Jejak-jejak yang Tersisa

3 2 0
                                    

Seminggu telah berlalu sejak pertemuan pertama mereka di kafe. Damar dan Arini sepakat untuk tidak terlalu terburu-buru dalam menjalin kembali hubungan mereka. Namun, selama hari-hari itu, ada sebuah keinginan yang tak tertahankan dalam hati Damar—keinginan untuk mengenang masa lalu dengan Arini, untuk mengunjungi tempat-tempat yang dulu menjadi bagian dari kisah mereka.

Pagi itu, Damar menelepon Arini. "Hai, aku tahu ini mendadak, tapi bagaimana kalau kita pergi ke taman kota hari ini? Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu."

Arini terdiam sejenak, mencoba menebak maksud Damar. Namun, rasa penasaran dan nostalgia mengalahkan keraguannya. "Baiklah, jam berapa kita bertemu?"

"Sekitar jam tiga sore di gerbang utama," jawab Damar.

Setelah menutup telepon, Damar merasa gugup sekaligus bersemangat. Taman kota bukanlah tempat sembarangan bagi mereka berdua; itu adalah tempat di mana mereka sering menghabiskan waktu bersama dulu, berbagi tawa, dan memikirkan masa depan yang kini terasa begitu jauh.

Saat sore tiba, Damar dan Arini bertemu di gerbang utama taman. Mereka berdiri sejenak di sana, membiarkan kenangan lama merasuk sebelum melangkah masuk. Taman itu tidak banyak berubah—jalur setapak yang mengular di antara pepohonan rindang, bangku-bangku kayu yang tersebar di sana-sini, dan danau kecil di tengahnya yang menjadi pusat perhatian.

Mereka berjalan berdampingan, tetapi kali ini suasananya berbeda dari pertemuan sebelumnya. Ada kehangatan yang nyaman di antara mereka, seolah-olah kedekatan lama mereka mulai kembali. Namun, di balik senyuman mereka, ada banyak hal yang belum diungkapkan—pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, perasaan yang masih samar.

"Kamu ingat tempat ini?" tanya Damar dengan suara lembut, menunjuk ke sebuah bangku di dekat danau. "Di sini kita pernah berbicara tentang mimpi-mimpi kita. Kita begitu yakin saat itu, bukan?"

Arini mengangguk, matanya menatap jauh ke danau yang tenang. "Aku ingat. Kita selalu duduk di sini setelah berjalan-jalan di taman, berbicara tentang segala hal. Dunia terasa lebih sederhana saat itu."

Damar duduk di bangku itu, mengisyaratkan Arini untuk duduk di sebelahnya. "Aku sering kembali ke sini setelah kita berpisah. Rasanya seperti aku mencari sesuatu yang hilang, meskipun aku tahu itu tidak akan ada di sini. Tapi entah bagaimana, duduk di sini membuatku merasa lebih dekat denganmu, meskipun hanya dalam ingatan."

Arini duduk di samping Damar, merasakan nostalgia yang sama. "Aku juga merindukan saat-saat itu. Tapi seiring waktu berlalu, aku sadar bahwa ada banyak hal yang kita abaikan—banyak hal yang tidak pernah kita bicarakan."

Damar menatap Arini, menyadari bahwa inilah momen yang tepat untuk membuka diri. "Arini, aku ingin jujur. Aku tahu kita berusaha untuk memperbaiki semuanya, tapi ada bagian dari diriku yang masih ragu, yang takut kita akan mengulangi kesalahan yang sama. Apakah kamu merasakan hal yang sama?"

Arini terdiam sejenak sebelum menjawab. "Iya, Damar. Aku juga merasakan itu. Tapi mungkin itu wajar, mengingat apa yang telah kita lalui. Aku pikir, rasa takut itu adalah bagian dari proses ini—sebuah pengingat agar kita lebih berhati-hati kali ini."

Damar mengangguk setuju. "Aku juga berpikir begitu. Tapi aku percaya bahwa jika kita bisa terus terbuka dan jujur satu sama lain, kita bisa mengatasi rasa takut itu."

Mereka terdiam, membiarkan kata-kata mereka meresap. Tangan Damar tanpa sadar meraih tangan Arini, menggenggamnya dengan lembut. Arini tidak menolak, dan mereka duduk dalam keheningan, merasakan koneksi yang perlahan terbentuk kembali.

Setelah beberapa saat, Arini berbicara lagi. "Damar, aku tahu kita sedang mencoba memperbaiki hubungan ini. Tapi ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu. Dulu, ketika kita masih bersama, aku sering merasa tertekan karena harapan yang kita buat bersama. Aku tidak pernah mengatakan ini padamu, karena aku tidak ingin mengecewakanmu. Tapi aku merasa kita terlalu banyak menuntut dari satu sama lain."

Damar mendengarkan dengan seksama. "Aku mengerti. Aku juga merasa demikian, meskipun aku tidak pernah mengakuinya. Kita terlalu fokus pada apa yang seharusnya terjadi, sampai-sampai kita melupakan apa yang sebenarnya kita inginkan."

Arini tersenyum kecil. "Tapi sekarang, kita punya kesempatan untuk melakukan semuanya dengan cara yang berbeda. Mungkin kali ini, kita harus lebih fleksibel, lebih menerima bahwa tidak semua hal akan berjalan sesuai rencana."

"Ya," jawab Damar. "Kita tidak perlu memaksakan diri untuk menjadi sempurna. Yang penting adalah kita saling mendukung dan berusaha untuk saling memahami."

Mereka berbicara lebih lama, membahas hal-hal yang dulu sering mereka abaikan. Percakapan itu membawa mereka lebih dekat, bukan hanya sebagai sepasang kekasih yang mencoba kembali, tetapi sebagai dua individu yang berusaha untuk lebih mengenal diri mereka sendiri dan satu sama lain.

Saat senja mulai turun, mereka beranjak dari bangku itu dan berjalan menuju sebuah jembatan kecil yang melintasi danau. Arini berhenti sejenak di tengah jembatan, memandang air yang tenang di bawahnya.

"Damar, ada satu hal lagi yang ingin aku katakan," kata Arini, suaranya penuh keseriusan. "Aku tidak ingin kita terburu-buru. Aku tahu kita punya sejarah bersama, tapi aku ingin kita membangun sesuatu yang baru, bukan sekadar mencoba menghidupkan kembali masa lalu."

Damar menatap Arini dengan penuh rasa hormat. "Aku setuju. Kita tidak perlu berlari, Arini. Kita bisa mengambil waktu kita, dan jika kita melakukannya dengan benar, kita akan menemukan cara untuk membuat hubungan ini bekerja."

Arini tersenyum, merasa lega mendengar jawaban Damar. "Terima kasih, Damar. Aku merasa lebih baik mengetahui bahwa kita sejalan dalam hal ini."

Mereka terus berjalan hingga matahari terbenam, membiarkan keindahan alam mengisi keheningan di antara mereka. Tangan mereka masih saling menggenggam, memberikan dukungan tanpa kata.

Malam itu, mereka berpisah dengan perasaan yang lebih ringan. Meski masih banyak hal yang harus mereka lalui, mereka tahu bahwa langkah-langkah kecil ini adalah awal yang baik. Mereka tidak lagi terburu-buru untuk mencapai tujuan; mereka ingin menikmati setiap momen yang mereka miliki, membiarkan hubungan mereka berkembang dengan alami.

Di tengah perjalanan pulang, Damar merenungkan semua yang terjadi hari itu. Ada perasaan puas yang menyelimuti dirinya—perasaan bahwa meskipun perjalanan ini panjang dan mungkin penuh tantangan, dia tidak lagi berjalan sendirian. Arini ada di sisinya, dan bersama-sama, mereka akan menemukan cara untuk menulis babak baru dalam cerita mereka.

Cerita KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang