Sandy terbaring di lantai kamarnya sendiri, napasnya belum sepenuhnya kembali normal.
"K-kenapa aku bisa di sini? B-bukannya aku ada di kamar ...."
Bayangan hitam itu, menjulang di ujung ranjang, bagai sosok siluet menyeramkan yang membeku dalam kegelapan. Udara seakan dicekik, meninggalkan hawa dingin yang menusuk tulang. Ia bukan sekadar mimpi lagi. Kengerian itu, nyata dan mencekam, mulai merayap masuk ke dunianya.
Dengan sisa-sisa tenaga, ia memaksa tubuhnya untuk berdiri. Jantungnya berdebar kencang, mengikuti irama ketukan misterius yang seakan masih bergema di telinganya. Perlahan, ia menghampiri jendela, tangannya berkeringat dingin. Tirai disibakkan, memperlihatkan kegelapan malam yang mencekam. Namun, di sudut taman, sebuah bayangan samar di bawah pohon tua. Sosok itu tampak begitu nyata, seolah sedang mengintainya dari kegelapan.
'S-siapa di sana?' batin Sandy.
Jantung Sandy berdebar kencang, iringan dari angin malam yang semakin menusuk tulang. Tatapannya terpaku pada bayangan itu, namun secepat kilat, sosok itu lenyap ditelan kegelapan. Tubuhnya bergetar hebat saat ia mundur dari jendela. Tanggal 13 semakin dekat dan firasat buruk yang selama ini ia coba abaikan kini semakin nyata. Malam ini, ketakutannya mencapai puncaknya.
"Semua orang tidur dan aku berjaga sendirian di sini. Besok aku harus sekolah, tapi ... mereka tidak menginginkan aku tidur," gumam Sandy tidak tahu arah.
Dengan hati-hati, ia mengintip keluar kamar. Lorong gelap membentang di hadapannya, menelan setiap suara. Setiap langkahnya terasa berat, seolah mengaduk keheningan yang mencekam. Tangga kayu berderit nyaring, menggema di keheningan malam. Semakin ia menuruni tangga, semakin kuat ia merasakan aura dingin yang menyelimuti seluruh rumah.
Suara itu kembali, kali ini lebih jelas dan mendesak, seakan memanggil namanya dari kedalaman bumi. Dengan jantung berdebar kencang, Sandy mendekati pintu menuju ruang bawah tanah. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada yang mengintai di balik kegelapan. Udara di sekitarnya berubah dingin, menusuk tulang. Napasnya memburu, embun menetes di ujung hidungnya. Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu. Bau tanah lembap dan udara basi menyeruak masuk, membawanya ke dalam dunia yang asing dan penuh misteri.
"Di mana ponselku?! Kenapa di sini gelap banget Ya ampun!" ucap Sandy meraba kantong bajunya.
Syukurlah, ia telah berjaga-jaga. Cahaya senter ponselnya menjadi satu-satunya teman dalam kegelapan mencekam ruang bawah tanah. Setiap langkahnya menuruni tangga kayu yang berderit nyaring terasa seperti memasuki wilayah terlarang. Setiap bayangan yang tertangkap cahaya senter membuatnya merinding.
Di sudut ruangan, berdiri kokoh sebuah lemari kayu tua yang diselimuti debu tebal. Suara aneh itu semakin jelas terdengar dari balik pintu lemari yang retak. Dengan jantung berdebar kencang, Sandy mendekati lemari itu.
"Apa yang ada di dalamnya?" gumamnya pelan, suaranya bergetar.
Tangannya meraih knop pintu yang dingin dan berkarat.
"Jangan-jangan ada sesuatu yang buruk di dalam," bisiknya pada dirinya sendiri.
"Ini seperti yang aku mimpikan."
Suara itu semakin keras, menggaruk-garuk seolah ada yang terperangkap di dalam. Sandy tersentak mundur, jantungnya berdebar kencang bagai drum perang. Ini bukan lagi suara biasa. Ada sesuatu yang hidup, sesuatu yang gelap, di balik pintu itu. Dengan napas tertahan, ia perlahan membuka pintu. Bau busuk menyengat menusuk hidungnya, membuatnya hampir pingsan. Namun, bau busuk itu bukanlah hal yang paling membuatnya terkejut.
Di dalam lemari, tergeletak sebuah boneka kain yang kusam. Matanya yang terbuat dari kaca pecah menatap kosong ke langit-langit, seolah-olah sedang menyaksikan sesuatu yang mengerikan. Namun, yang paling membuat Sandy merinding adalah kalung kecil yang tergantung di lehernya. Liontin berbentuk jam itu berayun perlahan, jarumnya berputar dengan sendirinya, seolah menghitung mundur menuju sesuatu yang mengerikan.
"I-ini tidak mungkin," gumam Sandy terus-menerus, suaranya bergetar hebat.
Dengan tangan gemetar, ia membuka liontin itu. Jarum jam berhenti tepat pada jam 13.00.
'Kenapa jam ini begitu penting? Kenapa berhenti tepat pada waktu ini?'
Sebuah firasat buruk mulai menyelimuti hatinya.
Tiba-tiba, suara bantingan keras terdengar dari atas. Pintu menuju rumah tertutup rapat. Kegelapan menyelimuti ruang bawah tanah, membuat Sandy semakin panik.
"Tidak! Jangan tinggalkan aku sendirian!" teriaknya, namun suaranya hanya menggema di kegelapan.
"Ibu! Ayah! Tolong Sandy! Pintunya terkunci!!" teriak Sandy sambil menggedor pintu.
"Ibu!"
"Ayah!"
Di tengah keheningan yang mencekam, Sandy mendengar sesuatu yang membuat darahnya beku—suara langkah. Tapi kali ini, bukan langkahnya sendiri. Ada seseorang—atau sesuatu—sedang berjalan menaiki anak tangga menuju dirinya.
"Siapa di sana! Menjauh kamu!!" teriak Sandy.
Langkah itu semakin mendekat, dan Sandy merasa napasnya tercekat. Ia tidak tahu siapa—atau apa—yang sedang mendekatinya. Tetapi dalam hati, ia tahu, ini bukan manusia.
"Mana tadi ponselku!"
Dengan jantung berdebar kencang, Sandy mengarahkan senter ke arah tangga. Cahayanya memantul di dinding-dinding yang lembap, menciptakan bayangan-bayangan aneh.
"Siapa di sana?" teriaknya, suaranya gemetar.
Namun, tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang mencekam. Tiba-tiba, sebuah tangan pucat menjulur keluar dari kegelapan, meraih ke arahnya. Sandy menjerit histeris, tubuhnya langsung membeku.
"Tidak! Tolong!" teriaknya, namun suaranya seperti tertelan oleh kegelapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanggal Berdarah "True Story of 1979" [End✓]
Misterio / Suspenso(Jangan Plagiat) Aku tidak berharap memiliki suasana rumah yang mencekam. Aku tidak berpikir akan tinggal di tengah pembunuhan. Di balik fasadnya yang anggun, rumah tua itu menyembunyikan rahasia mengerikan. Dinding dipenuhi dengan noda darah yang...