Gadis berambut pendek itu terlihat sangat serius berdo'a di depan patung dewa. Matanya terpejam, seolah sedang melakukan komunikasi langsung dengan para dewa di langit sana, tanpa bisa diganggu oleh manusia lain.
Setelah selesai berdo'a, mata indah itu terbuka. Dia berdiri setelah sebelumnya bersujud beberapa kali, penghormatan kepada dewanya.
"Sudah kuduga kau pasti kesini lagi."
Kegiatannya memakai sepatu di interupsi oleh suara dari arah lapangan. Di depan kompleks kuil itu memang ada lapangan besar, tempat dilakukannya ibadah saat hari raya, atau disewakan untuk jemaat yang ingin membuat acara.
"Apa kuil tidak boleh didatangi setiap hari?"
Pertanyaannya malah dikembalikan, pria tampan itu hanya tertawa kecil. Dia berjalan menghampiri si gadis, ikut duduk di sebelahnya. Sapu lidi yang ia pegang dari tadi diletakkan di samping kirinya.
"Tidak ada yang melarang sih, justru bagus kau selalu minta perlindungan dewa sebelum berkegiatan." ujar pria itu.
"Yah, selain pada dewa, sekarang siapa lagi tempat aku meminta. Aku yatim piatu, saudara pun tidak ada yang mau mengakui karena aku miskin." mata indah gadis itu menerawang, ada banyak beban hidup yang tersirat disitu.
Namping Napatsakorn Pingmuang, atau yang familiar dipanggil Nam, gadis manis yang hidupnya tak secantik wajahnya. Orang tuanya meninggal dunia karena penyakit, yang tidak bisa disembuhkan karena kendala biaya. Kerabat yang harusnya masih sedarah pun tak ada yang mau membantu, disamping karena keluarga Nam tidak mau meminta-minta.
Bahkan ketika Nam sendirian di dunia ini, tak ada yang terketuk hatinya untuk sekedar bertanya kabar. Seolah sosok Nam sudah berganti status menjadi orang asing.
Nam pun tidak memikirkan itu. Sifat mandiri orang tuanya sudah mendarah daging, karena itu tangannya tidak dengan mudah menengadah mengharap bantuan. Selagi tubuhmu masih bisa bergerak, jangan mengharap uluran tangan orang lain. Gunakan tanganmu sendiri untuk menyuap nasi ke mulutmu, itu ucapan mendiang ayahnya.
"Kupikir memang lebih baik meminta pada dewa dibanding pada sesama manusia. Dewa tahu mana yang terbaik untukmu, karena itu apapun yang diberikan untukmu pasti memang sesuai denganmu."
"Wuuu.. khun Keng filosofis sekali hari ini.." ledek Nam.
Keng Harit Buayoi, anak dari pengurus kompleks kuil, sekaligus saksi perjalanan hidup Nam. Karena memang rumah Nam dekat dengan kuil, ditambah orang tua Nam yang disemayamkan di pemakaman kuil itu juga.
"Kau ini, diberi nasihat malah begitu." Keng si kulkas dua pintu memang sulit diajak bercanda. "Kau kerja hari ini?"
Nam mengangguk. "Dapat shift siang."
Sebelah alis Keng terangkat. "Kalau begitu pulang malam dong?"
"Ya memang begitu peraturannya. Mau bagaimana lagi."
"Biar kujemput nanti. Kau jangan tunggu di pinggir jalan, diam di dalam resto sampai aku datang." titah Keng.
Mendengar perintah Keng, Nam hanya diam dan mengangguk. Dia tahu Keng mode protektif begitu sudah tidak bisa dibantah lagi. Selama ini memang keluarga Keng yang selalu membantu Nam, makanya gadis itu tidak mau menambah beban dengan bersikap seenaknya.
●○●○●
Restoran tempat Nam bekerja baru saja tutup. Nam keluar untuk mengambil papan menu, matanya berpapasan dengan Keng yang baru saja memarkir motornya.
"Kau sudah datang, phi?"
Keng melepas helm full facenya. "Sekalian, tadi aku baru pulang dari perpustakaan. Kalian baru tutup?"