Di tengah malam yang sunyi, Arini dan Damar dibawa ke sebuah gedung tua yang tidak mereka kenali. Tangan mereka diikat, dan mereka dijaga ketat oleh sekelompok pria berseragam hitam. Mereka diapit dari kedua sisi, dibawa melalui lorong-lorong gelap yang seakan memakan suara langkah mereka. Setiap detik berlalu terasa seperti beban yang semakin menekan dada mereka.
Ketika mereka akhirnya sampai di sebuah ruangan besar, pintu ditutup rapat di belakang mereka. Di dalam ruangan itu, hanya ada satu sumber cahaya: sebuah lampu gantung yang menggantung rendah, menciptakan bayangan panjang di sekitar mereka. Di ujung ruangan, seorang pria duduk di kursi dengan sikap santai, seolah-olah dia telah menunggu mereka.
Pria itu, yang tampak berusia pertengahan empat puluhan, menatap mereka dengan mata tajam. Wajahnya penuh dengan kepercayaan diri, seolah-olah dia sudah menguasai situasi. "Selamat datang," katanya dengan suara tenang namun mengandung ancaman tersembunyi. "Saya yakin kalian tahu mengapa kalian di sini."
Arini menahan napas, mencoba menyusun kata-kata dalam pikirannya. "Kami tahu apa yang kalian lakukan," katanya dengan suara gemetar, tapi tekadnya jelas. "Kalian mencoba mengendalikan informasi dan memanipulasi kehidupan orang-orang. Kami tidak akan membiarkan itu."
Pria itu tersenyum sinis, menggelengkan kepalanya. "Oh, kalian ini begitu naif. Kalian pikir bisa menghentikan sesuatu yang sudah berjalan selama bertahun-tahun? Kalian hanya setitik pasir di tengah gurun yang luas."
Damar melangkah maju, meskipun kedua tangannya masih terikat. "Kami mungkin kecil, tapi kami tidak akan berhenti. Apa yang kalian lakukan itu salah, dan orang-orang berhak tahu kebenarannya."
Pria itu berdiri dari kursinya, berjalan mendekati mereka dengan langkah yang lambat dan penuh perhitungan. "Kebenaran? Kalian pikir kebenaran itu penting? Yang penting adalah siapa yang memegang kendali. Dan saat ini, aku yang memegang kendali."
Arini menatap mata pria itu, mencoba mencari celah dalam kesombongannya. "Kalian mungkin bisa menahan kami, tapi informasi sudah bocor. Dunia akan tahu apa yang kalian lakukan. Dan saat itu terjadi, kalian tidak akan bisa bersembunyi."
Pria itu tertawa kecil, lalu mengangkat tangan sebagai isyarat kepada para pengawalnya. "Bawa mereka ke ruang tahanan. Kita lihat berapa lama semangat mereka bisa bertahan."
Arini dan Damar digiring keluar dari ruangan itu, dibawa melalui lorong-lorong sempit hingga tiba di sebuah ruang bawah tanah. Ruangan itu dingin, lembab, dan hanya diterangi oleh cahaya lampu neon yang berkedip-kedip. Mereka didorong masuk ke dalam sel kecil dan pintu besi tebal segera dikunci dari luar.
Dalam keheningan yang menyesakkan, Arini dan Damar duduk di lantai yang dingin. Wajah mereka penuh dengan kelelahan, tetapi mata mereka masih menyiratkan harapan yang tak tergoyahkan.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Arini dengan suara lirih, menatap Damar dengan cemas.
Damar menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan kegelisahan yang semakin memuncak. "Kita harus mencari cara untuk keluar dari sini dan memastikan bahwa informasi itu tidak hanya berhenti di kita. Kita perlu mencapai Adrian dan memberitahunya bahwa kita tertangkap. Dia pasti punya rencana cadangan."
Arini memandang sekeliling sel yang sempit itu, mencari apa pun yang bisa membantu mereka. Namun, tidak ada apa pun di dalam sel itu selain dinding batu yang kokoh dan pintu besi yang tebal. "Bagaimana caranya? Mereka sudah memblokir semua akses kita."
Damar berpikir keras, matanya terus mencari sesuatu yang mungkin terlewatkan. Akhirnya, dia menatap ke langit-langit sel, di mana ada lubang kecil yang mungkin menjadi saluran udara. "Kita harus mencari cara untuk menarik perhatian seseorang di luar gedung ini. Mungkin ada yang bisa membantu kita."
Arini mengangguk, meskipun dia tahu bahwa itu adalah harapan tipis. "Kita harus mencoba. Apa pun caranya."
Mereka mulai merencanakan pelarian mereka dengan cermat. Damar mengamati dinding batu dengan seksama, mencari retakan atau titik lemah yang mungkin bisa mereka manfaatkan. Arini mencoba mencari alat atau benda apa pun di dalam sel yang bisa digunakan sebagai senjata atau alat untuk melarikan diri.
Namun, beberapa jam berlalu tanpa ada perkembangan berarti. Rasa frustasi mulai menguasai mereka, tetapi Damar tidak mau menyerah. "Mereka pasti akan memindahkan kita ke tempat lain, atau setidaknya membawa kita keluar dari sel ini untuk diinterogasi lagi. Saat itu, kita harus siap."
Arini mengangguk, berusaha mempertahankan semangatnya. "Kita hanya perlu menunggu kesempatan itu. Ketika mereka lengah, kita akan bertindak."
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar mendekat ke sel mereka. Arini dan Damar langsung berdiri, bersiap untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Pintu sel terbuka, dan dua penjaga masuk untuk membawa mereka ke ruangan lain.
"Ini kesempatan kita," bisik Damar kepada Arini saat mereka digiring keluar.
Mereka dibawa melalui koridor panjang dan akhirnya tiba di sebuah ruangan interogasi. Di dalam ruangan itu, pria yang sama dengan sebelumnya menunggu mereka, wajahnya yang dingin tidak menunjukkan belas kasihan.
"Kalian pikir bisa melawan kami?" tanya pria itu dengan nada meremehkan. "Ini hanya permulaan. Kami punya banyak cara untuk membuat kalian berbicara."
Arini dan Damar saling berpandangan, berkomunikasi tanpa kata-kata. Mereka tahu bahwa ini adalah momen yang mereka tunggu-tunggu. Dengan segala keberanian yang mereka miliki, mereka harus bertindak cepat dan tepat.
Damar tiba-tiba bergerak, menabrak salah satu penjaga dengan kekuatan penuh. Penjaga itu terjatuh, dan Arini dengan cepat mengambil kesempatan itu untuk merebut senjata dari penjaga lainnya. Dalam hitungan detik, mereka berhasil membalikkan keadaan.
Pria yang berada di depan mereka tampak terkejut, tapi dia segera memerintahkan penjaga lainnya untuk menyerang. "Tangkap mereka!"
Namun, Arini dan Damar sudah siap. Mereka menggunakan senjata yang berhasil direbut untuk melindungi diri mereka sambil mencari jalan keluar. Perkelahian sengit terjadi di ruangan itu, tetapi dengan tekad yang kuat, mereka berhasil mengalahkan penjaga-penjaga tersebut.
Setelah memastikan bahwa mereka aman untuk sementara, Arini dan Damar bergegas keluar dari ruangan itu dan kembali ke lorong-lorong gelap yang membawa mereka ke ruang tahanan. Mereka tahu bahwa waktu mereka sangat terbatas sebelum alarm berbunyi dan seluruh gedung dibanjiri oleh penjaga.
Mereka menemukan jalan keluar menuju atap gedung, berharap dapat menemukan cara untuk melarikan diri dari sana. Namun, saat mereka sampai di atap, mereka disambut oleh pemandangan yang tidak mereka duga: gedung itu dikelilingi oleh hutan lebat yang tampaknya tidak memiliki jalan keluar yang jelas.
Damar melihat ke arah langit yang mulai cerah di kejauhan. "Kita harus tetap bergerak. Jika kita bisa mencapai hutan itu, kita mungkin bisa bersembunyi dan merencanakan langkah selanjutnya."
Arini mengangguk, meskipun rasa takut masih menghantui hatinya. "Kita tidak bisa kembali sekarang. Ini adalah satu-satunya jalan."
Dengan tekad yang membara, mereka memutuskan untuk melompat dari atap ke pohon-pohon yang ada di sekitarnya. Meski berbahaya, itu adalah satu-satunya cara untuk melarikan diri tanpa terdeteksi. Mereka mempersiapkan diri, saling memberikan dukungan mental, dan dengan keberanian yang luar biasa, mereka melompat.
Mereka berhasil mendarat di cabang-cabang pohon, meski dengan beberapa goresan dan memar. Setelah memastikan mereka tidak terluka parah, mereka mulai bergerak melalui hutan, berusaha secepat mungkin untuk menjauh dari gedung tersebut.
Meski mereka tahu bahwa mereka masih jauh dari aman, Arini dan Damar tidak bisa berhenti sekarang. Mereka harus terus bergerak, mencari cara untuk menghubungi Adrian dan memberitahukan kepadanya bahwa mereka berhasil melarikan diri.
Dengan hutan yang gelap dan tidak ada petunjuk ke mana harus pergi, mereka hanya bisa mengandalkan naluri mereka untuk bertahan hidup. Namun, di tengah ketidakpastian itu, satu hal yang mereka tahu pasti: perjuangan mereka belum selesai. Dan selama mereka bersama, mereka akan terus berjuang demi kebenaran yang mereka yakini.
Babak baru dalam perjalanan mereka dimulai, dan kali ini, mereka akan lebih berhati-hati, lebih kuat, dan lebih berani dari sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kita
RomanceSetelah bertahun-tahun berpisah, Damar dan Arini tak sengaja bertemu kembali di tempat yang penuh kenangan-sebuah danau yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka yang dulu. Di tengah keheningan senja, mereka dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah...