(Jangan Plagiat)
Aku tidak berharap memiliki suasana rumah yang mencekam.
Aku tidak berpikir akan tinggal di tengah pembunuhan.
Di balik fasadnya yang anggun, rumah tua itu menyembunyikan rahasia mengerikan. Dinding dipenuhi dengan noda darah yang...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SUASANA di rumah begitu hangat dan menyenangkan. Sean bahkan mengajak Sandy dan Sera bermain setelah menyiapkan buku-buku pelajaran mereka untuk sekolah besok. Keduanya baru saja menerima jadwal sekolah yang baru.
Suasana semakin menjadi ceria saat Sean mengeluarkan permainan kartu kesukaan Sandy. Keduanya tampak begitu asyik, membuat Sarah tersenyum lembut. Ia lalu menyempatkan diri untuk meletakkan camilan ubi di meja.
"Ayah! Sera jadi kalah, kan!" seru Sera dengan nada kesal saat dirinya kalah.
"Salah sendiri! Nggak bisa main!" ledek Sean, membuat putri bungsunya semakin cemberut.
Pandangan Sera pun beralih ke kakaknya. Ia melihat kartu-kartu Sandy yang tampak bagus untuk mengalahkan Sean.
"Lebih baik Sera bantu Kak Sandy aja!"
****
Dulu, kamarnya terasa begitu sepi dan dingin. Namun kini, seiring berjalannya waktu, Sandy merasa begitu nyaman di rumah barunya. Dengan senyuman tipis, ia tenggelam dalam buku-buku pelajarannya, mengerjakan tugas sekolah dengan tenang. Bahkan saat hujan deras mengguyur, kamarnya tetap terasa hangat, jauh berbeda dari biasanya yang terasa suram.
Hingga tiba hari Jumat, senyuman merekah di wajah Sandy. Ia begitu menikmati hari ini, melupakan semua kekhawatiran yang sempat menghantuinya. Mungkin, sekadar membaca buku favorit atau mendengarkan musik kesukaan sudah cukup membuatnya bahagia.
Melihat perubahan positif pada Sandy, Sarah merasa sangat lega dan bahagia. Upayanya untuk membujuk Sandy pindah rumah akhirnya membuahkan hasil. Wanita itu tersenyum haru, bersyukur Sandy kini bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.
"Hati-hati di sekolah, sayang," pesan Sarah saat Sandy bersiap ke sekolah.
"Baik, Bu!" balas Sandy, mengecup pipi ibunya.
**** T
erbenam dalam lautan pengetahuan, Sandy tak menyadari waktu berlalu begitu cepat. Bunyi bel istirahat membuyarkan konsentrasinya. Dengan perlahan, ia bangkit dari kursi, pikirannya masih melayang pada materi yang baru saja dipelajari. Sandy berjalan pelan menuju kantin, mencoba menenangkan pikirannya.
Langkah kakinya terhenti tiba-tiba. Dari sudut lorong, terdengar bisikan-bisikan samar yang membuat bulu kuduknya meremang. Seorang gadis pucat berdiri di tengah kelompok itu, matanya berkilau aneh saat ia berbicara dengan nada serius, seolah sedang membicarakan rahasia besar.
"Kamu dengar kabar tentang Nia?" tanya salah seorang siswa.
"Katanya dia punya masalah besar dengan keluarganya. Di rumah, dia jadi depresi."
"Iya," jawab gadis itu dengan suara bergetar.
"Dia ... dia melompat dari lantai dua perpustakaan. Polisi sudah ada di sana sekarang."
Dunia seketika menjadi gelap. Lantai dua? Jantungnya berdebar kencang, menggema di telinganya. Ingatan tentang cerita yang pernah ia baca kembali menghantuinya.
Cahaya redup di lorong itu seolah memperkuat rasa takutnya. Tubuhnya gemetar hebat, gigi-giginya gemerincing. Kaki yang tadinya kokoh kini terasa lemah tak berdaya. Ia dipaksa melangkah maju, menuju tangga yang remang.
"Ada apa denganku?" gumam Sandy.
Langkah-langkahnya berat, seakan-akan setiap anak tangga memikul beban tak terlihat yang semakin menekan.Ketika akhirnya sampai di lantai tiga, Sandy disambut oleh lautan wajah penasaran. Mereka berbisik-bisik, sementara beberapa guru berusaha menenangkan situasi.
"Anak-anak tolong menjauh dari TKP!"
"Tolong turun semua! Ayo, anak-anak!"
"Aduh, Bu! Nia, kenapa! Kami pengen lihat! balas seorang siswa tidak terima mendapat teguran.
"Menjauhlah! Karena ibu takut kalian kenapa-napa."
Cahaya redup di lorong itu seolah memperkuat rasa takutnya. Keringat dingin membasahi dahinya, namun ia tetap melangkah maju. Sesuatu dalam dirinya memberontak, mendesaknya untuk melihat lebih dekat.
Di ujung lorong, tepat di dekat jendela besar yang terbuka lebar, Sandy melihat sesuatu yang membuat napasnya terhenti.
Di sana, di lantai bawah yang dingin dan keras, Nia tergeletak di lantai dingin, tubuhnya kaku seperti patung. Darah segar mengalir deras dari luka di kepalanya, membentuk genangan merah menyala di lantai kayu. Matanya terbuka lebar, kosong menatap langit-langit, seolah-olah masih tak percaya dengan apa yang telah terjadi.
Tangannya yang menggenggam bingkai jendela tiba-tiba basah oleh cairan lengket. Sandy menoleh, jantungnya berdebar kencang. Darah. Bau amisnya menusuk hidungnya. Dunia seketika menjadi gelap. Ini tidak mungkin, tidak mungkin! Tapi kenyataan pahit menghantamnya. Cairan merah itu, bau amis yang menyengat, dan keheningan mencekam di sekitarnya adalah bukti nyata bahwa ini bukan mimpi buruk.
"Dia menggoreskan tangannya di dinding terlebih dahulu, seperti menandai kemenangan sebelum melompat," bisik David, suaranya serak.
Sandy tersentak, "Astaga, David! Kapan kamu di sini?" tanyanya, jantungnya berdebar kencang.
"Aku sudah mengikutimu sejak tadi," jawab David, matanya menyipit seolah sedang merencanakan sesuatu.
Sandy terpaku sejenak, matanya membulat sempurna. Kemudian, dengan gerakan refleks, ia berbalik dan berlari sekencang mungkin. Setiap langkah terasa berat, napasnya tersengal-sengal. Adrenalin memacu jantungnya hingga berdebar kencang. Ia harus keluar dari sini, sekarang juga!
Sandy kembali ke kelas dan hendak duduk di kursinya. Namun, pandangannya terpaku pada sebuah kalender yang tergantung di meja guru. Ada sesuatu yang aneh pada kalender itu, seolah-olah sedang memanggilnya. Lily menyapanya, namun Sandy masih terpaku, matanya tak lepas dari kalender tersebut.
"Hari jumat ... tanggal 13," ucap Sandy menggerakkan jarinya mencari tanggal.
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
Wajah pucat Nia, dengan tatapan kosong yang menyelidik, terus menghantuinya dalam mimpi. Tanggal 13, angka sial itu, bagai belati yang menusuk-nusuk hatinya. Setiap detik, setiap detak jantungnya, adalah pengingat akan malam mengerikan itu. Ia merasa terkurung dalam mimpi buruk yang tak berujung, tak berdaya untuk melarikan diri.
****
𝚃𝚊𝚗𝚐𝚐𝚊𝚕 𝙱𝚎𝚛𝚍𝚊𝚛𝚊𝚑 "𝚃𝚛𝚞𝚎 𝚂𝚝𝚘𝚛𝚢 𝚘𝚏 𝟷𝟿𝟽𝟿"
ᴹⁱᵏᵉˢᵉʰʸᵘⁿᵃ
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.