Keng masih memandangi tubuh gadis yang terkulai lemah di hadapannya. Melihat nebulizer yang masih mengalirkan obat membuatnya teringat percakapannya dengan dokter tadi.
"Asma?"
"Kau tidak tahu? Bukannya kau kerabatnya?"
Keng menggeleng. "Dia tidak pernah bilang, di depanku juga dia tidak pernah sesak napas."
"Kalau begitu sekarang kau sudah tahu kan? Tolong jaga dia, penderita asma harus sering diperhatikan konsumsi obatnya. Apalagi dari pemeriksaan, dia sudah hampir memasuki fase intermiten."
"Baik, terima kasih banyak dokter."
"Sudah selama ini kita bersama, ternyata kau masih belum juga percaya padaku sepenuhnya.." gumam Keng.
Ruang IGD sudah terlihat sepi. Wajar, jarum jam sudah menunjuk ke angka 10. Malam ini Nam harus dirawat di IGD sampai dia sadar. Karena itulah Keng sepertinya akan ikut menginap disini.
Orang tua Keng sudah dikabari, dan reaksinya sama terkejutnya seperti Keng. Mereka segera menyusul ke rumah sakit, dan sedikit lega begitu melihat Nam sudah mendapat penanganan medis.
Sekitar setengah jam yang lalu mereka pulang, Keng yang menyuruh. Di IGD memang tidak boleh terlalu banyak pendamping, mungkin takut mengganggu saat nanti ada pasien darurat.
Rasa kantuk mulai merayapi mata Keng, membuat dia menguap sambil meregangkan tubuhnya.
"Awas! Pasien darurat! Siapkan ruang operasi!!"
Kantuk tadi sedikit berkurang, terkejut karena kericuhan dari pintu masuk IGD. Beberapa dokter jaga dan perawat terlihat panik membantu petugas ambulans mendorong ranjang pasien, sambil menyiapkan alat-alat medis yang entah apa namanya.
"Ruangan sudah siap, tapi semua dokter masih melalukan operasi! Paling cepat 10 menit lagi baru selesai!"
"Kalau begitu lakukan pertolongan pertama! Luka di kepalanya harus segera ditutup! Siapkan kantung darah! Periksa golongan darah pasien!!"
Sekilas Keng melihat ranjang pasien yang melewatinya. Tubuh orang itu terlihat berlumuran darah, membuat Keng merinding.
"Maaf ya, nanti akan banyak keributan. Aku harap kalian tidak terganggu." ujar salah satu perawat yang ikut sibuk membantu pasien tadi.
Keng mengangguk. "Aku mengerti."
Suster itu tersenyum singkat, lalu menutup tirai pembatas ranjang tempat Nam dan ranjang sebelahnya.
Mendengar kericuhan yang masih terjadi, sebagai anak penjaga kuil Keng berinisiatif mendo'akan pasien kritis itu. Jimat yang sejak tadi digenggam di tangan kanan, diapit dengan kedua telapak tangan dan dihadapkan di depan dada. Dia memejamkan mata dan mulai merapalkan lantunan do'a dalam hati, berharap kelancaran pengobatan untuk Nam dan juga pasien disampingnya.
●○●○●
Setelah hampir empat jam berada di ruang operasi, James saat ini sudah sudah berada di ruang rawat. Kepalanya yang penuh balutan perban, ditambah gips yang menyangga lehernya, membuat keadaan James makin memilukan.
Hidung dan mulutnya masih terpasang masker oksigen. Pembuluh vena di tangan kirinya tertancap jarum infus, serta beberapa kabel yang menempel di sekitaran dada kiri, tersambung ke alat untuk memantau jantung.
Net duduk di sisi ranjang James. Pandangan matanya terlihat kosong, wajahnya juga terlihat kuyu.
Setelah mendapat kabar dari Chaikamon tadi, sekujur tubuh Net melemas. Ponsel yang ada di genggaman meluncur bebas hingga pecah menghantam lantai marmer rumahnya.
