Pertaruhan Terakhir

1 0 0
                                    

Angin malam yang dingin berhembus semakin kencang di puncak bukit, seolah mencerminkan ketegangan yang membekukan hati Arini dan Damar. Mereka berdiri berjaga, tubuh mereka tegak, menatap ke arah suara kendaraan yang semakin mendekat. Kilatan lampu dari bawah bukit semakin jelas, mengindikasikan bahwa pengejar mereka tak jauh lagi.

Adrian masih berkutat dengan laptopnya, jari-jarinya menari cepat di atas keyboard. "Aku hampir selesai," katanya dengan suara rendah, namun tegang. "Beberapa menit lagi, kita bisa mengunggah semuanya."

Arini mengencangkan genggaman tangannya pada tongkat logam yang ia temukan di jalanan sebelumnya. Damar di sebelahnya menggenggam sebuah pisau kecil, satu-satunya senjata yang mereka miliki. Mereka tahu mereka tak bisa melawan secara fisik, tetapi waktu adalah sekutu terakhir mereka.

"Berapa lama lagi, Adrian?" tanya Damar sambil melirik ke bawah bukit.

"Satu atau dua menit lagi... Aku hanya butuh sedikit lebih banyak waktu!" jawab Adrian, napasnya semakin cepat. Ia tahu, begitu data ini berhasil diunggah, seluruh dunia akan tahu tentang proyek Oculus—dan tak ada yang bisa menghentikannya.

Suara deru mesin semakin dekat, dan sekarang mereka bisa melihat beberapa bayangan bergerak di antara pepohonan di kaki bukit. Para pengejar sudah datang. Arini menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu.

"Kita akan menghadapi mereka di sini," kata Damar dengan tenang, meski matanya penuh kewaspadaan. "Apapun yang terjadi, kita tidak boleh biarkan mereka mencapai Adrian."

Arini mengangguk. "Ini pertaruhan terakhir kita. Kita sudah sejauh ini, Damar. Kita tidak bisa mundur sekarang."

Tiba-tiba, sebuah tembakan terdengar dari bawah bukit. Peluru menghantam batu di dekat kaki mereka, membuat mereka berdua terkejut.

"Mereka sudah mulai menembak!" seru Arini, cepat-cepat berlindung di balik batu besar. Damar mengikuti, matanya tajam mengawasi bayangan yang mendekat.

Satu tembakan lagi menyusul, kali ini lebih dekat. Damar mengintip dan melihat beberapa pria bersenjata sedang mendaki bukit, bergerak cepat dengan tujuan jelas: membungkam mereka sebelum data itu bisa keluar.

"Kita harus buat mereka sibuk!" kata Damar sambil melemparkan sebuah batu ke arah para pengejar, berharap itu bisa sedikit mengalihkan perhatian mereka.

Adrian masih sibuk dengan laptopnya. "Hampir selesai... sebentar lagi..." desisnya, keringat mulai mengucur di pelipisnya meski malam terasa sangat dingin.

Arini dan Damar berlari dari satu batu ke batu lain, berusaha mengelak dari tembakan yang mulai lebih sering terdengar. Satu peluru hampir mengenai kaki Arini, membuatnya jatuh tersungkur. Damar dengan cepat menariknya berdiri.

"Kau baik-baik saja?" tanya Damar, napasnya berat.

Arini mengangguk cepat, wajahnya tegang. "Aku baik-baik saja. Kita harus terus maju."

Suara langkah kaki para pengejar semakin dekat. Mereka hanya tinggal beberapa meter di bawah puncak bukit, dan jumlah mereka jelas lebih banyak dari yang Arini dan Damar duga.

"Adrian!" Damar berteriak tanpa memalingkan wajahnya dari para pengejar. "Cepat! Mereka hampir sampai!"

Adrian, dengan gemetar, menyentuh tombol terakhir pada keyboardnya. "Sudah! Data berhasil diunggah!" katanya dengan lega, namun segera diikuti oleh suara ledakan keras dari arah laptopnya.

"Apa yang terjadi?" teriak Arini, melihat asap tipis keluar dari laptop Adrian.

"Mereka mencoba meretas sistem kita," jawab Adrian, menepuk laptop yang sekarang tak lagi berfungsi. "Tapi itu tidak masalah. Data sudah terkirim. Mereka tidak bisa menghentikannya lagi."

Damar memandang ke bawah bukit dan melihat para pengejar sudah semakin mendekat. Mereka tahu bahwa meskipun data sudah terkirim, pengejar tidak akan berhenti begitu saja.

"Kita harus pergi sekarang!" kata Damar. "Mereka akan mencoba menangkap atau membunuh kita. Ini belum berakhir."

Tanpa banyak bicara lagi, mereka bertiga mulai berlari turun ke sisi lain bukit. Langkah mereka cepat, namun terukur, menghindari tanah yang licin dan batu-batu tajam. Di belakang mereka, terdengar suara tembakan dan langkah kaki yang semakin dekat.

"Kita perlu menemukan tempat untuk bersembunyi sampai mereka menyerah!" kata Arini, matanya mencari jalan setapak yang aman di antara pohon-pohon.

Adrian, yang kini membawa laptop rusaknya di tangan, terlihat kelelahan. "Mereka tidak akan menyerah begitu saja. Proyek Oculus terlalu penting bagi mereka. Mereka akan terus mengejar kita sampai kita tak bernyawa."

Damar menoleh dengan cepat. "Maka kita harus menghilang, setidaknya untuk sementara. Kita sudah melakukan bagian kita—sekarang kita butuh waktu."

Arini tahu Damar benar. Mereka sudah melakukan yang terbaik, dan data yang mereka unggah sudah keluar. Tetapi, bahaya masih mengejar mereka. Mereka harus menemukan cara untuk bertahan hidup, agar bisa melihat dampak dari perjuangan mereka dengan mata kepala sendiri.

Mereka terus berlari, menjauh dari puncak bukit yang kini menjadi arena pertempuran kecil antara mereka dan para pengejar. Meski tubuh mereka lelah, semangat mereka tak pernah pudar. Dalam kegelapan malam, di bawah langit yang dipenuhi bintang, mereka tahu bahwa ini adalah akhir dari satu babak, tetapi juga awal dari perjuangan baru.

Dan perjuangan itu masih jauh dari selesai.

Cerita KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang