Mimpi yang Retak

0 0 0
                                    

Malam itu, setelah berhasil menghancurkan sistem pengawasan pusat organisasi, Arini dan Damar duduk di ruang perlindungan mereka yang sunyi. Hanya ada suara angin yang berhembus lembut di luar jendela, tapi suasana hati mereka tidak setenang malam yang menyelimuti. Meski misi mereka berhasil, perasaan campur aduk masih menghantui mereka.

"Apa menurutmu semua ini sudah berakhir?" tanya Damar dengan nada penuh keraguan, matanya menatap ke langit-langit, seakan mencari jawaban di sana.

Arini terdiam sejenak, menyesap teh hangat yang sudah dingin di tangannya. "Aku ingin percaya bahwa kita sudah melakukan hal yang benar, tapi entah kenapa aku merasa ada yang belum selesai."

Mata Damar beralih kepada Arini, yang tampak termenung. "Kau merasa mereka masih bisa kembali?"

Arini menghela napas. "Mungkin bukan hanya itu. Kita berhasil merusak sistem mereka, tapi seperti yang kita tahu, organisasi sebesar ini tidak akan menyerah begitu saja. Mereka akan mencari cara lain."

Sebelum Damar sempat menjawab, pintu terbuka dan Adrian masuk dengan wajah tegang. "Kita punya masalah," katanya tanpa basa-basi.

"Kita baru saja berhasil menghancurkan sistem mereka, apa lagi sekarang?" tanya Damar, keningnya berkerut.

Adrian menyerahkan sebuah tablet kepada Arini. "Kontak kita di dalam memberi tahu bahwa organisasi telah memindahkan sebagian besar operasinya ke lokasi lain, bahkan sebelum kita menyerang. Mereka sepertinya sudah tahu kita akan datang."

Arini memandangi layar tablet itu dengan rasa tidak percaya. "Ini tidak mungkin... mereka seharusnya tidak tahu langkah kita."

"Mereka terlalu cepat untuk hanya sekedar bertindak defensif," kata Adrian. "Mereka sudah siap dengan rencana cadangan. Dan sekarang kita tahu apa yang sedang mereka siapkan—mereka sedang mengembangkan teknologi baru yang jauh lebih kuat daripada sebelumnya. Mereka tidak membutuhkan sistem pengawasan lama itu lagi."

Damar menelan ludah. "Jadi, semua yang kita lakukan tidak menghentikan mereka?"

Adrian mengangguk. "Setidaknya, tidak menghentikan tujuan utama mereka. Yang kita lakukan hanya menunda waktu."

Arini merasakan dadanya menegang. Semua usaha, semua resiko yang telah mereka ambil—semua itu ternyata hanya permulaan. "Apa yang mereka siapkan sekarang?"

Adrian mengetuk layar tablet itu, menunjukkan peta digital yang menampilkan markas baru yang sedang dibangun. "Ini adalah proyek yang lebih besar. Organisasi tersebut mengalihkan fokus mereka untuk menciptakan sebuah pusat kendali global, memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan untuk mengintegrasikan seluruh sistem mereka dalam satu kendali. Mereka sedang membangun 'Oculus.'"

"Oculus?" tanya Damar, bingung.

Adrian menjelaskan, "Ini adalah jaringan superkomputer yang akan mengontrol segala sesuatu—dari ekonomi hingga militer. Bayangkan sebuah entitas yang bisa mengetahui segala sesuatu yang terjadi di dunia dalam sekejap, dan bisa mengendalikan keputusan dari jarak jauh."

Arini merasa perutnya melilit mendengar penjelasan itu. "Jadi ini lebih buruk dari yang kita duga. Mereka bukan hanya ingin memanipulasi informasi; mereka ingin memiliki kendali total atas dunia."

Suasana hening, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri tentang besarnya ancaman yang ada di hadapan mereka. Damar mengusap wajahnya dengan kedua tangan, seakan mencoba menghilangkan rasa lelah dan ketakutan yang mulai menggerogoti semangatnya. "Kita harus menghentikan mereka sebelum Oculus selesai."

"Tapi bagaimana? Ini jelas lebih besar dan lebih terorganisir dari sebelumnya. Kita bahkan tidak tahu dari mana memulainya," kata Adrian dengan nada khawatir.

Arini berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir. Otaknya berputar cepat, mencoba menemukan jalan keluar. "Kita tidak bisa menyerang langsung seperti sebelumnya. Mereka akan lebih waspada."

Damar berpikir sejenak sebelum menatap Adrian dan Arini dengan keyakinan baru di matanya. "Kita perlu bantuan. Lebih banyak dari sebelumnya. Kita perlu menggalang kekuatan—media, aktivis, siapa pun yang punya kepentingan dalam melawan organisasi ini. Kalau kita bisa mengungkap skandal Oculus sebelum selesai, kita punya kesempatan untuk menghentikan mereka."

Adrian mengangguk pelan, "Kau benar. Kali ini kita tidak bisa bergerak sendirian. Kita harus menyebarkan informasi ini ke publik sebanyak mungkin."

Arini berhenti berjalan, menatap kedua rekannya. "Kalau begitu, kita mulai dari sini. Kita kumpulkan bukti lebih banyak. Kita mulai membangun aliansi, dan yang terpenting, kita harus tetap melindungi diri."

Bayu kemudian masuk, membawa beberapa catatan yang baru ia cetak. "Ada satu hal lagi yang perlu kalian tahu," katanya serius. "Menurut kontak kita, Oculus juga melibatkan pihak militer. Mereka berencana untuk mengendalikan sistem pertahanan negara dengan teknologi ini."

Arini merasa tenggorokannya kering. "Jika mereka berhasil, kita akan kehilangan segalanya."

"Dan itu artinya," tambah Damar, "Kita tidak punya waktu lama."

Dengan semangat yang baru, tim tersebut mulai menyusun rencana besar untuk menghadapi ancaman yang bahkan lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan. Mereka tahu, perjuangan mereka belum selesai, bahkan mungkin baru saja dimulai. Mereka kini harus menghadapi musuh yang bukan hanya ingin menguasai dunia informasi, tapi juga seluruh aspek kehidupan manusia.

Langkah mereka selanjutnya bukan lagi sekedar perlawanan sembunyi-sembunyi, melainkan perang terbuka yang akan menguji batas kemampuan, keberanian, dan pengorbanan mereka.

Dalam hati kecilnya, Arini merasa takut. Tapi lebih dari itu, dia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan masa depan.

4o

Cerita KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang