***
Kalimat itu, meski singkat, menggelegar seperti petir di siang bolong. Lorong yang tadi ramai oleh bisikan kini mendadak sunyi, hanya suara-suara ponsel yang terdengar saat para siswa menatap layar mereka dengan ekspresi terkejut dan tak percaya.
"Ini... nggak mungkin," bisik seorang siswi, matanya masih terpaku pada layar. "Kenapa bisa sampai di-drop out?"
Temannya, yang berdiri di sebelahnya, menggelengkan kepala dengan bingung. "Gue juga nggak ngerti. Gue kira paling cuma skorsing, tapi drop out? Ini gila."
Siswa lain yang mendengar percakapan itu langsung menimpali, suaranya penuh kegelisahan. "Ada yang tau apa yang sebenarnya terjadi di sidang? Nggak mungkin mereka di-DO tanpa alasan yang serius."
"Kayaknya mereka ngelakuin sesuatu yang lebih parah daripada yang kita kira," ujar yang lain dengan nada rendah, seolah-olah takut kata-katanya akan membawa malapetaka.
Kerumunan mulai bergolak lagi, tetapi kali ini dalam gelombang ketidakpastian dan kecemasan yang lebih dalam. Mereka saling bertanya-tanya, mencoba mengisi kekosongan dengan spekulasi dan desas-desus yang semakin liar.
Ada salah satu siswi kelas 11 yang menjauhkan diri dari keramaian. Bersandar pada dinding dengan gerak-gerik gelisah. "Apa..... apa semua ini gara-gara gue? Sialan.... bisa-bisanya gue dipermainkan. Jangan sampai ada yang tau soal ini." Rasa takut dan cemas yang memeluk erat dirinya, membuat ia memutuskan meninggalkan depan ruang sidang kedisplinan demi menyendiri di tempat persembunyian yang sepi dan sunyi.
Di sisi lain, delapan murid yang baru saja mendengar vonis mereka keluar dari ruang sidang dengan wajah yang tak bisa dibaca. Mereka berjalan dengan langkah pelan, berat, seolah-olah setiap langkah membawa mereka semakin jauh dari dunia yang pernah mereka kenal. Mereka tidak berbicara satu sama lain, hanya diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Mereka mengingat setiap detik yang terjadi di dalam ruang sidang—kata-kata yang dilontarkan, keputusan yang diambil, dan nasib yang tak lagi bisa diubah. Dan sekarang, saat mereka berjalan menuju pintu keluar, dunia di luar tampak begitu asing dan jauh, seperti mereka telah kehilangan segalanya.
Seketika, kerumunan siswa yang telah menunggu di luar ruang sidang bergerak mendekat, mengerumuni mereka dengan wajah penuh rasa ingin tahu dan kecemasan. Mereka seakan haus akan jawaban, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam ruang sidang yang tertutup rapat itu. Pertanyaan-pertanyaan mulai dilontarkan dengan suara-suara yang terdengar mendesak, bagaikan air bah yang tak bisa dibendung."Eh, gimana hasil sidangnya?
“Beneran di-DO?"
“Kalian emang nggak ngeluarin pembelaan? Seenggaknya hukumannya nggak sampai di DO, cuma di skorsing.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Hetairoi : The King Of Imperium School
Teen FictionHetairoi yang bagaikan angin monsun membawa perubahan besar pada sistem Imperium School; entah untuk mendatangkan bencana atau keagungan. Hetairoi memiliki tujuan menjadi pemegang bidak king Imperium School serta membebaskan Imperium School dari gen...