidakstabilan adalah harga yang harus kita bayar jika tidak ada yang mengambil kendali. Orang-orang ini, mereka hanya berusaha untuk mencegah dunia ini dari jatuh ke dalam kekacauan total."
Bayu memandang Aldo dengan tatapan tajam. "Dan kamu? Apa peranmu dalam semua ini? Mengapa kamu melibatkan diri?"
Aldo menghela napas panjang. "Karena aku percaya pada visi ini. Aku percaya bahwa dunia membutuhkan kendali. Aku sudah melihat apa yang terjadi ketika dunia dibiarkan berjalan tanpa pengawasan, dan itu tidak indah. Aku bergabung dengan mereka untuk memastikan bahwa kekacauan itu tidak terjadi lagi."
Arini merasa kekecewaan semakin dalam di hatinya. "Kamu menyerahkan moralitasmu demi apa yang kamu anggap sebagai 'kedamaian'? Mengorbankan kebebasan orang lain demi rasa aman?"
"Ini bukan tentang moralitas," Aldo menjawab tegas. "Ini tentang pragmatisme. Moralitas adalah kemewahan yang tidak bisa kita miliki dalam situasi ini. Dunia ini membutuhkan tangan yang tegas, dan itu berarti kadang-kadang kita harus membuat keputusan yang sulit."
Damar menatap Aldo dengan kebencian yang mulai muncul di wajahnya. "Kamu telah mengkhianati kepercayaan orang lain, mengkhianati Adrian, dan mungkin mengkhianati dirimu sendiri. Semua ini untuk apa? Untuk dunia yang kamu anggap lebih baik, tapi penuh dengan kebohongan?"
Aldo menggelengkan kepalanya. "Kalian tidak mengerti, dan mungkin tidak akan pernah mengerti. Dunia ini tidak hitam dan putih, dan terkadang, kita harus membuat pilihan yang sulit."
Sebelum mereka bisa menjawab, sebuah suara terdengar dari belakang gudang. Mereka semua menoleh, melihat bayangan bergerak di sudut gelap. Ketegangan meningkat saat seorang pria muncul dari kegelapan—Adrian.
"Aldo," kata Adrian, suaranya dingin, "aku sudah lama mencurigaimu, tapi aku ingin mendengar langsung dari mulutmu. Dan sekarang, kau telah mengatakannya sendiri."
Aldo tampak terkejut sejenak, tetapi kemudian dia mengangguk perlahan. "Adrian, aku tahu kau akan mengerti. Kau selalu mengerti hal-hal ini."
"Tapi aku tidak bisa memaafkan pengkhianatan, Aldo," Adrian melanjutkan, matanya penuh dengan kekecewaan. "Kita memulai ini bersama-sama untuk mengungkap kebenaran, bukan untuk mengkhianati orang-orang yang kita perjuangkan."
Aldo menghela napas, kemudian menatap Adrian dengan pandangan yang sulit diartikan. "Kau tahu, kita bisa mencapai tujuan yang sama dengan cara yang berbeda. Kau memilih jalan moralitas, aku memilih jalan pragmatisme. Tapi kita berdua tahu bahwa hasil akhirnya adalah yang terpenting."
Adrian tidak bergerak, tetapi kata-katanya penuh dengan ketegasan. "Dan itu adalah perbedaan kita. Aku tidak akan mengorbankan prinsipku hanya demi hasil yang tidak bisa dipertanggungjawabkan."
Aldo tersenyum pahit. "Mungkin, suatu hari nanti, kau akan mengerti, Adrian. Mungkin kau akan melihat bahwa terkadang, cara terbaik untuk melindungi sesuatu adalah dengan menghancurkannya terlebih dahulu."
Sebelum ada yang bisa bereaksi, Aldo tiba-tiba bergerak cepat, menarik sesuatu dari sakunya. Arini dan Damar segera waspada, tetapi Adrian lebih cepat. Dengan gerakan cepat, dia menangkis tangan Aldo dan mendorongnya ke belakang, menjatuhkan perangkat kecil dari tangan Aldo yang ternyata adalah sebuah detonator.
"Kau tidak akan menghancurkan apapun hari ini, Aldo," kata Adrian dengan tenang.
Aldo, yang sekarang terduduk di lantai dengan ekspresi kelelahan, memandang Adrian dengan pandangan penuh kekalahan. "Mungkin kau benar, Adrian. Mungkin aku yang terlalu jauh tersesat."
Adrian tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya memandang Aldo dengan penuh rasa penyesalan sebelum akhirnya memanggil Arini dan Damar untuk pergi.
"Kita harus pergi sekarang," kata Adrian. "Sebelum lebih banyak orang yang terlibat."
Mereka meninggalkan gudang, meninggalkan Aldo di belakang dengan pikirannya sendiri. Di luar, udara malam yang sejuk terasa seperti kontras yang tajam dengan ketegangan yang baru saja mereka alami.
"Kita berhasil mendapatkannya," kata Damar dengan suara lega, meskipun dia tahu bahwa kemenangan ini adalah awal dari tantangan yang lebih besar.
"Ya," jawab Arini, meskipun pikirannya masih dipenuhi dengan kekacauan emosional yang baru saja mereka alami. "Tapi ini belum berakhir. Masih banyak yang harus kita lakukan."
Adrian mengangguk. "Kalian benar. Tapi setidaknya, kita tahu siapa yang harus kita hadapi sekarang."
Dengan Aldo yang sekarang terbongkar, mereka tahu bahwa perjuangan mereka akan semakin berat. Tetapi dengan kebenaran yang mulai terkuak, mereka lebih siap dari sebelumnya untuk menghadapi apapun yang datang. Perjuangan mereka masih jauh dari selesai, tetapi mereka lebih bertekad dari sebelumnya untuk melanjutkannya, demi kebenaran yang telah lama mereka cari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kita
RomanceSetelah bertahun-tahun berpisah, Damar dan Arini tak sengaja bertemu kembali di tempat yang penuh kenangan-sebuah danau yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka yang dulu. Di tengah keheningan senja, mereka dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah...