Arini, Damar, dan Adrian terus berlari melintasi hutan gelap. Nafas mereka tersengal-sengal, namun mereka tak berani berhenti. Damar sesekali menoleh ke belakang, memastikan tak ada pengejar di dekat mereka. Kilatan cahaya dari ledakan kecil yang Damar lemparkan tadi berhasil memberi mereka cukup waktu untuk kabur, tapi mereka tahu pengejaran belum berakhir.
"Kita tidak bisa terus seperti ini," kata Adrian di antara napasnya yang terengah-engah. "Mereka pasti sudah menyiapkan pasukan lebih banyak untuk mengepung hutan ini."
Arini memegang pergelangan tangannya yang berdarah akibat luka kecil saat melarikan diri. "Kita butuh tempat berlindung sementara."
Damar mengarahkan pandangannya ke sekitar, berusaha mencari tempat yang aman. Di kejauhan, dia melihat sebuah bangunan tua, yang tampaknya sudah lama ditinggalkan. "Di sana!" katanya sambil menunjuk.
Tanpa banyak pilihan, mereka bertiga segera menuju bangunan tua itu. Ketika mereka sampai, Arini dan Adrian langsung membuka pintu kayu yang sudah reyot. Mereka masuk ke dalam, diiringi derit pintu yang memecah kesunyian malam. Damar menutup pintu di belakang mereka, lalu mencari sesuatu untuk mengganjalnya.
"Tempat ini terlihat seperti tidak digunakan selama bertahun-tahun," bisik Adrian sambil memeriksa sudut-sudut ruangan. Dindingnya dipenuhi debu dan jaring laba-laba, dan lantainya penuh dengan daun-daun kering yang tertiup angin.
Arini menyandarkan punggungnya ke dinding dan berusaha menenangkan napasnya. "Kita harus pikirkan langkah selanjutnya. Kita tidak bisa terus berlari tanpa rencana yang jelas."
Damar mengangguk, setuju dengan kekhawatiran Arini. "Setelah ledakan tadi, kita berhasil memperlambat mereka, tapi mereka pasti akan kembali dengan lebih banyak orang. Kita butuh cara untuk keluar dari wilayah ini tanpa terlacak."
"Jika kita bisa mencapai kota terdekat, kita mungkin bisa bersembunyi di sana sementara waktu," kata Adrian. "Tapi dengan semua mata yang mengawasi kita, sulit membayangkan kita bisa kabur begitu saja."
Arini terdiam sejenak, memikirkan semua yang mereka hadapi. Proyek Oculus yang mereka coba hancurkan terus bergerak maju, dan sekarang mereka lebih terancam dari sebelumnya. Namun, di balik ketakutan itu, ada tekad yang kuat. Mereka telah sampai sejauh ini, dan tidak ada yang bisa memaksa mereka untuk menyerah.
"Kita harus hubungi kontak kita di luar negeri," ujar Arini tiba-tiba. "Kita punya bukti yang cukup untuk membuat publik internasional peduli. Jika kita bisa membawa data ini keluar dari negara, mungkin kita punya peluang menghentikan Oculus."
Damar menghela napas dalam-dalam. "Itu ide bagus, tapi kita perlu akses yang aman. Mereka pasti memblokir semua jalur komunikasi kita."
Adrian menatap laptop di tangannya. "Aku masih punya beberapa trik. Ada jalur komunikasi satelit yang belum mereka deteksi. Mungkin bisa digunakan, tapi kita harus berada di tempat terbuka untuk mendapatkan sinyal yang cukup kuat."
Arini merenung sejenak sebelum melihat ke arah jendela yang tertutup. "Kita bisa mencoba memanjat bukit di sebelah utara. Di sana lebih terbuka, dan semoga sinyalnya cukup kuat."
Damar berdiri, melempar pandangan penuh tekad ke arah kedua temannya. "Kalau begitu, kita harus bergerak sekarang. Waktu kita semakin menipis."
Mereka bertiga segera berkemas dan bersiap untuk meninggalkan bangunan tua tersebut. Mereka tahu bahwa tindakan mereka kali ini akan menentukan apakah mereka bisa melarikan diri atau terjebak selamanya dalam jaringan konspirasi besar yang mengancam kebebasan banyak orang.
Setelah memastikan tidak ada yang mengintai di sekitar, mereka membuka pintu dan kembali menyusuri hutan yang kini diselimuti kabut tebal. Udara malam semakin dingin, tapi mereka terus melangkah dengan tekad yang tak tergoyahkan.
Setelah berjalan beberapa waktu, mereka akhirnya sampai di kaki bukit yang mereka tuju. Bukit itu tinggi, namun menawarkan tempat terbuka yang sempurna untuk mencoba mengakses satelit.
"Ayo, cepat!" kata Adrian, mulai mendaki lebih dulu dengan laptop di tangan. Arini dan Damar mengikuti di belakangnya, terus waspada terhadap segala kemungkinan.
Sesampainya di puncak bukit, Adrian segera membuka laptopnya dan mulai mengatur koneksi. Detik demi detik berlalu dalam keheningan yang penuh ketegangan, sementara Damar dan Arini berjaga di sekitar mereka, memeriksa setiap gerakan di hutan di bawah.
"Sinyalnya lemah," gumam Adrian. "Tapi aku bisa mencoba."
Arini berdiri di sampingnya, memeriksa layar yang mulai menunjukkan koneksi ke satelit. "Cepat, sebelum mereka menyadari kita di sini."
Adrian mengetik dengan cepat, mencoba mengunggah data yang telah mereka kumpulkan selama ini. Namun, saat proses unggahan baru mencapai 30%, layar laptopnya tiba-tiba berkedip, menampilkan pesan error. "Tidak! Mereka sudah mencoba memblokir kita."
Damar menggeram frustrasi. "Kita kehabisan waktu."
Adrian tetap tenang, meski tangannya gemetar. "Aku bisa melewati ini. Kita masih punya kesempatan."
Saat Adrian berusaha keras menembus blokir itu, Arini memandang sekeliling dengan penuh kekhawatiran. Suasana di sekitar mereka tampak semakin gelap dan mencekam. Angin dingin yang berhembus membawa perasaan bahwa sesuatu yang buruk sedang mendekat.
Kemudian, dari kejauhan, terdengar suara kendaraan mendekat. Damar langsung bereaksi, menarik Arini lebih dekat dan berbisik, "Mereka datang. Kita harus bersiap."
Arini menggenggam erat tangannya. "Berapa lama lagi, Adrian?"
Adrian menatap layar dengan penuh intensitas. "Lima menit, paling cepat. Aku butuh waktu lima menit lagi."
"Baiklah," Damar menjawab tegas. "Kita akan melindungimu."
Mereka berdua berdiri di tepi bukit, bersiap menghadapi apa pun yang datang. Di bawah cahaya bulan, mereka bisa melihat kilatan lampu dari kendaraan yang semakin dekat. Musuh sudah berada di ambang pintu, tapi mereka tidak akan menyerah begitu saja.
Dengan semangat yang menyala-nyala, mereka bertekad untuk melindungi apa yang telah mereka perjuangkan selama ini, meski taruhannya adalah nyawa mereka sendiri.
4o
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kita
RomanceSetelah bertahun-tahun berpisah, Damar dan Arini tak sengaja bertemu kembali di tempat yang penuh kenangan-sebuah danau yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka yang dulu. Di tengah keheningan senja, mereka dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah...