Bayang-Bayang di Tengah Hutan

1 0 0
                                    

Arini dan Damar bergerak cepat melalui hutan yang gelap. Langkah kaki mereka terendam dalam daun-daun kering yang berserakan, hanya terdengar sayup-sayup di bawah suara angin yang bertiup di antara pepohonan. Rasa lelah mulai menjalari tubuh mereka, tetapi mereka tahu bahwa berhenti bukanlah pilihan. Kejaran dari gedung tempat mereka disekap bisa datang kapan saja, dan setiap detik yang terbuang bisa berarti akhir dari perjuangan mereka.

"Berapa jauh lagi menurutmu?" tanya Arini sambil terus mempercepat langkahnya, sesekali menoleh ke belakang memastikan tidak ada yang mengikuti.

Damar yang berada di depannya, mencoba melihat lebih jauh di antara batang-batang pohon. "Aku tidak tahu pasti. Hutan ini sangat luas, tapi jika kita bisa terus bergerak ke arah timur, kita mungkin akan sampai ke jalan utama atau desa terdekat."

Mereka melanjutkan perjalanan dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Damar memikirkan langkah berikutnya setelah mereka keluar dari hutan ini. Mereka butuh perlindungan, makanan, dan yang paling penting, cara untuk menghubungi Adrian dan mengatur rencana mereka kembali. Sementara itu, Arini tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa mereka sedang diawasi, meskipun mereka sudah jauh dari gedung itu.

Beberapa jam kemudian, matahari mulai naik di balik pepohonan, memberi mereka sedikit cahaya untuk melihat jalan yang mereka lalui. Mereka berhenti sejenak di sebuah tempat terbuka untuk beristirahat dan memeriksa peralatan mereka. Arini duduk di atas sebatang pohon yang tumbang, menarik napas dalam-dalam dan memeriksa luka di lengannya yang terkena goresan saat melompat dari atap.

"Kita butuh rencana," kata Damar, matanya memandang peta kasar yang mereka gambar di tanah dengan ranting. "Kita tidak bisa terus berlari tanpa arah. Kita harus menemukan tempat aman dan mencari bantuan."

Arini mengangguk setuju, tetapi pikirannya kembali ke perasaan tidak nyaman yang terus menghantuinya. "Damar, apa kau merasa ada yang mengikuti kita?"

Damar berhenti sejenak, mengamati sekeliling mereka. Hutan itu tampak tenang, tidak ada suara lain selain kicauan burung dan desiran angin. "Aku tidak melihat apa-apa. Tapi kita harus tetap waspada. Mungkin saja mereka mengirim tim untuk mencari kita."

Baru saja Damar selesai berbicara, terdengar suara gemerisik dari semak-semak tidak jauh dari tempat mereka beristirahat. Arini langsung berdiri, memasang posisi siap, sementara Damar mengambil posisi di sampingnya, siap menghadapi apa pun yang akan keluar dari balik semak-semak itu.

Sesaat kemudian, seekor rusa kecil muncul, melompat keluar dari semak-semak sebelum kembali berlari masuk ke dalam hutan. Arini menghela napas lega, tetapi perasaannya masih tegang. "Mungkin hanya rusa, tapi kita tidak bisa terus di sini. Tempat ini terlalu terbuka."

Damar setuju. "Ayo kita lanjutkan perjalanan. Kita harus segera menemukan jalan keluar dari hutan ini."

Mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah yang lebih cepat, berusaha untuk tidak meninggalkan jejak yang bisa diikuti. Saat mereka terus berjalan, Arini mulai merasakan adanya bayang-bayang di sudut matanya, seolah-olah ada sesuatu yang bergerak di antara pepohonan, namun setiap kali dia mencoba melihat dengan jelas, tidak ada apa-apa di sana.

Akhirnya, setelah beberapa jam berjalan tanpa henti, mereka sampai di sebuah sungai kecil yang airnya jernih. Sungai itu tampak seperti penanda alami di dalam hutan yang bisa membantu mereka menentukan arah. Damar menunduk untuk meminum air dari sungai, sementara Arini duduk di tepi, mengistirahatkan kakinya yang mulai pegal.

"Aku merasa kita semakin dekat," kata Damar sambil mengusap air dari wajahnya. "Mungkin kita bisa mengikuti aliran sungai ini. Sungai biasanya mengarah ke pemukiman."

Arini setuju dengan ide itu, meskipun rasa waspada masih menghantuinya. "Kita harus tetap bergerak. Tidak ada jaminan mereka tidak mengikuti kita."

Saat mereka bersiap untuk melanjutkan perjalanan, suara ranting patah terdengar tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Kali ini, baik Arini maupun Damar langsung bereaksi. Mereka dengan cepat mengambil posisi bertahan di belakang pohon terdekat, menahan napas sambil menunggu siapa atau apa yang akan muncul.

Ketegangan memuncak saat detik-detik berlalu, hingga akhirnya mereka mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Dari balik pepohonan, muncul sosok seorang pria yang tidak mereka kenal. Pria itu tampak bingung, tetapi segera mengangkat tangan ketika melihat mereka, menunjukkan bahwa dia tidak berniat menyerang.

"Jangan tembak! Aku tidak bersenjata," kata pria itu dengan nada tertekan.

Arini dan Damar saling pandang, tetapi tetap waspada. "Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Damar dengan nada tegas.

Pria itu tampak lega ketika menyadari bahwa mereka tidak langsung menyerangnya. "Nama saya Bayu. Saya... Saya kabur dari gedung yang sama dengan kalian. Saya mendengar kalian melarikan diri, dan saya mengikuti dari jauh. Saya juga tidak ingin tertangkap."

Arini memandang pria itu dengan curiga. "Bagaimana kita bisa tahu kamu tidak sedang berusaha menipu kami?"

Bayu menurunkan tangannya perlahan, mencoba menunjukkan bahwa dia tidak berbahaya. "Aku tahu sulit untuk percaya, tapi aku punya informasi yang mungkin bisa membantu kalian. Aku tahu bagaimana cara keluar dari hutan ini dengan cepat."

Damar memandang Arini, mencoba membaca pikirannya. "Apa yang kamu tahu?"

Bayu melangkah lebih dekat, tetapi tetap menjaga jarak yang aman. "Ada jalur rahasia yang digunakan oleh mereka yang bekerja di gedung itu. Jalur ini mengarah langsung ke jalan utama, tapi jalur itu hanya bisa dilalui jika kita tahu lokasinya. Aku bisa menunjukkan jalannya."

Arini dan Damar saling berpandangan, mempertimbangkan tawaran itu. Mereka berada di persimpangan yang sulit—percaya pada orang asing yang mungkin bisa membantu mereka, atau tetap melanjutkan perjalanan mereka sendiri dengan risiko tersesat lebih jauh di dalam hutan.

Akhirnya, Damar mengangguk pelan, dan Arini berbicara dengan suara rendah namun tegas. "Kita tidak punya pilihan lain. Tapi ingat, jika kamu mencoba menjebak kami, kamu tidak akan selamat."

Bayu mengangguk setuju. "Aku mengerti. Ayo, kita harus cepat sebelum mereka menemukan kita."

Mereka bertiga mulai bergerak dengan cepat, mengikuti Bayu yang memimpin jalan. Meskipun masih ada keraguan dalam hati Arini dan Damar, mereka tidak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa Bayu benar-benar tahu cara keluar dari hutan ini. Setiap langkah mereka terasa semakin mendekati jawaban, meskipun ancaman terus membayangi mereka dari setiap sudut hutan yang gelap.

Ketika mereka semakin mendekati tujuan yang dijanjikan Bayu, Arini merasakan ada perubahan dalam suasana. Pohon-pohon mulai jarang, dan tanah di bawah kaki mereka semakin rata, tanda bahwa mereka mendekati area yang lebih terbuka. Namun, instingnya mengatakan bahwa mereka belum sepenuhnya aman.

"Bayu, kita hampir sampai?" tanya Damar, suaranya rendah tetapi penuh tekanan.

Bayu mengangguk. "Sedikit lagi. Setelah kita melewati bukit kecil itu, kita akan sampai di jalan utama."

Mereka terus mengikuti Bayu, melintasi bukit yang disebutnya. Ketika mereka mencapai puncaknya, Arini dan Damar terkejut melihat jalan beraspal yang sepi terbentang di depan mereka. Itu adalah tanda bahwa mereka mendekati peradaban, tetapi sebelum mereka bisa bersantai, suara mesin mobil terdengar dari kejauhan, semakin mendekat dengan cepat.

"Ke samping! Cepat!" seru Damar, menarik Arini dan Bayu ke balik pepohonan di dekat jalan. Mereka bersembunyi dengan napas tertahan, berharap tidak terlihat.

Sebuah mobil hitam melewati jalan itu, perlahan, seolah-olah mencari sesuatu atau seseorang. Arini bisa merasakan detak jantungnya berdegup kencang, tetapi dia tetap diam, menunggu mobil itu menjauh. Ketika suara mesin akhirnya meredup dan menghilang, mereka keluar dari tempat persembunyian mereka dengan hati-hati.

"Kita berhasil," bisik Bayu, tampak lega. "Sekarang kita bisa mencari bantuan."

Namun, Arini masih merasa ada sesuatu yang salah. "Kenapa mobil itu ada di sini? Apa mereka tahu kita akan lewat sini?"

Damar juga merasakan hal yang sama, tetapi dia mencoba untuk tetap tenang. "Mungkin hanya kebetulan. Tapi kita tidak bisa tinggal di sini lebih lama lagi. Kita harus bergerak dan mencari tempat yang aman."

Mereka bertiga mulai berjalan menyusuri jalan utama, berharap bisa menemukan bantuan di sepanjang jalan. Meskipun mereka telah berhasil melarikan diri dari gedung itu dan menemukan jalan keluar dari hutan, ancaman dan bahaya masih mengintai mereka.

Cerita KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang