BAB 10: Dread in the Stacks

6 2 0
                                    

SAAT ujung jarinya menyentuh koran untuk menutupnya, lampu-lampu di perpustakaan mulai berkedip-kedip tak menentu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SAAT ujung jarinya menyentuh koran untuk menutupnya, lampu-lampu di perpustakaan mulai berkedip-kedip tak menentu. Suasana yang tadinya tenang seketika berubah mencekam. Dingin menusuk tulang merayap ke seluruh tubuhnya. Sandy menoleh ke arah meja depan, namun pustakawan yang biasanya ramah kini telah menghilang tanpa jejak, seolah ditelan oleh kegelapan yang semakin menyelimuti perpustakaan.

"Di mana ibu tua itu?" gumam Sandy saat mendekati meja resepsionis.

Tiba-tiba, dari sudut matanya, ia menangkap sekelebat bayangan hitam yang berdiri tegak di ujung lorong buku, menyatu dengan kegelapan. Sandy terpaku, napasnya tersendat. Bayangan itu diam membisu, namun aura mencekamnya terasa begitu nyata. Sandy bisa merasakan tatapannya yang dingin menusuk, seakan menembus jiwanya.

Dalam sekejap mata, bayangan itu meluncur ke arahnya, kilatan gelap yang membelah kegelapan. Sandy tersentak kaget, tubuhnya terdorong mundur hingga terhempas ke lantai. Koran lepas dari genggamannya, halaman-halamannya beterbangan. Saat ia berusaha bangkit, bayangan itu sudah lenyap, seakan hanyalah ilusi. Napasnya tersengal, jantungnya berdebar-debar tak karuan. Ia merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, dan firasat buruk menyelimuti hatinya.

"Aku harus keluar dari sini!" teriak Sandy, suaranya memecah kesunyian perpustakaan.

Dengan tangan gemetar, ia mengumpulkan koran yang berserakan di lantai. Adrenalin memacu langkah kakinya, mendorongnya untuk segera melarikan diri dari tempat itu. Kebenaran tentang kutukan yang menyelimuti rumah tua itu semakin jelas.

Waktu terus berdetak, dan Sandy merasakannya, detik demi detik, nyawanya semakin terancam.

****

"Kamu baru pulang?" tanya Sean yang sedari tadi duduk di ruang tengah.

Pria itu menatap lelah ke arah anak sulungnya. Matanya menangkap koran yang digenggam erat oleh Sandy. Seketika, rasa ingin tahunya membuncah. Ia ingin sekali membaca koran itu, namun ia juga tidak ingin mengganggu ketenangan anaknya.

"Itu koran terbaru ya?" tanya Sean, membuat Sandy refleks menoleh ke arah koran yang dipegangnya.

'Sialan! Aku lupa masukin koran ini ke dalam tas!' Sandy mengumpat dalam hati, menyadari kecerobohannya dan nyaris ketahuan.

"Bukan, Yah! Ini koran lama. Mau dipakai buat... kerajinan! Iya, kerajinan! Sandy naik ke atas dulu, ya!" ucap Sandy tergesa-gesa sambil cepat-cepat menaiki tangga.

Sean hanya menggeleng, senyum tipis menghiasi wajahnya saat mendengar cerita anaknya. Namun, senyum itu sirna seketika saat ia menoleh ke arah kamar. Teriakannya menggema di seluruh ruangan, membuat Sarah terkejut. Masker wajahnya terlupa sejenak, ia hanya bisa terdiam mematung, menatap suaminya dengan tatapan bingung.

"Astaga! Aku kira hantu! Ngapain kamu pakai putih-putih di muka?" teriak Sean sambil mencoba mengatur napasnya.

Sarah menatap Sean dengan kesal. "Ini aku lagi maskeran! Lagian, kamu serius banget baca di tablet sampai nggak nyadar keadaan sekitar."

****

Dengan napas tersengal, Sandy melempar handuk basah ke kursi dan bergegas kembali ke meja belajarnya. Matanya menyapu setiap baris tulisan di koran, lalu beralih ke tumpukan surat di sampingnya. Semakin dalam ia membaca, semakin jelaslah ia melihat benang merah yang menghubungkan semuanya.

"Surat kabar lama ini adalah yang keluar pertama, dilanjut yang aku temu di perpustakaan tadi," gumam Sandy, mulai menyusunnya satu per satu.

"Siapa di sana?" tanya Sandy mendengar ketukan pintu kamarnya.

"Sera! Kakak sibuk, ya?!" teriak Sera dari luar kamar membuat Sandy berjalan ke arah pintu.

Saat pintu terbuka, harum semangkuk sup ayam dan aroma teh lemon menyambut Sandy. Nampan berisi hidangan hangat itu disodorkan Sera yang tersenyum lembut.

"Terima kasih, Sera, adikku tersayang," ucap Sandy.

"Kakak sibuk banget, ya?" tanya Sera sambil mencoba mengintip ke dalam kamar kakaknya.

Sandy hanya mengangguk dan mengambil nampan itu dengan hati-hati.

"Tolong tutup pintunya," pinta Sandy, membuat Sera terdiam.

"Aku nggak boleh masuk?"

Sandy menggeleng pelan, matanya berkaca-kaca. Melihat itu, Sera mengangguk lembut dan mulai menutup pintu perlahan, seolah tidak ingin mengganggu kesibukan Sandy.

****

Sejak kejadian di perpustakaan, berminggu-minggu senyum selalu menghiasi wajah Sandy. Kehidupannya terasa begitu ringan, tanpa beban. Perasaan bahagia yang ia rasakan sekarang begitu mirip dengan saat ... ya, saat itu. Sebuah dejavu yang membuatnya tersenyum penuh arti.

Angin laut sepoi-sepoi membawa semilir kesegaran di tengah terik matahari. Berteduh di bawah payung besar, Sandy menyaksikan Sera asyik membangun istana pasir. Senyum licik mengembang di sudut bibirnya. Dengan cepat, ia meraih bola pantai berwarna cerah dan mengarahkannya ke menara pasir yang hampir selesai.

"Kak Sandy, awas!" seru Sera sambil melempar segumpal pasir sekencang tenaga.

Pasir itu meluncur cepat, tetapi dengan cekatan Sandy menunduk menghindari serangan itu. Sayang sekali, perhitungan Sera meleset. Pasir mengenai wajah Sean yang tertidur.

Mata Sera dan Sandy bertemu, keduanya berusaha keras menyembunyikan senyum geli. Sean tiba-tiba membuka mata, wajahnya penuh pasir. Ia terduduk, menggosok-gosok mata dan menatap ke sekeliling dengan pandangan bingung, mencari pelaku.

"Sera, kamu ambil kerang ini dan tempel ke sini," suruh Sandy yang langsung dituruti Sera.

"Seperti ini?"

Sandy mengangguk membuat Sera tersenyum.

"Kalian berdua! Kalian yang melakukan ini?" tanya Sean membuat Sandy dan Sera menoleh sejenak sebelum kembali memilih membuat istana pasir.

"Sera! Kita main air, yuk!" ajak Sandy memberi kode untuk kabur dari hadapan Sean.

"Ayo!!"

Sean menatap tidak percaya dengan kedua anaknya yang benar-benar tidak menghiraukan pertanyaannya sama sekali.

"Dasar anak-anak bandel!" 

"Dasar anak-anak bandel!" 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tanggal Berdarah "True Story of 1979" [End✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang