Perangkap yang Tak Terduga

0 0 0
                                    

Alarm yang menggema di seluruh fasilitas membuat jantung Arini, Damar, dan Adrian berhenti sejenak. Di layar komputer pusat kendali, mereka melihat tulisan merah besar muncul: PERINGATAN: AKSES TIDAK SAH. Sesuatu yang salah, sangat salah. Mereka telah jatuh ke dalam perangkap.

"Ini jebakan," bisik Adrian, wajahnya pucat. "Mereka tahu kita akan datang."

Damar segera mencabut perangkat dari terminal, tapi sudah terlambat. Suara langkah kaki semakin mendekat, dan mereka tahu pasukan keamanan akan segera tiba. Waktu seolah berjalan begitu cepat, tapi otak Arini berputar mencari cara untuk keluar dari situasi ini.

"Kita harus pergi sekarang!" teriak Arini dengan panik, mengambil tasnya dan mulai bergerak menuju pintu keluar.

Adrian melihat ke sekeliling ruangan, matanya penuh kekhawatiran. "Pintu utama sudah terkunci. Mereka pasti akan masuk lewat koridor timur. Kita butuh jalan keluar lain!"

Damar menatap Arini dengan cepat. "Pintu belakang! Kita bisa coba lewat sana, sebelum mereka memblokir semua jalan keluar."

Tanpa membuang waktu, mereka segera berlari menuju pintu belakang, melewati lorong-lorong sempit yang dipenuhi suara dengungan alarm. Saat mereka mendekati pintu belakang, Arini merasakan sesuatu yang berat di dadanya. Mereka sudah begitu dekat dengan misi ini, namun sekarang situasi berbalik dengan begitu cepat.

Namun ketika mereka tiba di pintu belakang, ada hal yang tak terduga menanti mereka. Pintu tersebut juga telah dikunci dari luar. Adrian segera mendekati panel kontrol di dekat pintu dan mencoba meretasnya, tapi wajahnya tampak semakin panik ketika dia melihat bahwa sistem keamanan sudah diperbarui. "Aku tidak bisa membukanya dari sini. Sistem mereka sudah mengunci semuanya."

Arini melihat ke sekeliling dengan putus asa, mencoba menemukan alternatif. "Kalau begitu kita harus mencari tempat untuk bersembunyi sementara. Kita tidak bisa melawan mereka di sini."

Damar mengangguk setuju. "Ayo, ikuti aku." Dia mengarahkan mereka ke ruangan kecil di sebelah, yang tampaknya adalah ruang penyimpanan. Mereka masuk dan menutup pintu dengan hati-hati, menahan napas dalam kesunyian, hanya berharap mereka bisa lolos dari deteksi.

Di luar, langkah kaki pasukan keamanan semakin dekat. Mereka bisa mendengar suara orang-orang yang sedang berbicara melalui radio, memberi perintah untuk menyisir seluruh fasilitas. Ruangan tempat mereka bersembunyi begitu gelap, hanya diterangi sedikit cahaya dari panel-panel mesin yang ada di dalamnya.

Arini bisa merasakan napas Damar yang berat di sebelahnya. "Kita harus berpikir cepat," bisiknya pelan. "Mereka tidak akan berhenti mencari kita. Kalau kita tertangkap di sini, segalanya selesai."

Adrian menyeka keringat dari dahinya. "Kita perlu gangguan. Kalau kita bisa membuat mereka berpikir kita berada di tempat lain, mungkin kita bisa melarikan diri."

Damar memikirkan ide tersebut sejenak sebelum mengeluarkan ponselnya. "Aku bisa membuat pengalihan di bagian lain fasilitas ini. Jika kita bisa mengaktifkan alarm di sana, mereka mungkin akan berpikir kita ada di sana."

Arini mengangguk. "Lakukan."

Dengan cepat, Damar mulai mengakses jaringan internal fasilitas menggunakan perangkat yang tersisa. Meski keamanan di pusat kendali diperketat, dia masih bisa mengakses sistem lain yang lebih rendah keamanannya. Setelah beberapa saat, dia berhasil memicu alarm di salah satu bagian terpencil fasilitas.

Dari luar, mereka mendengar suara orang-orang yang berteriak, mengalihkan fokus mereka ke arah lain. "Mereka menggigit umpannya," kata Adrian dengan senyum kecil di wajahnya.

Tapi Arini tetap waspada. "Kita hanya punya sedikit waktu sebelum mereka menyadari kita masih di sini. Ayo, kita keluar sekarang."

Mereka membuka pintu ruangan penyimpanan dan menyelinap keluar dengan cepat, mengikuti lorong-lorong gelap yang sekarang sebagian besar ditinggalkan oleh pasukan keamanan yang terpancing ke arah lain. Tapi ketegangan belum berakhir. Mereka harus tetap bergerak dengan cepat dan tenang, karena satu kesalahan saja bisa membawa mereka langsung ke dalam tangan musuh.

Setelah beberapa menit yang menegangkan, mereka menemukan jalan keluar darurat yang tidak dijaga. Arini memeriksa pintu tersebut sebelum membuka, dan dengan hati-hati memastikan bahwa tidak ada jebakan lain yang menunggu mereka di luar.

"Kita harus keluar dari sini dan kembali ke tempat aman," kata Damar sambil melihat ke sekitar, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka.

Namun, begitu mereka melangkah keluar dari fasilitas, ada suara lain yang memecah keheningan malam.

"Kalian tidak akan ke mana-mana."

Suara itu membuat mereka semua berhenti seketika. Di hadapan mereka berdiri seorang pria berjas hitam, dengan senyuman dingin di wajahnya. Pria itu ditemani oleh beberapa penjaga bersenjata, semuanya tampak siap untuk menangkap mereka.

Adrian menatap pria itu dengan ekspresi ketakutan. "Siapa kau?"

Pria itu tersenyum lebih lebar, tatapannya menusuk. "Aku bagian dari proyek ini. Dan kalian—kalian hanya pengganggu kecil yang akan segera dibereskan."

Arini merasa jantungnya berdebar kencang, tapi dia tidak mau menunjukkan kelemahan. "Apa yang kau inginkan?"

Pria itu mendekat, suaranya merendah. "Aku hanya ingin memberitahu kalian bahwa perjuangan kalian sia-sia. Oculus akan diluncurkan, dan tak ada yang bisa kalian lakukan untuk menghentikannya."

Dengan tekad yang semakin menguat, Arini balas menatap pria itu dengan penuh amarah. "Kau salah. Kami sudah menyebarkan cukup banyak informasi. Publik akan mengetahui apa yang kalian lakukan."

Pria itu tertawa kecil, suaranya terdengar begitu meremehkan. "Publik? Kalian benar-benar berpikir informasi yang kalian sebar akan mengubah sesuatu? Kekuatan kami jauh lebih besar daripada yang bisa kalian bayangkan."

Namun, sebelum Arini sempat menjawab, Damar bergerak cepat. Dia meraih sebuah alat kecil dari tasnya dan melemparkannya ke arah pria itu. Ledakan kecil terjadi, menciptakan kilatan cahaya yang membutakan.

"Ayo lari!" teriak Damar.

Tanpa berpikir dua kali, mereka bertiga berlari sekuat tenaga ke arah hutan, meninggalkan fasilitas di belakang mereka.

4o

Cerita KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang