• Chapter 11 •

151 7 5
                                    

Note: yang pakai huruf miring berarti adegan flashback, yang hurufnya biasa berarti saat ini.

Selamat membaca ❤️

-----

"Kalian sungguh hanya ingin tinggal di sini lagi atau ada agenda lain?"

Arhaan dan Zarina yang duduk-duduk di kursi taman depan rumah menoleh. Manusia pemarah bernama Arshan itu entah sejak kapan berdiri di belakang mereka dan bertanya.

"Oh, tentu saja ada acara lain," jawab Arhaan.

"Apa itu?"

"Merayakan ulang tahun pernikahan Mama dan Papa," ujar Zarina.

Sepasang suami istri itu tak melihat reaksi apa pun di wajah Arshan, selain hanya ekspresi datarnya yang sepertinya benar-benar permanen sekarang. Mereka bahkan tidak ingat kapan terakhir kali Arshan tertawa sepenuh hati. Oh, lupakan soal tertawa. Pria itu bahkan tak pernah lagi bicara baik-baik.

"Kenapa? Mau protes?" tanya Arhaan, lebih tepatnya memancing. Sangat tidak seru kalau Arshan diam saja begini, apalagi misal nanti langsung pergi.

"Kau tidak bisa protes karena rumah ini masih milik kami," sahut seseorang tiba-tiba.

Ketiganya menoleh ke sumber suara. Mahira dan Aryan, orang tua mereka tiba-tiba juga sudah berada di sana sambil membawa dua koper besar.

"Eh, Mama dan Papa kapan datang?" tanya Zarina buru-buru berdiri untuk membantu mertuanya itu.

"Baru saja. Kalian terlalu sibuk mengamati Arshan seolah dia itu makhluk dari planet lain, sampai-sampai kalian sadar kami datang," celoteh Mahira.

Zarina tertawa kecil. Keduanya kemudian masuk sambil mengobrol. Aryan juga ikut ke dalam. Tinggallah Arhaan bersama Arshan di sini.

"Kenapa berdiri saja? Duduk sini," Arhaan menepuk-nepuk kursi sampingnya yang kosong.

Sudah bertahun-tahun berlalu, Arhaan tidak ingat kapan terakhir kali dia dan Arshan duduk-duduk berdua seperti ini, mengobrol banyak hal, atau bercerita tentang kehidupan masing-masing.

"Tak lama lagi juga peringatan kematian Advika, kan?" tanya Arhaan membuka percakapan.

Arshan mengangguk. Itu saja. Tidak ada kata yang keluar.

"Sampai kapan kau mau marah pada Shayra?"

"Sampai putriku kembali," kata Arshan dengan tatapan yang lurus ke depan.

Arhaan menghela napas panjang. "Dulu, saat kepergian Ilisha, kau membenci Kaluna dan menuduhnya sebagai penyebab Ilisha meninggal. Sekarang, kau membenci Shayra karena putri kalian tiada. Apa kau akan terus mencari seseorang untuk kau benci karena kepergian orang lain, Arshan?"

Arshan menggeram tertahan. "Kau lihat sendiri bagaimana aku meminta Shayra untuk menunggu, tapi dia itu memang keras kepala! Jadi semua ini adalah salahnya," balasnya berapi-api.

Arhaan diam sejenak. "Orang tua kita pernah menyekolahkan kita, kan?"

Arshan mengerjap beberapa kali sebelum kembali menatap Arhaan di sebelahnya. Kenapa pria itu sekarang malah bawa-bawa sekolah? Gampang sekali dia mengganti topik. "Tentu saja," jawabnya kesal.

"Kau masih beragama?"

Arshan semakin tak percaya dengan pertanyaan Kakaknya itu. "Apa maksudmu? Kau kira aku sekarang atheis, begitu?" katanya tak terima.

Arhaan hanya tersenyum kecil. "Kalau kau dulu benar-benar sekolah, pasti kau sudah pernah mendengar soal takdir. Ada takdir yang bisa diubah, ada juga takdir yang tidak bisa diubah, dan semua takdir itu membutuhkan perantara untuk terjadi. Shayra dan Kaluna, mereka hanyalah perantara. Sudah takdirnya Advika pergi; Tuhan lebih menyayangi Advika dan ingin Advika kembali pada-Nya. Sebagai manusia, kita bisa apa? Bahkan meski kau melenyapkan Shayra karena kemarahanmu itu, apa kau pikir Advika akan hidup kembali?" tuturnya.

Never EndsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang