Malam itu, Arini memandang jauh ke luar jendela ruang perlindungan mereka. Kabut tebal menggantung di langit malam, seakan mencerminkan kaburnya nasib yang mereka hadapi. Dengan ancaman dari proyek "Oculus" yang semakin nyata, waktu yang mereka miliki semakin sedikit. Damar dan Adrian telah tertidur di sofa, kelelahan setelah berhari-hari merencanakan langkah selanjutnya. Tapi Arini tak bisa memejamkan matanya. Di kepalanya, pikiran-pikiran bergulir seperti roda yang tak pernah berhenti berputar.
Sebuah notifikasi ponsel yang tergeletak di meja berbunyi, membuatnya tersentak. Dengan cepat, dia meraih ponsel tersebut dan membaca pesan yang masuk dari kontak rahasia mereka di dalam organisasi.
"Mereka mempercepat jadwal peluncuran Oculus. Dua hari lagi, mereka akan mulai uji coba skala penuh."
Jantung Arini berdetak cepat. Dua hari. Itu jauh lebih cepat dari yang mereka perkirakan. Dengan tangan gemetar, dia memegang ponselnya erat-erat, mencoba mencerna informasi tersebut.
Tak ada waktu untuk menunggu. Arini segera membangunkan Damar dan Adrian. "Bangun, kita harus bergerak sekarang," katanya dengan nada tegas. "Mereka akan meluncurkan Oculus dua hari lagi. Ini lebih cepat dari yang kita duga."
Damar bangun dengan ekspresi terkejut, sementara Adrian hanya duduk sambil mengucek matanya, mencoba memproses informasi yang baru saja mereka terima.
"Dua hari?" gumam Adrian, suaranya terdengar serak. "Itu gila... Kita bahkan belum selesai menyusun rencana."
"Kita tidak punya pilihan," kata Arini dengan tegas. "Jika kita menunggu lebih lama, segalanya akan terlambat. Begitu Oculus aktif, mereka bisa mengendalikan apa saja—dan kita tidak akan bisa menghentikan mereka."
Damar menatap layar ponselnya sejenak, lalu bangkit berdiri. "Kalau begitu kita lakukan saja sekarang. Kita mulai dengan apa yang kita punya. Kumpulkan semua orang yang bisa kita hubungi. Kita sebar informasi ini secepat mungkin."
Arini mengangguk, sementara Adrian mulai membuka laptopnya untuk menghubungi jaringan kontak mereka. "Kita perlu menyusun pesan yang kuat. Informasi ini harus mengguncang publik, membuat mereka sadar betapa besar bahaya yang kita hadapi."
Selama beberapa jam berikutnya, mereka bekerja tanpa henti. Setiap jaringan media, setiap aktivis, setiap kontak yang mungkin bisa membantu, mereka hubungi. Informasi tentang proyek Oculus mulai disebarkan, perlahan-lahan menyebar ke seluruh penjuru dunia maya. Di antara rasa lelah, mereka masih merasa ada harapan—meskipun tipis.
Pagi mulai menyingsing ketika mereka selesai menyusun strategi. Langit yang semula gelap kini mulai menunjukkan semburat oranye, tapi tak ada yang merasa lega. Arini tahu bahwa meskipun publik mulai mengetahui tentang proyek ini, masih ada satu hal yang lebih penting: mereka harus menghentikan uji coba Oculus.
"Kita harus menemukan cara untuk masuk ke fasilitas mereka," kata Damar, memecah keheningan. "Kita tidak bisa hanya berharap mereka berhenti karena tekanan publik. Mereka pasti akan terus maju. Jika kita tidak menghentikannya secara langsung, semua usaha kita sia-sia."
Adrian mengangguk setuju. "Aku setuju. Kita butuh strategi masuk. Ada kemungkinan besar fasilitas itu dijaga ketat, dan kita tidak punya banyak waktu."
Arini berpikir sejenak sebelum berkata, "Kita perlu menemukan celah. Ada satu cara yang mungkin bisa kita coba—jaringan internal mereka. Jika kita bisa masuk ke sistem, kita bisa sabotase dari dalam."
"Tapi itu berisiko," kata Damar. "Mereka pasti sudah meningkatkan keamanan setelah serangan kita yang terakhir."
Adrian membuka beberapa file di laptopnya. "Aku bisa coba menghubungi salah satu sumberku di dalam. Mungkin dia bisa memberikan akses."
Sementara Adrian mulai menghubungi sumbernya, Arini dan Damar terus menyusun rencana. Mereka tahu bahwa ini akan menjadi misi paling berbahaya yang pernah mereka lakukan. Jika mereka gagal, tidak hanya mereka yang akan terancam, tetapi juga seluruh dunia.
Tak lama kemudian, Adrian mendapatkan balasan. "Kontakku mengatakan ada celah kecil dalam sistem mereka yang bisa kita manfaatkan. Tapi kita harus bertindak cepat. Dia hanya bisa menjamin celah itu terbuka untuk beberapa jam ke depan."
Arini menatap Adrian dengan tatapan penuh tekad. "Kalau begitu kita bergerak sekarang."
Mereka segera mempersiapkan diri. Setiap langkah yang mereka ambil terasa seperti berjalan di atas jurang. Satu kesalahan kecil bisa membuat segalanya berantakan. Namun, tidak ada waktu untuk ragu. Mereka harus melangkah maju, apa pun risikonya.
Malam berikutnya, dengan suasana mencekam, Arini, Damar, dan Adrian mendekati fasilitas rahasia di mana Oculus akan diuji coba. Fasilitas itu berada di tengah hutan terpencil, jauh dari hiruk pikuk kota. Di kejauhan, lampu-lampu dari menara pengawas terlihat jelas, seakan mengawasi setiap sudut tempat tersebut.
"Ini dia," bisik Arini sambil memeriksa peta digital yang mereka dapatkan dari kontak di dalam. "Jalan masuk ada di sisi timur, dan kita harus melewati setidaknya dua lapisan keamanan."
Damar mengangguk, menggenggam erat alat yang akan mereka gunakan untuk masuk ke sistem. "Kita sudah melangkah sejauh ini. Tidak ada jalan untuk kembali."
Mereka bergerak cepat dan diam-diam, memanfaatkan kegelapan malam untuk menyelinap ke dalam fasilitas. Setiap detik terasa begitu lambat, setiap bunyi membuat jantung mereka berdetak lebih cepat. Tapi mereka tetap fokus pada tujuan mereka—menghentikan Oculus sebelum terlambat.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, mereka berhasil mencapai pusat kendali. Arini segera memasang perangkat yang mereka bawa ke dalam terminal sistem utama, berharap koneksi yang dijanjikan oleh kontak mereka masih terbuka.
Namun, ketika layar menyala, mereka menyadari sesuatu yang mengejutkan—mereka telah terjebak.
Alarm mulai berbunyi di seluruh fasilitas.
4o
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kita
RomanceSetelah bertahun-tahun berpisah, Damar dan Arini tak sengaja bertemu kembali di tempat yang penuh kenangan-sebuah danau yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka yang dulu. Di tengah keheningan senja, mereka dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah...