Our Story - 11

59 4 0
                                    

Kira-kira sudah 10 menit berlalu, sejak Keng datang dan berdiri di depan pintu rumah Nam. Beberapa kali juga dia mengambil ancang-ancang untuk mengetuk pintu kayu di depannya, tapi selalu diurungkan.

"Bagaimana ini..? Kalau makanan ini tidak kuantar lagi amukan mae bakal lebih parah dari kemarin.." Keng bergumam, matanya melirik gelisah kotak makan yang ada di tangan kanannya.

Sebenarnya, niat Keng datang ke rumah Nam malam itu untuk mengantarkan masakan ibunya. Tapi setelah diketuk dan ditunggu lama, si empunya rumah tak kunjung keluar. Makanya pikirannya langsung semrawut tidak karuan, dan berujung jadi emosi yang terlampiaskan tidak pada tempatnya.

Sepulang kuliah kemarin ibunya bilang Nam datang mencarinya pagi-pagi. Dia tahu Nam pasti datang mencarinya, makanya dia sengaja kabur ke kampus lebih cepat dari biasanya. Terkesan pengecut memang, tapi mau bagaimana lagi. Mulut Keng yang sembrono malah jadi bumerang untuk dirinya sendiri.

Baru saja memantapkan hati untuk mengetuk, pintu itu sudah terbuka. Membuat Keng sedikit terlonjak dan refleks memundurkan tubuhnya.

Nam keluar dengan wajah yang jauh beda dari biasanya. Ekspresi cerianya sekarang berubah jadi suram, rambutnya yang selalu rapi sekarang berantakan, matanya yang biasanya cerah sekarang berbingkai hitam, sekitaran korneanya juga terlihat merah.

"Nam? Kau kenapa?!" Keng sedikit shock melihat keadaan Nam yang seperti itu. "Kau sakit?"

Si gadis hanya menggeleng. "Hanya kurang tidur."

"Kau kerja hari ini?"

"Aku izin. Kepalaku berdenyut dari pagi, jadi aku minum obat dan tidur." jawab Nam dengan suara paraunya.

"Kalau begitu ini, makan dulu. Setelah itu minum obatnya lagi dan istirahat." Keng menyodorkan kotak makan yang masih terasa hangat. "Kalau kau pusing kenapa kau keluar?"

"Terus-terusan rebahan membuat kepalaku tambah pusing.." Nam merapikan rambutnya dengan tangan. "Aku mau cari udara segar."

"Kalau begitu mau ke kuil?" tawar Keng. "Nanti kugendong kalau belum kuat berjalan.."

Nam menggeleng pelan. "Tidak usah. Aku cuma mau duduk sebentar disini."

Tangan Keng membantu merapikan rambut halus Nam. "Mau kubawakan coolpad untuk kompres matamu?"

"Tidak, terima kasih.."

Nam menatap Keng. Sebenarnya dia berniat menanyakan perkataan Keng kemarin, tapi kondisi tubuhnya belum siap jika harus menerima jawaban yang tidak terduga. Keng sendiri sepertinya melupakan ucapannya, mungkin karena dia sedang emosi waktu itu.

"Soal sikapku kemarin lusa.." ucapan Keng terdengar menggantung. "Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud mengekang dan mengatur hidupmu. Kau benar, dirimu sudah dewasa."

Nam menatap Keng cukup lama. Benar saja, Keng bersikap seperti itu karena khawatir padanya. Pada Nam lebih tepatnya. Terlebih dia pernah merasa gagal menjaga Nam waktu gadis itu pingsan sebelumnya.

Entah apa yang akan dia lakukan jika tahu Nam, pemilik tubuh yang seharusnya sudah pergi menyusul orang tuanya.

"Aku mengerti, phi. Aku juga minta maaf tidak mengabarimu, waktu itu benar-benar mendadak." jawab Nam.

"Memangnya kau kemana?"

Nam melirik gelisah, tidak mungkin dia bilang pergi ke kantor Black Daisy setelah tahu ada penyitaan dari kantor pajak.

"Kau tidak perlu tahu." akhirnya jawaban itu yang keluar.

Di luar dugaan, Keng langsung mengangguk. Mungkin dia mulai belajar dari kesalahannya, terlalu protektif selama ini. "Aku mengerti."

Our FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang