• Chapter 14 •

148 9 3
                                    

"Diam! Biar aku yang lepas, aku tidak mau helm-ku rusak gara-gara kau," kata Alzena ketika Prince akan melepas helm yang menempel di kepalanya.

Prince menurut; bertingkah seolah dia tak tahu apa pun soal helm, padahal dia juga dulu saat sekolah sering diantar pakai motor, dan tentunya harus mengenakan helm juga.

Alzena mendekat pada Prince dan melepas pengait helm. Prince diam saja, sengaja menatap mata Alzena yang sangat dekat di depannya. Gadis itu memiliki mata besar dengan warna bola mata cokelat terang, bulu mata yang lentik, juga tatapan tajam.

"Warna matamu---"

"Cantik, aku tahu," sahut Alzena, padahal Prince belum menyelesaikan kata-katanya.

"Cih, percaya diri sekali kau," cibir Prince.

"Karena aku tahu mataku memang cantik," kata Alzena seraya mengambil kembali helm-nya yang sempat terangkut tadi. "Sudah, cepat masuk sana, belajar yang rajin, dan jangan lupa belajar berkendara juga. Jangan jadi pria payah yang hidupnya selalu menumpang," lanjutnya tak melewatkan kesempatan untuk mengejek pemuda itu.

"Hey, dengar, ya. Aku sudah bisa menyetir. Aku lebih suka menumpang karena aku ingin mengurangi kemacetan dan polusi. Aku ini seorang pecinta alam," jelas Prince.

Alzena mendengus. "Beginilah ciri-ciri para pembohong, pandai sekali membuat alasan," sindirnya.

"Hey, aku memang---" Prince tak melanjutkan kata-katanya sebab Alzena pergi begitu saja. Pemuda itu pun berakhir geleng-geleng. "Kukira stok gadis menyebalkan sudah habis sejak Advika tiada, tapi ternyata masih tertinggal satu dengan wujud gadis itu," gumamnya.

Ia kemudian mulai melangkah, tetapi langsung berhenti bahkan ketika langkahnya belum menyentuh gerbang. "Eh, siapa nama gadis itu tadi?"

***

"Shanna, pelan-pelan! Aku tidak mau kau menabrak orang lagi!"

Shanna tertawa-tawa, mengabaikan jeritan ketakutan temannya yang duduk di sebelahnya itu. "Tenang saja, Sara. Mau aku menabrak selusin orang pun, aku akan selamat selama Papaku masih ada," balasnya santai.

Gadis bernama Sara itu geleng-geleng, "Tapi ini berbahaya, Shanna!" serunya tanpa menyerah, berharap temannya itu mau mendengarkannya.

"Tenang saja. Meski aku sudah enam tahun lebih tidak menyetir, tapi aku bukan sopir amatiran," kata Shanna.

"Sebentar lagi ada pertigaan, kau jangan langsung menerobos, ya? Berhenti dulu," tutur Sara.

Shanna masih tertawa. Dari reaksi itu, Sara sudah tahu kalau temannya yang satu ini takkan mendengarkannya. Jadi, dia berdoa saja semoga di depan sana tidak sedang ada kendaraan yang lewat, atau tabrakan pasti tak terhindarkan.

Beberapa detik kemudian, mereka tiba di pertigaan dan Shanna benar-benar tidak berhenti. Dia langsung membelokkan mobilnya begitu saja. Tepat satu detik setelah itu, terdengar bunyi dua benda keras yang bertabrakan, yang membuat Shanna spontan menghentikan laju mobilnya dan menoleh ke belakang.

"Shanna, gawat, seorang pengendara motor jatuh gara-gara menabrak mobilmu," bisik Sara panik.

Shanna masih tidak mengatakan apa-apa. Berhenti sebentar, ia membuka pintu dan keluar untuk melihat sendiri.

Benar saja. Sebuah motor matic tergeletak di jalan raya, tepat di belakang mobil Shanna. Seorang gadis juga terduduk tak jauh dari motor itu. Gadis itu mengusap-usap sikunya yang terlihat mengeluarkan darah.

"Apa kau buta? Kau tidak bisa melihat ada mobil sebesar itu di depanmu?" omel Shanna.

Gadis itu ternganga untuk sesaat, lalu menggeleng tak percaya. Ia kemudian berdiri menghampiri Shanna yang tengah bersedekap dada dengan angkuh.

Never EndsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang