Dalam Bayangan

0 0 0
                                    

Saat pintu perlahan terbuka, ketegangan di udara begitu tebal sehingga setiap orang di dalam markas merasakannya. Arini berdiri di depan pintu, menatap langsung ke arah orang-orang yang baru saja keluar dari mobil hitam di luar. Damar berdiri di belakangnya, menjaga jarak, namun siap bereaksi cepat jika sesuatu terjadi.

Tiga pria berpakaian serba hitam berdiri di luar. Salah satu dari mereka maju selangkah, tubuhnya tegap, dan wajahnya keras tanpa ekspresi. Di bawah bayangan lampu jalan yang redup, kilatan hujan di sekelilingnya membuat mereka tampak semakin mengancam. "Kami datang untuk berbicara," kata pria itu dengan suara rendah namun jelas.

Arini tidak membalas langsung. Dia tahu, meskipun kata-kata itu terdengar tenang, ada ancaman yang tersembunyi di dalamnya. Setelah sekian lama menghadapi tekanan, dia paham bahwa musuh mereka tidak akan datang hanya untuk berbicara.

"Bicara apa?" tanya Arini, berusaha menjaga ketenangan dalam suaranya.

"Kesempatan terakhir," pria itu melanjutkan, tanpa sedikit pun perubahan dalam nada bicaranya. "Kalian sudah terlalu jauh. Kami tahu apa yang kalian miliki, dan kami tahu siapa kalian bekerja sama. Tapi kalian masih bisa menyelamatkan diri kalian sendiri."

Arini tertawa kecil, meskipun rasa takut terus mengendap dalam dirinya. "Kesempatan terakhir untuk apa? Menyerah? Membiarkan kalian melanjutkan apa yang sudah kalian lakukan tanpa halangan?"

Pria itu tersenyum tipis, namun tatapannya tetap dingin. "Kami memberi kalian pilihan yang baik. Serahkan semua data yang kalian miliki, dan kalian bisa keluar dari ini dengan aman. Kalian bahkan bisa melupakan semuanya. Hidup kalian bisa kembali normal."

"Kembali normal?" potong Damar yang akhirnya berbicara, nadanya tajam. "Kalian menghancurkan kehidupan ribuan orang, mengawasi, dan memanipulasi mereka, lalu kalian pikir kami akan menyerah begitu saja dan hidup normal?"

Pria itu melipat tangannya di dada, tampak tidak terganggu oleh konfrontasi itu. "Kalian tidak paham betapa besar kekuatan yang kalian hadapi. Ini bukan soal kalian atau kami. Ini soal menjaga keseimbangan yang sudah lama ada. Kalian tidak akan bisa menghancurkannya."

Arini mengambil napas dalam-dalam, matanya tajam menatap ke arah pria di depannya. "Kami tidak peduli dengan keseimbangan yang kalian bicarakan. Kami peduli pada kebenaran. Dan kebenaran itu, tidak bisa kalian kontrol selamanya."

Pria itu berhenti sejenak, lalu menundukkan kepala sedikit, seolah-olah sedang memikirkan kata-katanya berikutnya. "Kalian masih punya waktu untuk berpikir ulang," katanya pelan. "Kami akan memberikan kalian malam ini untuk memutuskan. Jika besok pagi data itu tidak ada di tangan kami, kami akan mengambil langkah lain. Dan percayalah, kalian tidak ingin tahu apa itu."

Setelah mengatakan itu, pria itu berbalik dan melangkah menjauh. Dua pria lainnya mengikutinya tanpa sepatah kata pun. Arini tetap diam di pintu, matanya mengikuti mereka hingga mereka masuk kembali ke mobil hitam mereka dan pergi ke dalam kegelapan.

Ketika suara mesin mobil perlahan-lahan memudar, suasana di dalam markas kembali dipenuhi kecemasan yang berat. Arini menutup pintu dan memutar badannya menghadap timnya. "Kita tahu mereka tidak akan membiarkan kita pergi dengan mudah," katanya. "Dan kita juga tahu kita tidak akan menyerahkan apa yang kita miliki."

"Benar," Damar menyetujui. "Kalau mereka pikir kita akan mundur hanya karena ancaman, mereka salah besar."

Bayu, yang sejak tadi tidak banyak bicara, tiba-tiba bersuara dari sudut ruangan. "Mereka pasti sudah menyiapkan sesuatu. Sistem keamanan kita masih utuh, tapi aku punya firasat mereka akan menyerang dari arah yang tidak terduga."

"Bagaimana jika mereka menggunakan cara lain? Bukan serangan langsung, tapi mereka mencoba menjatuhkan kita dari dalam," ujar Adrian, memecahkan keheningan.

Arini mengangguk. "Itu mungkin. Mereka tahu kita terlalu waspada terhadap serangan fisik. Tapi jika mereka bisa menekan kita secara psikologis, atau memanipulasi orang di sekitar kita, mereka bisa membuat kita runtuh dari dalam."

"Aku setuju," kata Bayu. "Mereka mungkin akan mencoba merusak kepercayaan kita satu sama lain, atau bahkan mengadu kita dengan pihak berwenang. Mereka tahu bagaimana memainkan informasi."

Arini berjalan ke tengah ruangan, merasakan ketegangan di antara mereka semua. "Kita sudah berjalan terlalu jauh untuk mundur sekarang. Apapun yang mereka lakukan, kita harus tetap bersama."

Malam itu, tidak ada yang bisa tidur. Setiap suara dari luar, setiap kilatan cahaya dari hujan yang menerpa kaca jendela, membuat mereka semakin waspada. Pikiran bahwa mereka sedang diawasi terus menghantui, dan mereka tahu bahwa musuh sedang merencanakan langkah berikutnya.

Di ruangan yang gelap dan sunyi, Arini duduk di depan laptopnya, melihat ke layar yang penuh dengan data. Dia tahu bahwa keputusan yang mereka ambil malam ini akan menentukan nasib mereka. Jika mereka mundur, semua yang telah mereka perjuangkan akan sia-sia. Tetapi jika mereka melanjutkan, ancaman itu akan semakin nyata.

Sambil memandangi deretan angka dan laporan yang terpampang di layar, Arini merasakan hatinya dipenuhi oleh tekad yang kuat. Dia telah kehilangan terlalu banyak untuk menyerah sekarang. Apa pun yang akan terjadi, mereka akan terus maju. Kebenaran harus terungkap.

Dengan gemetar, dia mengetik pesan singkat kepada timnya.

"Apapun yang terjadi, kita tidak boleh mundur. Kita sudah memilih jalan ini."

Pesan itu singkat, tapi cukup untuk menguatkan semua orang. Mereka saling melihat, memberikan anggukan tegas tanpa kata. Mereka tahu, dalam beberapa jam ke depan, segalanya akan berubah. Musuh sudah semakin dekat, dan mereka harus siap menghadapi badai yang lebih besar dari sebelumnya.

4o

Cerita KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang