Hal paling menyebalkan adalah mencoba menahan segudang pertanyaan yang sedang meronta-ronta untuk ditanyakan. Alzena penasaran sekali dengan wanita yang menyetir di sebelahnya ini, tetapi wanita itu hanya fokus menyetir dan tidak menanyakan apa-apa padanya. Mau bertanya duluan, dia merasa itu kurang sopan.
"Sudah berapa lama kau bekerja dengan Catherine?"
Alzena mengerjap beberapa kali. Tolong katakan dia tidak sedang berhalusinasi mendengar sesuatu karena sejak tadi memang ingin bertanya. "Maaf, Ibu mengatakan sesuatu?" tanyanya agak ragu, tapi ini satu-satunya cara. Kan tidak lucu kalau dia mendadak menjawab padahal tidak ada yang tanya.
Wanita yang tengah menyetir di sebelah Alzena itu tersenyum. "Kau sudah berapa lama bekerja dengan Catherine? Sepertinya saya belum pernah melihatmu."
Ternyata Alzena benar. Otaknya tidak sedang merencanakan prank apa pun untuknya. "Baru hari ini, Bu. Hari ini juga tugas pertama saya untuk membangunkan putranya Bu Catherine dan mengantarnya ke kampus," jawabnya sedikit semangat.
Shayra manggut-manggut. "Berarti wajar saya tidak pernah melihatmu, ya," balasnya tersenyum.
"Ibu kenal dengan Bu Catherine? Maksudku, mungkin sangat akrab?" tanya Alzena sekaligus mengoreksi pertanyaannya sendiri yang menurutnya agak kurang pas.
"Ya, dia sahabatku. Lebih tepatnya, suaminya adalah sahabatku sejak kecil," jelas Shayra.
Alzena mengangguk-angguk. "Kalau boleh tahu, nama Ibu siapa? Boleh saya panggil ibu, kan?" tanyanya lagi. Agak konyol mungkin, tapi memang begitulah Alzena.
"Shayra, itu namaku. Dan, iya, tentu boleh-boleh saja. Saya kan memang ibu-ibu," jawab Shayra sedikit bercanda. "Kau sendiri?"
"Saya Alzena, Bu," jawab Alzena.
"Alzena ... nama yang cantik," komentar Shayra.
"Terima kasih," ucap Alzena.
Setelah itu, hening lagi, padahal Alzena masih penasaran dengan banyak hal. Seperti, mengapa gadis yang menabraknya tadi kelihatan sangat membenci wanita di sebelahnya ini? Apa yang salah dengan wanita ini? Dia terlihat sangat baik, sabar, keibuan. Juga dengan pria yang gadis tadi panggil sebagai 'papa'. Mengapa pria tadi juga seperti sangat membenci Shayra? Apa salah wanita ini pada mereka? Bukankah mereka adalah keluarga? Itu terlihat jelas dari panggilan mereka pada satu sama lain.
"Sudah sampai."
Lagi-lagi Alzena mengerjap beberapa kali layaknya orang linglung. Perjalanan mendadak cepat, ya, padahal biasanya saat Alzena menyebut pun rasanya masih jauh.
"Iya, Bu." Tidak ada yang bisa Alzena katakan lagi selain itu, sebelum akhirnya dia keluar bersamaan dengan Shayra.
Saat masuk pun mereka berjalan beriringan. Shayra ternyata menuju ruangan yang sama dengan Alzena, di mana di ruangan itu sudah ada Catherine bersama seorang wanita tua.
"Mama Mahira," Shayra mendekat pada wanita yang sebagian besar rambutnya sudah memutih itu, lantas mencium punggung tangannya. "Mama apa kabar?"
"Mama cukup baik. Kau sendiri bagaimana?" balas wanita itu.
Sampai sini, Alzena menebak Shayra dan wanita tua itu adalah ibu dan anak, atau mungkin menantu dan mertua?
"Siapa gadis yang datang bersamamu ini, Shayra?" Wanita tua itu, Mahira, beralih menatap Alzena. Wajahnya yang tersenyum terlihat teduh sekali, bahkan masih sangat cantik di usianya yang mungkin sudah sekitar 65 tahunan.
"Dia asisten baruku, Bibi. Namanya Alzena," jawab Catherine mewakili Shayra. "Oh, ya, bagaimana kalian bisa datang bersama-sama?"
Alzena spontan menatap Shayra. Kalau dia menjelaskan dengan menggebu-gebu—dan mungkin menyalahkan gadis tadi, rasanya tidak enak saja pada Shayra. Meski belum benar-benar dikonfirmasi, tapi Alzena tahu gadis tadi adalah putri dari Shayra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Ends
RomanceKehilangan suami dan dua anak sekaligus, bagaimana rasanya? Demi mencari Kaluna yang kabur, Shayra yang sangat panik tak mau mendengarkan Arshan dan memutuskan langsung mencari Kaluna bersama kedua putrinya yang lain, Shannara dan Advika. Kaluna b...